|
KORAN
SINDO, 05 Juli 2013
Mengingat manusia dibekali nalar, maka sikap percaya dan yakin
kepada Tuhan sebaiknya didukung argumen yang logis, rasional. Meneruskan
argumen sebelumnya, saya ingin menyajikan secara singkat apa yang disebut
argumen ontology.
Ialah konstruksi nalar untuk menjawab pertanyaan tentang sumber segala wujud yang kita lihat dan rasakan ini. Apakah semesta ini mengada dengan sendirinya, ataukah ada sumber dan penyebab lain di luarnya? Pertanyaan dan jawaban ini muncul biasanya diinspirasi ketika kita memperhatikan hubungan anak dan orang tua. Bahwa kehadiran anak pasti meniscayakan adanya orang tua.
Atau sebuah produk industri sehebat apa pun tak mungkin terwujud tanpa aktor perancang dan penciptanya. Apa yang kita lihat dan saksikan ini semuanya meniscayakan adanya wujud lain yang lebih hebat dan lebih tinggi kelas dan kepintarannya. Demikianlah, pendeknya argumen ontologyingin membantu pilihan iman dengan membangun argumen mata rantai wujud sehingga di sana pasti ada Wujud Absolut, yang menjadi sumber segala wujud lain yang sifatnya possible being atau mumkinulwjud.
Pendukung paham ateismeevolusionisme tentu saja akan membantah argumen di atas. Mereka memandang semua realitas ini berevolusi menuju penyempurnaan diri, tidak ada aktor lain yang lebih tinggi. Kalaupun ada, aktor itu adalah alam itu sendiri. Alam dan Tuhan adalah identik. Tidak ada yang disebut Tuhan di luar alam semesta ini. Tuhan hanyalah masalah nama dan konseptualisasi yang kemudian disakralkan dan diproyeksikan sebagai Tuhan oleh pikiran manusia sendiri.
Dalam pikiran manusia terdapat sebuah kesadaran dan keyakinan hukum logika bahwa di sana ada dua macam wujud, yaitu: Wujud Absolut yang menjadi sumber semua wujud lain yang bersifat relatif. Di sana ada realitas yang tak terbatas, di luar nalar manusia yang jangkauannya terbatas. Di sana terdapat wujud yang mahasempurna dan mahaindah, berada di luar dan sebagai penyebab wujud yang tidak sempurna ini.
Karena itu, nalar manusia sampai pada sebuah kesimpulan adanya wujud mutlak, Being Qua Being, yang menjadi aktor dan sumber ciptaan, sumber gerak, sumber desain, yang nalar manusia hanya mampu menelusuri dan membaca jejak-jejak karya-Nya, namun tak akan mampu menjangkau dan membuktikan hakikat wujud-Nya. Nalar hanya bisa membangun argumen, tetapi bukan bukti.
Kalau setiap yang ada mesti bersumber dari dan didahului oleh Yang Mahaada, nalar terus bertanya lagi: lalu dari mana sumber yang Mahaada itu? Di sinilah pikiran dihadapkan pada dua pilihan jawaban: apakah mau terjebak pada lingkaran setan yang tak ada habisnya dan menjadi absurd, ataukah akan berhenti pada pilihan: di sana ada Yang Mahaabsolut namun nalar mesti berhenti di situ saja.
Karena kalau diteruskan pertanyaan dan jawaban tadi akan menjadi lingkaran mata rantai yang lebih sulit dan menggelisahkan bagi nalar. Di sinilah terjadi sebuah loncatan iman (leap of faith). Seseorang menghargai kekuatan nalarnya, sekaligus juga mengakui akan keterbatasannya. Kekaguman pada nalar dan pengakuan akan keterbatasannya ini sesungguhnya sudah kita sadari dan praktikkan.
Misalnya, kita berpikir terikat dengan the law of reasoning (hukum penalaran). Misalnya hukum komparasi dalam perhitungan besar-kecil, tinggi-rendah, banyak-sedikit, jauh-dekat. Mari kita bertanya, dari mana atau siapa yang membuat program formula hukum logika seperti itu? Jadi, penalaran kita ternyata bekerja tidak dari nol. Sudah ada bekal dan aturan yang menyertainya. Begitu pun mata yang mampu melihat objek di sekitarnya, mata sendiri tak mampu melihat hakikat dirinya.
Dengan ini saya ingin mengatakan, argumen ontology memang bekerja dalam batas yang sanggup dilihat, didengar, lalu dipikirkan untuk membaca dan menafsirkan jejak-jejak kreasi dan kebesaran Tuhan melalui fenomena wujud yang terhampar di alam semesta ini. Itulah sebabnya semesta ini disebut ”alam” atau ”ayat”, yang artinya adalah teks atau tanda.
Dalam bahasa Indonesia, kata alamat juga bermakna sebagai penunjuk pada objek yang hendak dicari. Alamat sekadar penanda, layaknya penunjuk arah jalan, misalnya ke bandar udara. Jadi, siapa yang bisa membaca dan berkomunikasi dengan alam, maka akan mendapatkan informasi yang benar dan sistematis, namanya ilmu. Sedangkan mereka yang memiliki ilmu tentang fenomena alam, disebut alim, jamaknya ulama.
Kata alam, ilmu, alim, ulama, semuanya itu satu akar yang menunjukkan keterkaitan dan kompetensi. Di Indonesia kata ulama cenderung dimaknai sebagai mereka yang menguasai ilmu keagamaan, bukan ilmu kealaman (natural sciences). ●
Ialah konstruksi nalar untuk menjawab pertanyaan tentang sumber segala wujud yang kita lihat dan rasakan ini. Apakah semesta ini mengada dengan sendirinya, ataukah ada sumber dan penyebab lain di luarnya? Pertanyaan dan jawaban ini muncul biasanya diinspirasi ketika kita memperhatikan hubungan anak dan orang tua. Bahwa kehadiran anak pasti meniscayakan adanya orang tua.
Atau sebuah produk industri sehebat apa pun tak mungkin terwujud tanpa aktor perancang dan penciptanya. Apa yang kita lihat dan saksikan ini semuanya meniscayakan adanya wujud lain yang lebih hebat dan lebih tinggi kelas dan kepintarannya. Demikianlah, pendeknya argumen ontologyingin membantu pilihan iman dengan membangun argumen mata rantai wujud sehingga di sana pasti ada Wujud Absolut, yang menjadi sumber segala wujud lain yang sifatnya possible being atau mumkinulwjud.
Pendukung paham ateismeevolusionisme tentu saja akan membantah argumen di atas. Mereka memandang semua realitas ini berevolusi menuju penyempurnaan diri, tidak ada aktor lain yang lebih tinggi. Kalaupun ada, aktor itu adalah alam itu sendiri. Alam dan Tuhan adalah identik. Tidak ada yang disebut Tuhan di luar alam semesta ini. Tuhan hanyalah masalah nama dan konseptualisasi yang kemudian disakralkan dan diproyeksikan sebagai Tuhan oleh pikiran manusia sendiri.
Dalam pikiran manusia terdapat sebuah kesadaran dan keyakinan hukum logika bahwa di sana ada dua macam wujud, yaitu: Wujud Absolut yang menjadi sumber semua wujud lain yang bersifat relatif. Di sana ada realitas yang tak terbatas, di luar nalar manusia yang jangkauannya terbatas. Di sana terdapat wujud yang mahasempurna dan mahaindah, berada di luar dan sebagai penyebab wujud yang tidak sempurna ini.
Karena itu, nalar manusia sampai pada sebuah kesimpulan adanya wujud mutlak, Being Qua Being, yang menjadi aktor dan sumber ciptaan, sumber gerak, sumber desain, yang nalar manusia hanya mampu menelusuri dan membaca jejak-jejak karya-Nya, namun tak akan mampu menjangkau dan membuktikan hakikat wujud-Nya. Nalar hanya bisa membangun argumen, tetapi bukan bukti.
Kalau setiap yang ada mesti bersumber dari dan didahului oleh Yang Mahaada, nalar terus bertanya lagi: lalu dari mana sumber yang Mahaada itu? Di sinilah pikiran dihadapkan pada dua pilihan jawaban: apakah mau terjebak pada lingkaran setan yang tak ada habisnya dan menjadi absurd, ataukah akan berhenti pada pilihan: di sana ada Yang Mahaabsolut namun nalar mesti berhenti di situ saja.
Karena kalau diteruskan pertanyaan dan jawaban tadi akan menjadi lingkaran mata rantai yang lebih sulit dan menggelisahkan bagi nalar. Di sinilah terjadi sebuah loncatan iman (leap of faith). Seseorang menghargai kekuatan nalarnya, sekaligus juga mengakui akan keterbatasannya. Kekaguman pada nalar dan pengakuan akan keterbatasannya ini sesungguhnya sudah kita sadari dan praktikkan.
Misalnya, kita berpikir terikat dengan the law of reasoning (hukum penalaran). Misalnya hukum komparasi dalam perhitungan besar-kecil, tinggi-rendah, banyak-sedikit, jauh-dekat. Mari kita bertanya, dari mana atau siapa yang membuat program formula hukum logika seperti itu? Jadi, penalaran kita ternyata bekerja tidak dari nol. Sudah ada bekal dan aturan yang menyertainya. Begitu pun mata yang mampu melihat objek di sekitarnya, mata sendiri tak mampu melihat hakikat dirinya.
Dengan ini saya ingin mengatakan, argumen ontology memang bekerja dalam batas yang sanggup dilihat, didengar, lalu dipikirkan untuk membaca dan menafsirkan jejak-jejak kreasi dan kebesaran Tuhan melalui fenomena wujud yang terhampar di alam semesta ini. Itulah sebabnya semesta ini disebut ”alam” atau ”ayat”, yang artinya adalah teks atau tanda.
Dalam bahasa Indonesia, kata alamat juga bermakna sebagai penunjuk pada objek yang hendak dicari. Alamat sekadar penanda, layaknya penunjuk arah jalan, misalnya ke bandar udara. Jadi, siapa yang bisa membaca dan berkomunikasi dengan alam, maka akan mendapatkan informasi yang benar dan sistematis, namanya ilmu. Sedangkan mereka yang memiliki ilmu tentang fenomena alam, disebut alim, jamaknya ulama.
Kata alam, ilmu, alim, ulama, semuanya itu satu akar yang menunjukkan keterkaitan dan kompetensi. Di Indonesia kata ulama cenderung dimaknai sebagai mereka yang menguasai ilmu keagamaan, bukan ilmu kealaman (natural sciences). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar