|
KOMPAS,
08 Juli 2013
Melihat semua langkah dan hasil upaya
pemberantasan korupsi selama Era Reformasi, rasanya kita menjadi pesimistis
untuk bisa mengatasi korupsi di Indonesia. Padahal, kita melakukan reformasi,
utamanya, untuk memberantas korupsi agar negara ini bisa berjalan baik.
Sekarang korupsi terasa semakin menggunung dan kita mati langkah untuk memeranginya.
Mungkin ada baiknya kita segera
memilih langkah dan strategi baru memerangi korupsi, yakni memutuskan hubungan
dengan korupsi-korupsi masa lalu. Sebab, sulitnya menangani kasus-kasus korupsi
saat ini karena kita tersandera masa lalu. Setiap kita akan bersikap tegas
terhadap korupsi, selalu saja muncul hadangan karena yang harus ditindak dan
yang harus menindak sering kali sama-sama terlibat korupsi di masa lalu. Ini
terjadi karena pada masa lalu korupsi sudah sistemik sehingga penggawa yang tidak
ikut korupsi tak bisa survive.
Akibat hadangan yang seperti itu,
maka—selain korupsi-korupsi lama tak terselesaikan—semakin hari selalu muncul
korupsi baru yang jumlah ataupun caranya begitu fantastis. Sementara saling
kunci dan saling sandera terus berlangsung sehingga penanganan korupsi semakin
tak memberi arah yang jelas. Masa transisi untuk institusionalisasi penegakan
dan penegak hukum semakin kabur pula.
Oleh sebab itu, jalan terbaik untuk
mengatasi situasi ini adalah segera memutus hubungan dengan korupsi masa lalu.
Caranya adalah dengan menyelesaikan atau menganggap selesai secara ”luar biasa”
kasus-kasus korupsi di masa lalu itu. Setelah itu, sejak titik penyelesaian
itu, kita mulai langkah-langkah baru yang lebih tegas.
Lustrasi
dan pemutihan
Berdasarkan teori dan pengalaman di
negara-negara lain, ada dua alternatif yang ditawarkan untuk menggunting atau
memutus hubungan dengan korupsi-korupsi masa lalu itu, yaitu amputasi dan
ampuni.
Dengan amputasi dimaksudkan kita
perlu membuat kebijakan lustrasi nasional (national lustration policy), semacam
pemotongan satu atau dua generasi untuk para pemain dan pejabat-pejabat lama.
Semua politikus dan pejabat pemerintah dari rezim korup yang sudah dijatuhkan
harus diberhentikan dengan undang-undang dari semua jabatan publik tanpa
pengadilan hukum.
Asumsinya, karena korupsi masa lalu
itu bersifat sistemik sehingga tak bisa dihindarkan oleh mereka yang ingin
kariernya terjamin, maka semua yang terlibat politik dan pemerintahan pada masa
itu dianggap tercemar sehingga harus diseleksi ulang dan diganti dengan
pemain-pemain atau pejabat-pejabat yang baru. Ada yang harus dilarang untuk
aktif selamanya dan ada yang diberi kurun tertentu, misalnya selama sepuluh
atau lima tahun tak boleh aktif di politik atau ikut dalam pemerintahan.
Beberapa negara di Amerika Latin menempuh kebijakan lustrasi ini.
Pejabat-pejabat baru itu diseleksi
dari mereka yang benar-benar bersih sebagai generasi baru dalam politik dan
pemerintahan yang menjamin keterputusan hubungan dengan korupsi masa lalu.
Persoalannya adalah pilihan lustrasi ini akan sulit diambil karena mereka yang
harus memberi persetujuan atas kebijakan lustrasi ini boleh jadi adalah mereka
yang akan terkena lustrasi dan harus keluar dari panggung politik dan
pemerintahan. Sulit membayangkan ada politikus dan pejabat pemerintah yang mau
menyetujui undang-undang yang akan mencopot dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, ada alternatif
kedua, yakni menggabungkan pengalaman Afrika Selatan dan China dalam
menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan menghukum para koruptor dengan
membuat kebijakan mengampuni, rekonsiliasi, atau national pardon. Dalam
kebijakan yang demikian, semua pelaku korupsi masa lalu kesalahannya
diputihkan, dianggap selesai, dan tidak perlu diajukan ke pengadilan. Dapat
juga disertai pemberian kesempatan mengembalikan kekayaan secara sukarela.
Namun, sejak titik dinyatakannya pemutihan itu, ada ancaman hukuman berat
apabila melakukan korupsi, yakni dihukum seumur hidup atau lebih berat dari
itu.
Terarah
dan tegas
Dengan pemutihan atau pengampunan
ini, selanjutnya para politikus dan pejabat harus ikut berperang melawan
korupsi tanpa harus tersandera oleh korupsi-korupsinya di masa lalu. Hakim,
jaksa, dan polisi yang korup di masa lalu, misalnya, tidak perlu takut diungkit-ungkit
korupsinya ketika menangani kasus korupsi.
Tak mudah bagi kita untuk
menentukan mana yang harus kita pilih, lustrasi (amputasi) ataukah pemutihan
(ampunan), sebab keduanya berisiko besar.
Akan tetapi, tidak tepat juga kalau
kita menangani kasus korupsi dengan cara berputar-putar secara tak jelas
seperti sekarang. Sebuah kebijakan yang lebih terarah dan tegas memang sudah
diperlukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar