|
MEDIA
INDONESIA, 15 Juli 2013
PERDEBATAN urgensi perubahan
Undang-Undang (UU) No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) muncul
ke permukaan, khususnya menyangkut ambang batas parpol dan/atau gabungan parpol
untuk mengusulkan pasangan calon presiden (capres). Seperti diketahui bahwa
pasangan calon diusulkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol
peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu
DPR (Pasal 9 UU Pilpres).
Sayangnya, mayoritas parpol kurang bergairah untuk
merevisinya. Hal demikian bisa dipahami. Ketika meneropong urgensi tersebut
dalam kacamata politik (kepentingan pragmatis), perdebatan revisi ini menjadi
tidak menarik. Cara yang paling ampuh menghentikan perdebatan tersebut ialah memakai
cara malas dengan menyandarkannya pada sebuahnya pada sebuah realitas politik
kekinian. Hal itu tidak bisa disalahkan, tapi juga tidak bisa dibenarkan.
Wacana ambang batas presidensial selama ini selalu
dihubungkan guna menguatkan sistem presidensial sehingga ambang batas minimal
20% dianggap batas bawah penguatan sistem presidensial. Padahal, ambang batas
presidensial sesungguhnya tidak berkorelasi dengan penguatan presidensial.
Namun, ambang batas itu sesungguhnya akibat dari `taman bermain' bagi parpol di
DPR yang memang dihadirkan oleh konstitusi kita bahwa tata cara pemilihan
presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam UU (Pasal 6A ayat 5 UUD 1945). `Taman bermain' ini bisa menghasilkan
ketentuan konstruktif, tapi bisa jadi juga destruktif, bergantung pada
spiritnya.
Otoritas presiden
Jika membandingkan dengan kekuasaan presidensial negara
lain yang sering menjadi rujukan, Indonesia pascaperubahan UUD 1945
sesungguhnya termasuk sangat kuat. Sebagai perbandingan, presiden dalam
membentuk kabinetnya memiliki hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan
penjabat menteri termasuk jaksa agung dan tidak membutuhkan pertimbangan
apalagi persetujuan DPR atau DPD. Berbeda dengan negara lain, presiden dalam
mengangkat menteri-menterinya, termasuk jaksa agung, membutuhkan pertimbangan
bahkan persetujuan parlemen atau senatnya.
Dalam bidang kekuasaan legislatif, presiden memiliki kuasa
untuk `menguntit' ke mana pun DPR dan DPD membahas sebuah rancangan undang
undang (RUU). DPR dan DPD tidak bisa menyetujui sebuah RUU menjadi UU jika
pembahasan tidak dihadiri presiden. Otoritas seperti itu tidak dimiliki
presiden di beberapa negara yang sering dijadikan rujukan. Biasanya presiden
hanya memiliki hak veto terhadap sebuah UU yang sudah disetujui parlemen,
tetapi hak veto itu pun bisa dianulir oleh parlemen dalam kuorum tertentu.
Sementara itu di Indonesia, selain presiden ikut membahas,
jika salah satu atau keseluruhan materi, muatan, ayat, atau pasal atau bagian
dari RUU yang sedang dibahas tidak disetujui presiden, RUU tersebut tidak bisa
disetujui DPR menjadi sebuah UU untuk disahkan presiden.
Hal yang paling sering menjadi paranoia dalam presidensial
kita ialah mengenai pemberhentian presiden/wakil presiden, yang sering kali
masih dibayangi trauma proses pemberhentian Soekarno hingga Gus Dur oleh MPR.
Memang konstitusi dulu, presiden selaku mandataris MPR yang bekerja untuk dan
atas nama MPR bisa diberhentikan di tengah jalan cukup dengan `asumsi politik',
yaitu melanggar konstitusi dan GBHN. Asumsi politik itu tidak perlu mendapatkan
verifikasi konstitusional terlebih dahulu.
Namun, setelah perubahan UUD 1945, presiden harus terbukti
secara konstitusional di Mahkamah Konstitusi (MK) telah melakukan pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, hingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil
presiden baru, kemudian bisa diberhentikan oleh MPR. Jadi meski 100% anggota
DPR yang notabene juga anggota MPR ingin memberhentikan presiden karena sudah
berbeda diametral haluan politik, DPR harus mendakwa presiden terlebih dahulu
dan membuktikannya di MK.
Jadi, sistem presidensial kita sesungguhnya sudah sangat
kuat. Menaikkan di atas 25% atau menurun 25% atau menurun kan ambang batas
hingga titik 0% pengusulan pa sangan capres oleh parpol (cukup terdaftar sebagai
peserta pemilu) tidak korelatif, harus dihubungkan dengan penguatan sistem
penguatan sistem presidensial.
Peran parpol
Parpol sesungguhnya satu satunya organisasi yang memiliki
hak istimewa yang diberikan konstitusi untuk mengusulkan pasangan capres (constitutional privelege). Organisasi
lainnya yang sudah hadir bahkan sebelum kemerdekaan, seperti NU dan
Muhammadiyah yang jasanya akan NKRI tidak diragukan, bahkan tidak diberi hak
keistimewaan itu untuk mengusulkan pasangan capres.
Bahasa positifnya, rakyat sangat memercayai parpol untuk
menjadi produsen kepemimpinan negara karena parpol dianggap organisasi yang
paling profesional untuk itu. Namun dalam bahasa agak negatif, parpol berhasil
membajak rekrutmen kepemimpinan negara pada tingkat konstitusi sehingga
pengusulan capres dari jalur lain sulit untuk dibuka.
Apa pun bahasanya, apakah itu positif atau negatif, tidak
menjadi penting dalam realitas ketatanegaraan kita saat ini. Yang diinginkan
ialah dalam dua periode rekrutmen kepemimpinan nasional ini, ada kecenderungan
parpol terjebak oleh sistem yang mereka ciptakan sendiri dalam UU sebagai
akibat `taman bermain' tersebut. Fenomena `kawin paksa' di antara parpol dalam
pengusulan pasangan capres terjadi, padahal mereka belum tentu `saling cinta'. Celakanya,
hal itu berimplikasi pada hak-hak rakyat untuk mendapatkan pilihan lebih banyak
dalam menentukan calon pemimpin.
Selama ini parpol peserta pemilu sepakat untuk membuat
aturan main dan menyerahkan hak istimewa mereka sebagai parpol yang berhak
mengusulkan pasangan capres. Parpol sepakat bahwa jika sebagai parpol peserta
pemilu yang ingin secara sendiri-sendiri mengusulkan pasangan capres, parpol
tersebut harus memenuhi ambang batas perolehan minimal 20% dari jumlah kursi
DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR. Alasan akademis
yang sering dipakai dan paling ampuh untuk mengecoh ialah guna penguatan
presidensial. Padahal sesungguhnya, sekali lagi, hal itu tidak korelatif dan
linear.
Namun yang pasti, ambang batas yang berlaku selama ini
bukanlah tergolong perbuatan `tak senonoh' menurut konstitusi. Ada keadaan
pascadua periode pemilu langsung presiden, rakyat harus dibahasakan dengan
bahasa yang mudah dicerna mengenai ambang batas presidensial tersebut.
Bahasa yang mudah dicerna bahwa kalau ambang batas 20%,
rakyat hanya disuguhi menu prasmanan pasangan capres pada pemilu nanti maksimal
lima macam menu (pasangan capres). Kalau ambang batasnya diturunkan hingga
lebih rendah, mungkin titik 0% (cukup terdaftar sebagai peserta pemilu), menu
yang disajikan memungkinkan hingga 12 macam menu (pasangan capres) dari 12
peserta pemilu legislatif saat ini.
Oleh karenanya, jika wacana tersebut dibawa ke perdebatan
hak istimewa parpol dalam mengusulkan pasangan capres, akan terjadi
eksklusivitas perdebatan di antara parpol itu sendiri. Yang pasti ruang
dialektika sesungguhnya ialah kalkulasi politik atau kekuasaan di antara parpol
itu sendiri yang bisa jadi atmosfernya adalah saling jegal di antara mereka
sendiri. Namun yang pasti, dialektika publiknya tidak akan sevulgar itu, tetapi
akan menggunakan isu yang lebih mudah mengecoh, yaitu penguatan presidensial.
Padahal, esensi perdebatan ambang batas ini sesungguhnya
bukan hak parpol, melainkan yang utama ialah hak rakyat untuk memilih dari menu
prasmanan yang bakal disajikan parpol di pemilu presiden mendatang.
Oleh karenanya, isu ambang batas presidensial jangan
terburu-buru ditutup di DPR. Lemparkanlah ke rakyat hingga beberapa waktu ke
depan. Jika rakyat memang lebih menginginkan sedikit menu prasmanan karena
produknya dijamin berkualitas dan bergaransi pada pilpres nantinya, atau
setidaknya rakyat ternyata masih menyukai menu yang itu-itu saja seperti pemilu
ke marin, ambang batas presidensial tidak urgen untuk diubah.
Namun kalau rakyat menginginkan ada menu baru dan pilihan
lebih variatif karena rakyat sudah sadar tidak ingin dipaksa mencicipi menu
yang dipaksakan di antara parpol itu sendiri, parpol harus legowo memenuhi kehendak rakyat untuk merevisi ambang batas itu.
Semua bergantung pada ketersadaran rakyat akan hak
konstitusional sebagai pemilik kedaulatan. Yang pasti, bandul tersebut berada
pada kearifan parpol dalam mendesain demokrasi konstitusional kita, apakah
lebih senang berjudi dalam `kawin paksa' pasangan capres, atau melakukan
purifikasi akan hak keistimewaan mereka sebagai pemilik hak secara sendiri
dalam mengusulkan pasangan capres yang diberikan langsung oleh konstitusi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar