Sabtu, 20 Juli 2013

Adipura-pura

Adipura-pura
Serpulus Simamora ;   Lulusan Pontifical Biblical Institute
KORAN JAKARTA, 15 Juli 2013


Ada cerita yang sudah lama, namun tetap membekas di benak karena memang menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Pada tahun 2009 media membuat berita dengan judul Kontroversi Adipura, Dari Suap hingga Kebersihan Pura-pura dan Penilaian Adipura Selesai, Pasar Minggu Kembali Semrawut.

Tidak diketahui kriteria penilaian Adipura atau pihak-pihak yang telibat untuk menentukan pemenang Adipura. Akan tetapi, tentu saja, bukan hanya Jakarta yang memunyai masalah penghargaan Adipura, melainkan juga kota-kota lain. Mereka memiliki problem yang sama: Adipura-pura! Stop sebentar! Banyak yang seperti itu, namun tidak seluruh kota penerima penghargaan itu meraihnya sebagai Adipura-pura.

Refleksi ini sesungguhnya bukan terutama mengenai Adipura (saja) melainkan lebih-lebih pada gaya kepemimpinan kepura-puraan. Berita tadi mengingatkan aneka bentuk mentalitas pura-pura di negeri tercinta ini. Bersolek pura-pura itulah! Menjelang pemilu tahun 1977 ada seorang pejabat tingkat kabupaten datang ke desa pedalaman bernama Bonandolok, Kecamatan
Onanganjang, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumut.

Desa lalu bersolek untuk menyambutnya. Jalan lintas desa diperbaiki, parit dibersihkan, kantor kepala desa dan balai desa yang hampir roboh disulap. Sungguh, kampung dengan predikat desa tertinggal itu tiba-tiba menjadi indah, bersih, dan asri. Dia sekaligus menjadi desa yang pura-pura tak tertinggal.

Selain itu, ada mulus pura-pura! Masih segar juga ingatan, ketika Presiden Yudhoyono datang ke sebuah desa di pinggiran Kota Pematangsiantar untuk panen raya pada tahun 2009. Pematangsiantar terkenal banyak "polisi tidur", terutama di jalan-jalan di area kantor pemerintahan, wilayah kepolisian, dan militer. 

Ketika Presiden Yudhoyono dating, hanya beberapa jam untuk panen raya, semua jalan, parit, dan pinggir jalan ditata dalam sekejap, termasuk polisi tidur itu pun "diamankan" alias dikikis habis. Perjalanan Presiden Yudhoyono harus mulus, tak boleh "tersandung" banyak "polisi tidur". Jalan raya di kota itu pura-pura mulus seluruhnya.

Miskin Pura-pura

Kini, di mana-mana muncul orang yang pura-pura miskin atau miskin pura-pura seiring turunnya Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan dari harga bahan bakar minyak (BBM). Tidak diketahui oknum yang bersalah. Petugas pendataan statistik yang keliru atau masyarakat sendiri berbohong melaporkan dirinya sebagai orang miskin. Atau boleh jadi ada kongkalikong antara petugas (aparat desa/RT/RW) dan masyarakat sendiri (keluarga/kenalan). 

Yang jelas, melalui sorotan kamera, tampak sejumlah orang yang miskin pura-pura mengantre untuk mencairkan dana BLSM. Kepura-puraannya terlihat dari aksesori yang dikenakan pengantre. Mereka mengenakan gelang, cincin, dan kalung emas.

Adipura-pura memang menjadi representasi banyak kepura-puraan kita. Mentalitas pura-pura itu tampaknya sudah menjalar hampir dalam segala bidang kehidupan bangsa ini. Misalnya, masih ingat ide sertifikasi para pendidik. Para guru atau dosen harus disertifikasi agar keahlian, penelitian, pengabdian kepada masyarakat meningkat agar pendidikan lebih maju. 

Karena itu, setiap orang yang berprofesi sebagai pendidik dituntut untuk mengikuti sebanyak mungkin kegiatan ilmiah untuk mengembangkan diri dalam keahlian, penelitian, dan pengabdian. Bukti untuk itu selembar kertas berhias dengan tulisan indah. Selembar kertas "berwibawa" yang bernama sertifikat. 

Dalam praktiknya, banyak orang bisa mendapat modal untuk mengurus sertifikasi dengan hanya menitipkan nama sebagai peserta kegiatan (ilmiah/non-ilmiah) tanpa hadir. Setelah formulir administratif dilengkapi plus dukungan sertifikat, seluruh berkas dikirim ke instansi terkait, lalu tunggu beberapa waktu, Surat Keputusan Sertifikasi keluar! Para pendidik pura-pura telah disertifikasi.

Mentalitas pura-pura itu tampaknya bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari dari pelaksana kebijakan (politik), tetapi juga dari pengambil kebijakan (politik). Bukan rahasia lagi bahwa ketiga lembaga politis (legislatif, eksekutif, dan judikatif) yang esensial dalam negara demokratis telah dianggap sebagai lembaga yang kurang dapat dipercaya. 

Kaum eksekutif dengan sebutan luhur dan agung sebagai "abdi rakyat", legislator dengan nama manis "wakil rakyat", dan aparat hukum tak berkinerja sebagaimana mestinya. Apatisme rakyat terhadap ketiga lembaga politis kiranya cukup mencerminkan hal itu. Alih-alih sebagai abdi dan wakil rakyat, mereka lebih cenderung sebagai tuan rakyat yang tidak pernah memberi keadilan kepada rakyat. 
Lembaga-lembaga politis dengan lantang dan nyaring menyuarakan keberadaan mereka demi kesejahteraan rakyat banyak (bonum commune). Mereka hadir demi diri sendiri, golongan, atau lembaga. Para pengemban jabatan yang disumpah pura-pura telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan amanat.

Mentalitas pura-pura juga telah merasuki masyarakat atau rakyat juga. Sering didengungkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan sekuler, tetapi sekaligus juga bukan teokrasi. NKRI adalah negara demokratis yang berdasar Pancasila di mana beriman dan keberimanan dilindungi dan dijamin sila pertama, Ketuhanan Yang Mahaesa. 

Rumah-rumah ibadah bertabur dari Sabang sampai ke Merauke. Perayaan-perayaan keagamaan atau ibadah yang dilaksanakan secara masif, agung, dan anggun. Agama juga dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk. Bangsa dan negara yang beragama dan beriman. Ateisme dan kaum ateis, agnostisisme dan kaum agnostik tidak ada tempatnya di bumi NKRI.

Hanya semua itu tidak tecermin dalam kehidupan. Diskrepansi antara pengakuan dan kenyataan keberagamaan serta keberimanan kiranya tampak dalam hal-hal berikut. Alih-alih umat beriman diharapkan sabar, tepa selira, memaafkan, berhati lembut, malahan atas nama agama dan iman, umat beriman amat mudah tersinggung, intoleran, balas dendam, dan beringas. 

Atas nama agama dan iman, orang yang mengaku beragama dan beriman itu merasa diri paling benar dan berhak untuk menghajar, menghancurkan, bahkan membunuh sesama sebangsa setanah air. Rasanya memang menjadi sangat masuk akal bila ada orang yang apatis dengan agama dan iman. 

Mereka lebih baik tidak beragama dan ber-Tuhan. Mereka lebih berbahagia bermanusia alias bersesama ketimbang ber-Tuhan tetapi tidak sanggup bermanusia atau bersesama. Kepura-puraan itu semakin jelas ketika nyata-nyata ada konflik masyarakat atas nama agama dan iman. Namun para petinggi, alim-ulama tetap masih punya dalih untuk mengatakan bahwa konflik bermotifkan kesenjangan sosial, persoalan pribadi, ketegangan etnis, dan lain-lain. Belakangan, malah Menteri Agama, Suryadharma Ali, menganggap konflik agama itu wajar. Waoww! 

Meski begitu, para pemimpin dan penuntun bangsa masih mengklaim bahwa Indonesia adalah negara yang harmonis dan toleran. Singkat kata, amat jelas bahwa agama dan iman masih pura-pura. Adipura-pura hanyalah salah satu contoh dari aneka kepura-puraan hidup sehari-hari. Masyarakat tidak sanggup terbuka menyatakan apa adanya. Warga tidak berani mengaku bersalah. Kepura-puraan sering terbungkus dengan kata-kata usang: etika, sopan-santun, dan adat-istiadat ketimuran. 

Hipokritisme tampaknya memang sudah mengakar di setiap lini kehidupan: Adipura, sertifikat, sarjana, cendekiawan, Dewan Perwakilan Rakyat, demokrasi, partai politik bersih, semua hanya pura-pura. Selain itu, agamawan, sumpah jabatan, beragama, harmoni, dan adat juga hanya pura-pura.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar