|
KOMPAS, 02 Juni 2013
Bagaimanakah
rasanya menerima penghargaan? Saya rasa sebagian besar orang seperti saya:
seumur-umur tak pernah menerima penghargaan. Hanya saja, kalau Anda mau, di
zaman reality show ini, setiap
orang sebenarnya berkesempatan bisa mendapat sorotan perhatian, istilahnya, in
the limelight. Teman saya sesama wartawan, Maman Suherman, yang lama
berkecimpung di dunia pertelevisian dan memiliki hubungan luas di kalangan
pesohor, menulis buku membeberkan seluruh kemungkinan tersebut.
Lewat
Bokis, Kisah Gelap Dunia Seleb, ia
menceritakan pengalamannya bersinggungan dengan rekayasa visual–yang sebenarnya
juga berarti rekayasa kultural–dari orang-orang yang ingin masuk dunia penuh
sorotan. Misalnya pengusaha dari luar Jawa yang berambisi anak gadisnya menjadi
pesinetron dan penyanyi terkenal. Pengusaha itu membayar pencipta lagu, menyewa
studio, memproduksi rekaman, membeli sendiri hasil rekamannya agar dapat
penghargaan Platinum karena dianggap
laris, sampai kemudian, dia bangkrut dan si anak–celakanya–tetap mlempem.
Atau
kisah pemberian gelar berpakaian rapi serasi pada orang kaya oleh sebuah
kepanitiaan, yang katanya sudah mengamati penampilan si calon penerima gelar
sepanjang tahun. Padahal, kepanitiaan baru dibentuk tiga bulan. Tak masalah,
banyak orang gila gelar bersedia membayar berapa pun, dan tak akan
mempertanyakan anakronisme tadi. Kira-kira seperti pemimpin penerima
penghargaan di seputar hak-hak asasi manusia dan toleransi, yang tak peduli
dengan anakronisme penghargaan itu dibandingkan kenyataan di negeri yang
dipimpinnya.
Ada
pula seorang ibu yang menyerahkan anak perempuannya untuk difoto, difoto apa
saja, pokoknya bisa dimuat di media massa (si anak sebelumnya sudah punya
banyak foto telanjang). Atau pesohor yang ingin disorot ketika memberi bantuan
korban banjir. Si pesohor duduk di genangan air agar kelihatan dramatik, karena
waktu dia datang air telanjur surut. Masih
banyak lagi kisah orang edan diceritakan Maman lewat bukunya. Ia kini tengah
menyiapkan buku kedua.
Fenomena
kebudayaan paling penting kini adalah reality
show. Ia mengubah hidup banyak orang, bahkan mengubah kehidupan atau
setidaknya cara pandang seseorang terhadap kehidupan. Bagi penyelenggara dunia
hiburan, tontonan ini juga menguntungkan: murah, populer, tak perlu ada
serikat-serikatan bagi pekerjanya. Semua bagian dari masyarakat pengin ikut
serta. Kalau perlu membayar. Kadang dengan kehormatan diri.
Karena
popularitasnya, ia mudah mendatangkan sponsor. Sponsor berdiri di belakang
program reality show seperti program
mencari pasangan hidup, dramatisasi kemiskinan seseorang, kesialan seseorang,
dan lain-lain. Dengan kata lain, inilah zaman di mana cinta, kemiskinan,
kesialan, semua mendatangkan sponsor.
Pernah
ada film, judulnya The Hunger Games,
yang isinya semacam proyeksi dari keadaan masyarakat di masa depan, ketika
semua orang ingin terlibat dalam reality show. Pesertanya adalah masyarakat
miskin yang termanipulasi. Mereka saling bunuh, tereliminasi satu persatu,
untuk satu pemenang terakhir. Makin dramatis dan brutal aksi saling-bunuhnya,
makin sponsor berdatangan. Itukah masa depan kita?
Saya
bangga dengan Komunitas Lima Gunung
tempat asal saya di Jawa Tengah. Tiap tahun para petani di sini
menyelenggarakan acara tahunan besar-besaran, dan menolak sponsor. Kehidupan
kami, masyarakat gunung, terlalu berharga untuk disponsori.
Dulu
ada petuah: jangan percaya pada yang kamu dengar, tapi percaya pada yang kamu
lihat. Sekarang ini, apa yang kita lihat pun rasanya harus kita gugat, agar
kita tidak terperangkap pada kesadaran palsu.
Terkecuali
kita memang membiasakan diri, membentuk diri dengan kesadaran palsu, suka
menipu bukan saja orang lain, tetapi diri sendiri, menjadi tokoh bombongan. Kalau itu yang terjadi, mari
kita sama-sama mencari celah untuk menerima penghargaan. Dunia memang sudah
terbalik-balik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar