Rabu, 24 Juli 2013

Bulan Pencerahan

Bulan Pencerahan
M Dawam Rahardjo  ;  Pemimpin Redaksi Jurnal Ulumul Qur’an
KOMPAS, 23 Juli 2013


Dalam kalender umat Islam, Ramadhan adalah sebuah bulan istimewa. Di bulan itu, penganut Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh berdasarkan sebuah ayat Al Quran.
Ayat itu menjelaskan bahwa sebelum lahirnya syariat Islam, berpuasa sudah menjadi tradisi dalam syariat-syariat sebelumnya, khususnya Yudaisme dan Kristianisme. Puasa juga merupakan salah satu ajaran esensial dari agama Hinduisme, Budhisme, Zoroaster, dan Konfusianisme. Juga dalam agama-agama lokal. Esensinya sama: membentuk jiwa yang tercerahkan sehingga bisa membimbing pada perilaku yang baik dan terhindar dari perilaku buruk yang merugikan manusia atau merusak alam.

Dalam syariat Islam, tujuan itu untuk mencapai kondisi jiwa yang takwa, yang secara mandiri mampu menghindari motif dan perilaku buruk dan cenderung kepada kebenaran dan kebaikan. Inilah makna pencerahan menurut Islam, sebagaimana dirumuskan dalam filsafat idealisme Hegel: jiwa yang mampu menciptakan kondisi dan lingkungan hidupnya dan menentukan jalannya sejarah, dan bukan jiwa yang dibelenggu kondisi materialnya dalam filsafat Feuerbachian.

Dalam Hadis Riwayat Imam Bukhari dikatakan, ”Barangsiapa berpuasa karena keyakinan (imanan) yang disertai dengan introspeksi (wa ihtisaban), akan diampuni dosa-dosanya di masa lalu.” Seseorang akan diampuni dosa-dosanya jika menyatakan tobat, tidak lagi mengulangi perbuatan-perbuatan buruknya. Karena itu, dalam bulan puasa itu, setiap orang memiliki peluang khusus untuk berzikir dan berdoa, khususnya dengan memperbanyak shalat, khususnya dalam shalat tarawih pada malam hari walaupun bisa dilakukan secara santai, dan mengaji Al Quran.

Dengan kata lain, berpuasa sebagaimana dikatakan oleh Romo Driyarkara harus diniati dan dilaksanakan sebagai ”proyek”, yaitu proyek membentuk status jiwa yang takwa, jiwa yang tercerahkan.

Dalam teori psikologi Sigmund Freud (1856-1939), dikatakan bahwa jiwa atau kepribadian manusia itu terdiri atas tiga komponen. Komponen pertama disebut sebagai Id, bagian dari bawah sadar yang dikendalikan oleh kecenderungan atau dorongan naluriah mempertahankan hidup dari segi jasmaniah. Bagian jiwa ini mengandung dilema. Di satu pihak, jika tidak dikendalikan, akan menimbulkan perilaku yang tidak menyelamatkan diri sendiri dan orang lain: keserakahan, agresi, dan nafsu seksual yang bebas. Namun, jika dikendalikan secara kuat, misalnya dengan melaksanakan nilai-nilai keseluruhan, jika terlalu keras akan menimbulkan represi kejiwaan.

Nafsu makan, umpamanya, perlu dipenuhi, tetapi juga perlu dikendalikan: jika tidak, akan menimbulkan penyakit. Namun, jika dilakukan terlalu kuat, akan menimbulkan kekurangan atau ketimpangan gizi. Karena itu, perlu dikendalikan secara seimbang melalui pola gizi yang seimbang (al mizan).

Dalam teori Freud, pengendalian terhadap Id mula-mula dilakukan melalui penanaman nilai-nilai luhur oleh orangtua, guru, atau adat-istiadat masyarakat yang membentuk yang disebut superego. Namun, sering kali superego itu dibentuk dengan cara yang terlalu keras, misalnya dengan ajaran-ajaran agama yang mengandung ancaman-ancaman atau adat yang mengandung sanksi sosial. Jika demikian, menurut Freud, superego akan merupakan represi sehingga bisa menimbulkan sakit kejiwaan, neurosis. Seorang yang fanatik dalam beragama sering justru melakukan tindakan kekerasan.

Dalam pemikiran para filsuf Pencerahan Eropa, ajaran agama dianggap sebagai tirani melalui dogmatismenya dan, dalam pandangan Marx, agama telah menciptakan kesadaran palsu. Namun, karena agama itu seolah-olah membius masyarakat dalam kesadaran palsunya, Marx juga mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Dengan demikian, pemikiran Pencerahan Eropa itu pada dasarnya dipandang mengandung sentimen antiagama.

Abad Pencerahan disebut juga Abad Nalar (The Age of Reason) karena ciri utamanya adalah rasionalisasi yang menempatkan manusia dan nalar manusia di atas realitas materialnya dan, karena itu, mengatasi kondisi materialnya. Namun, bersama-sama dengan filsafat Hobbes dan Hegel, rasionalitas itu diwujudkan ke dalam konsep negara kuat, yang dilambangkan sebagai Leviathan atau Raja Laut yang otoritarian, sebagai altrerego Tuhan sehingga menimbulkan reaksi yang berujud paham anarkisme atau antinegara itu.

Pandangan terhadap Pencerahan yang berperspektif pesimistis itu juga dikemukakan oleh Horkheimer dan Adorno, yang mengembangkan Teori Kritis, mazhab Frankfurt, yang mengatakan bahwa Fasisme dan Nazisme itu sebenarnya bersumber dari filsafat Pencerahan.

Dalam teori Freud, hubungan antara Id dan superego perlu direkonsiliasikan dengan sikap kritis atau rasionalitas yang terkandung dalam bagian kepribadian sadar atau kritis-rasional yang disebut ego. Fungsi ego ialah mengendalikan Id atau superego ke dalam kesadaran rasional. Teori Freud itu mencerminkan 
pemikiran Abad Pencerahan dan Abad Nalar pada abad ke-19.

Dalam tulisannya tentang ”Apa Pencerahan (Aufklarung) itu?”, filsuf Pencerahan Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), merumuskan bahwa Pencerahan pada hakikatnya adalah pemikiran tentang ”emansipasi kesadaran manusia dari kondisi ketidaktahuan”. Jadi, kata Kant, ”jika mempunyai gagasan, komunikasikan dan jika tidak tahu, selidikilah hingga tahu” sehingga manusia terbebas dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian.

Namun, seorang pendukung mazhab Kritis yang lebih kontemporer, Herbert Marcuse, memiliki teori tersendiri yang sejalan dengan Horkheimer dan Adorno, yang mengatakan bahwa rasionalisme, khususnya rasionalisme teknoekonomi, bisa menimbulkan pola manusia tunggal-dimensi. Rasionalitas tunggal-dimensi itu bisa menimbulkan pula represi terhadap eros (kecenderungan terhadap cinta dan keindahan) yang manusiawi. Karena itu, peradaban yang manusiawi perlu pula didasarkan pada nilai eros dan rasionalitas secara seimbang.

Sementara itu, filsuf Muslim Abad Pertengahan, Al Ghazali (1058-1111), memiliki suatu teori ”nafsu” yang didasarkan pada Al Quran. Dalam teorinya, kepribadian manusia terdiri atas tiga jenis nafsu. Pertama, nafsu amarah yang dapat dinisbatkan sebagai Id. Kedua, nafsu lawwamah yang dapat dinisbatkan sebagai ego. Dan ketiga, nafsu mutmainnah yang dapat dinisbatkan sebagai superego.

Nafsu amarah membentuk manusia sebagai basar atau aspek jasmaniah dari manusia. Nafsu ini, jika tak dikendalikan, akan melahirkan perbuatan buruk dan merusak manusia dan lingkungannya. Namun, pengendalian ini dilakukan oleh nafsu lawwamah, kecenderungan kritis atau rasional. Namun, rasionalitas ini masih memungkinkan sifat rasional yang tidak manusiawi melalui kecenderungan egoisme. Namun, nafsu lawwamah yang kritis itu sebenarnya merupakan kombinasi antara olah pikir dan al aql (akal) dan dzikir atau olah rasa dengan al qolb (kalbu). Nafsu ini diperlukan untuk diseimbangkan dengan nafsu amarah yang, menurut Marcuse, manusiawi yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan penyakit fisik, kejiwaan, karena direpresi.

Keseimbangan antara nafsu amarah yang menimbulkan ambisi dan keberanian itu dan nafsu kritis dan rasional dan moral dari nafsu lawwamah itu akan melahirkan jiwa yang seimbang atau nafsu mutmainnah, dalam wujud manusia yang arif, yang dalam tarekat disebut sebagai mencapai kondisi ”makrifat” dalam kepribadian manusia yang arif.

Makrifat itu mirip pengertiannya dengan pemaknaan pencerahan Kant, yaitu emansipasi dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian, bukan hanya hasil dari kecerdasan rasional, melainkan juga kecerdasan emosional. Puasa tidak saja menciptakan manusia yang arif, tetapi juga budiman, dengan cara memperbanyak mengeluarkan sadaqah dan zakat untuk mereka yang kurang beruntung.

Kesempatan luas

Dalam bulan Ramadhan, manusia diberi kesempatan yang luas mencapai status kearifbudimanan. Kesempatan itu dibuka dengan penciptaan iklim kondusif: berpuasa secara berjemaah. Puasa sebagaimana banyak dijelaskan dalam Al Quran adalah suatu perjuangan besar mengendalikan diri. Iklim itu diciptakan melalui berpuasa meningkatkan hubungan silaturahim.

Pada masa Orde Baru, telah lahir tradisi baru, yaitu shalat tarawih bersama di rumah-rumah pribadi, biasanya rumah seorang tokoh atau pejabat yang berfungsi menghubungkan silaturahim antara pemimpin dan rakyat. Shalat tarawih itu disertai pula dengan ceramah pencerahan. Bahkan, timbul pula model ”pesantren kilat” untuk anak-anak remaja membentuk kepribadian yang seimbang.

Iklim yang kondusif bagi pelaksanaan ibadah puasa tidak perlu dilakukan dengan seruan kaum muslim sendiri agar masyarakat ”menghormati bulan puasa”. Seruan itu sebaiknya dilakukan mereka yang tak menjalankan puasa atau oleh pemerintah. Penghormatan itu seyogianya dilakukan sendiri oleh umat Islam terhadap bulan Ramadhan dengan cara menahan amarah dan bertindak ramah.


Adalah tindakan kontradiktif dengan semangat berpuasa jika dilakukan dengan gerakan sweeping, pemaksaan atau tekanan, apalagi dengan aksi kekerasan atau melalui kekuasaan pemerintah untuk menutup restoran pada siang hari karena tekanan atau paksaan itu melanggar hak orang lain yang tak berpuasa yang memerlukan makan pada siang hari. Berpuasa akan benar-benar jadi jihad akbar jika dilakukan dalam suasana terbuka walaupun dan justru karena penuh godaan itu. Mari menyambut Ramadhan sebagai bulan pencerahan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar