|
MEDIA
INDONESIA, 21 Juni 2013
LIMA tahun lalu, tepatnya Agustus
2008, Sekolah Demokrasi Tangerang kedatangan tamu beberapa anggota parlemen
Belanda. Kunjungan itu sendiri bersifat reguler karena Sekolah Demokrasi
berjalan atas kerja sama KID dan Netherland Institute for Multiparty Democracy
(NIMD). Tangerang dipilih sebagai pilot project karena wilayah suburban ini
menampilkan perpaduan kental antara komunitas industri (buruh) dan masyarakat
tradisional (jawara).
Sekolah Demokrasi sendiri adalah prakarsa menyinergikan
aktor, konsep, partisipasi, serta medan bagi demokrasi di Indonesia. Program
ini digagas Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) dengan memadukan tiga
pilar, yakni institusi politik, masyarakat sipil, dan komunitas bisnis. Latar
belakang peserta pun beragam, mulai pengurus partai, anggota DPRD, panwas,
mahasiswa, LSM, serikat buruh, ormas keagamaan, pengusaha, guru, bidan, kepala
desa, hingga birokrat.
Seorang anggota parlemen Belanda menyatakan testimoninya,
“Harusnya sekolah demokrasi ini kita buat di Belanda!“ Sontak saya bertanya,
“Kenapa?“ “Karena partisipasi pemuda di Belanda sangat rendah dan apolitisasi
masif menjangkiti masyarakat,“ jawabnya.
Sesat pikir
Demokrasi di Indonesia masa kini adalah koreksi atas sistem
politik otoriter yang ada sebelumnya. Koreksi itu melahirkan kebebasan
berpendapat, sistem kepartaian, pemilihan umum, tata kelola pemerintahan,
sistem perundangan, serta partisipasi warga dalam penentuan agenda publik dan
kenegaraan. Tak terasa, 15 tahun sudah kita berdemokrasi pascareformasi `98.
Namun demikian, ragam keraguan ternyata masih menghiasi
alur demokrasi kita. Banyak kaum `Orbais' menganggap demokrasi telah menuju
anarkitis dan tak lebih baik jika dibandingkan dengan masa otoriter. Sebagian
kelompok bahkan terang-terangan melawan demokrasi, seperti terjadi saat awal
penyelenggaraan Sekolah Demokrasi Tangerang. Sekitar 100 meter dari lokasi,
sekelompok fundamentalis agama mendirikan
Sekolah Anti Demokrasi.
Secara sederhana, demokrasi menganut prinsip pemerintahan
dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam praktiknya, ternyata itu tak semudah
seperti membariskan antrean itik atau apel siaga dalam satu upacara. Satu-satunya
alasan kenapa demokrasi masih diterima dan dijalankan adalah karena adanya
jaminan atas hak dan kewajiban warga yang lebih mendekati keadilan (fairness). Di masa otoriter, perbedaan
pendapat lazim berujung pada penghilangan paksa. Dalam masa demokrasi,
perbedaan justru menjadi kudapan penyempurna secangkir teh di sore hari.
Salah satu argumen yang sering menjerumuskan rakyat adalah
kenyataan bahwa perkembangan demokrasi tak mengenyangkan perut dan tak
melahirkan stabilitas. Dus, dalam kondisi seperti ini banyak kalangan memutar
kembali memori masa otoriter, ketika kita tak mengantre BLT, dan pengangguran
pun tak menyulut kerusuhan.
Meski demikian, betapa pun orang meragukan demokrasi, toh
gelombang demokratisasi pada kenyataannya tengah menggulung dunia. Tercatat
dari 193 negara di dunia, 188 di antaranya dikategorikan sebagai negara
demokrasi. Dalam unit yang mikro, 54% penduduk dunia saat ini bernaung di bawah
payung pemerintahan demokratis. Meski memang selayaknya di Indonesia, gelombang
demokratisasi global juga masih menyertakan masalah. Lima puluh persen proses
demokratisasi di muka bumi ini baru menggeliat di ruang politik formal. Ia
belum menjalar ke area kebebasan sipil dan kesejahteraan rakyat.
Kolumnis Fareed Zakaria mencatat fenomena itu sebagai
`demokrasi illiberal'. Fenomena ini menyiratkan adanya situasi demokrasi semu,
parsial, intensitas rendah, rezim hibrida atau demokrasi delegatif. Dalam model
ini, terjalin hubungan yang intim antara politisi dan warga pada saat mereka
menggelar pemilihan langsung. Namun sayang, para politikus dan warga kembali
`pisah ranjang' pascapemilihan, yaitu periode saat proses pemerintahan jus tru
mulai berjalan.
Konsekuensinya, model ini hanya membentuk masyarakat `tak terbuka'.
Sebagai ilustrasi, saat ini banyak negara tidak masuk kategori `negara bebas'
atau `negara tidak bebas'. Masyarakat yang tak terbuka ini masuk kategori
`negara berkemungkinan bebas', yakni negara yang terhuyung-huyung antara rezim
demokratis dan otoriter.
Untuk itu, Zakaria mengusulkan komunitas internasional agar
mengakhiri obsesi pe sesi pemilihan umum dan mengimbanginya dengan agenda
partisipasi masyarakat. Agenda tersebut harus memperkuat kontrol terhadap
kekuasaan, men dukung demokrasi, dan membatasi kekuasaan orang orang yang berpotensi
merusak. Dengan kata lain, demokratisasi formal saja tidak cukup. Pemilihan
umum yang sehat selayaknya dipo sisikan sebagai trigger yang sinambung dengan partisipasi masyarakat.
Jika kita lihat dengan kaca mata demokrasi illiberal ini,
kita tak akan heran kenapa banyak ka langan meragukan demo krasi kita.
Pandangan itu sesungguhnya di dasari sesat pikir terhadap demo krasi itu
sendiri. Di satu sisi, banyak kalangan menganggap demokrasi sebagai ramuan
ajaib yang menyembuhkan semua penyakit. Mereka mengira, cukup dengan pemilihan
umum, rakyat akan hidup bebas, sejahtera, dan berdaulat.
Pikiran yang sebenarnya mistis itu bergandeng erat dengan
sikap para politikus yang ada saat ini. Mereka menganggap, dengan dipilih
rakyat, otomatis mereka merepresentasikan demokrasi. Dengan begitu, mereka
berhak merumuskan kebijakan dan mengambil keputusan. Alhasil, para politikus
banyak terjebak pada sikap-sikap primordial yang mengutamakan sentimen sempit
di atas substansi demokrasi.
Mengasuh
demokrasi
Ibarat manusia, 15 tahun adalah usia remaja. Bayi-bayi yang
bersalin di bawah payung demokrasi pascareformasi pun tengah menginjak usia
remaja. Di satu sisi, mereka telah meninggalkan predikat kanak-kanak, tapi
belum cukup disebut dewasa. Meski begitu, pendekatan psikologi meyakini usia
remaja sangatlah penting dalam menentukan arah masa depan.
Di depan telah kita singgung, bagaimana aktor-aktor lama
mulai meromantisasi memori otoriter mereka. Masyarakat sipil sedang digiring
menuju surealitas demokrasi dan otoriter. Wajah-wajah bimbang pun mulai
menghiasi medan politik kita.
Contoh nyata terlihat pada tingginya pemilih yang tak
menggunakan hak suara.
Sebutlah beberapa momen terakhir, pemilu kada Bali mencatat 26% pemilih tak menggunakan hak suara, di Jabar mencatat angka 35,76%, Sumut 30%, dan Jawa Tengah bahkan mencatat angka 49%.
Sebutlah beberapa momen terakhir, pemilu kada Bali mencatat 26% pemilih tak menggunakan hak suara, di Jabar mencatat angka 35,76%, Sumut 30%, dan Jawa Tengah bahkan mencatat angka 49%.
Jika kita korelasikan dengan pemaparan di atas, terlihat
demokrasi illiberal yang kita alami telah memperkuat romantisme masyarakat
terhadap masa otoriter.
ertanyaannya, benarkah cita rasa otoriter yang telah kita buang itu lebih maknyus dari demokrasi yang kita cecap saat ini?
ertanyaannya, benarkah cita rasa otoriter yang telah kita buang itu lebih maknyus dari demokrasi yang kita cecap saat ini?
Jika berpikir lebih jernih, tentu kita katakan `tidak'. Kita
perlu bedakan antara pandangan reflektif dan komentar yang `galau'. Memang,
demokrasi yang kita asuh belum sepenuhnya mewujudkan tatanan bebas, setara, dan
sejahtera. Pola pikir mistis, primordialisme aktor, dan cara-cara mobilisasi
instan telah memperlambat gerak demokrasi. Sebagian kita pun belum menyadari
salah asuh demokrasi yang tengah berlangsung.
Dalam kondisi semacam ini, seseorang akan mudah galau
dengan kembali membayangkan kebaikan-kebaikan masa lalu. Mungkin itu bisa
diibaratkan seperti seseorang yang tengah cekcok dengan pasangannya, yang
tiba-tiba teringat kepada mantannya. Kalau dia berpikir jernih, dia akan sadar
bahwa mereka tak akan putus jika mantannya itu benar-benar pasangan yang tepat.
Seperti itulah realitas demokrasi kita saat ini.
Jika ingin membenahi demokrasi kita, setidaknya dua aras
perlu kita masuki, yaitu aras konstituen dan aras politisi. Tak ada solusi
selain memperkuat virtue (nilai kebajikan) para politikus dan warga sendiri.
Di satu sisi, para politikus harus menegaskan virtue mereka sebagai representasi
kepentingan rakyat. Di sisi lain, warga juga harus sadar bahwa demokrasi adalah
proses berlanjut, dari pembentukan pemerintahan, penyaluran aspirasi,
pengawasan, hingga pengawalan, dan evaluasi kebijakan. Itulah demokrasi yang
notabene memberi kebebasan bagi warga untuk menentukan nasib.
Tugas mengasuh demokrasi kita tidaklah mudah. Ada sederet
prioritas mendesak perlu dilakukan. Jika tidak, remaja-demokrasi yang tengah
mencari jati diri ini bisa terseret kegalauan konservatif orangtuanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar