|
SUARA
KARYA, 20 Juni 2013
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Pemilihan Kepala Daerah terus dibahas antara DPR dan pemerintah. Mudah-mudahan
ada titik temu untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah, tanpa harus
mereduksi hakikat demokrasi yang telah memberi kedaulatan rakyat untuk
menentukan siapa yang akan jadi pemimpinnya. Termasuk di dalamnya mengenai
relasi antara kepala daerah dan wakilnya.
Harus diingat, berdasarkan Pasal
56 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa "kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil", walau tidak disebutkan dalam UUD 1945 bagaimana wakil
kepala daerah dipilih sebab Pasal 18 poin 4 berbunyi, "Gubernur, bupati, dan
walikota masing masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
dan kota dipilih secara demokratis".
Sejak saat itu hubungan antara
kepala dan wakil kepala daerah diwarnai banyak persoalan. Pertama, rivalitas
antara keduanya. Gubernur dan wakil gubernur antara walikota dengan wakil
walikota, antara bupati dengan wakil bupati dan terjadi hubungan persaingan
satu sama lain dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Di
antara kepala daerah dan wakil kepala daerah justru sering saling berebut
pengaruh baik di lingkungan aparat pemerintahan maupun di masyarakat.
Kedua, terjadi konflik
kepentingan. Pada umumnya kepala daerah dan wakil kepala daerah berasal partai
politik yang berbeda. Dengan latar belakang itu, tentu keduanya akan
memperjuangkan kepentingan partai politik (parpol) pengusung masing-masing. Hal
ini akan mengganggu kinerja pemerintahan daerah dan aparatur daerah pada
umumnya. Akhirnya, rakyat yang kena getah ketidakharmonisan pimpinan itu.
Ketidakharmonisan antara kepala
daerah dan wakilnya mencapai puncak terutama menjelang pilkada.
Sebab, yang
sering terjadi, kepala daerah tetap mencalonkan diri atau mempunyai calon
pengganti sendiri, sedang wakil kepala juga bersiap maju untuk "naik
pangkat" dari wakil menjadi kepala. Apalagi, mereka dari partai berbeda
yang membuat mereka bersaing berebut pengaruh. Apabila seperti ini, maka
terjadilah pertarungan antara kepala versus wakilnya. Oleh sebab itu, perlu
ditata ulang hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, agar penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat berjalan baik, efektif dan efisien.
Pola hubungan kepala daerah dengan
wakil kepala daerah dapat dilacak pada tiga UU Pemerintah Daerah yang berlaku.
Pertama, UU No 5 Tahun 1974
tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada masa ini penyelenggaraan
pemerintah daerah dijalankan pada era otoritarian, orientasinya pada negara
(oriented state). Hal tersebut terlihat pada pertaggungjawaban yang bersifat
vertikal, yakni Bupati/Walikota bertanggungjawab kepada Mendagri melalui
Gubernur, dan Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden melalui Mendagri.
Pada masa ini tidak muncul masalah
berkaitan dengan hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebab,
pemilihan kepala daerah dilakukan secara sentralistis, dan tidak semua daerah
mempunyai wakil kepala daerah.
Kedua, masa berlakunya UU No 22
Tahun 1999 penyelenggaraan pemerintah daerah rezimnya adalah demokrasi. Problem
yang muncul pada masa ini, adalah kepala daerah dipilih dalam satu paket oleh
DPRD. Walau pun demikian, terdapat perbedaan pertanggungjawaban.
Kepala daerah bertanggungjawab
kepada DPRD, sedang wakil kepala daerah bertanggungjawab kepada kepala daerah.
Apabila kepala daerah berhalangan tetap, diganti oleh wakil kepal daerah sampai
habis masa jabatannya. Namun, bila wakil kepala daerah yang berhalangan tetap,
maka jabatan wakil kepala daerah dibiarkan kosong.
Ketiga, hubungan kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang diatur dalam UU No 32 tahun 2004. Wakil kepala daerah
dan kepala daerah dipilih oleh rakyat dalam satu paket pemilihan, namun anehnya
wakil kepala daerah tetap bertanggungjawab kepada kepala daerah. Inilah yang
menjadi pemicu konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Akar persoalan terjadi disharmonis
hubungan antara kepala daerah dan wakilnya, karena tidak adanya parpol meraih
suara mayoritas di DPRD, (Kota, Kabupaten, Provinsi) sehingga terjadi
pencalonan kepala daerah dan wakilnya oleh gabungan parpol. Hal ini
memungkinkan antara kepala daerah dan wakilnya berasal dari parpol yang berbeda.
Perbedaan parpol yang mencalonkan
kepala daerah dan wakilnya menyebabkan di tahun-tahun awal pemerintahan
"pisah ranjang" antara kepala daerah dan wakilnya acap terjadi.
Kemudian, terjadi "perceraian" diakhir masa jabatan, dan "permusuhan"
saat pemilihan periode berikutnya. Upaya memperbaiki hubungan antara kepala
daerah dan wakilnya saat ini muncul gagasan, pertama wakil kepala daerah
berasal dari pegawai negeri sipil (PNS) yang ditunjuk oleh kepala daerah atau
dipilih oleh DPRD. Kedua, wakil kepala daerah dipilih dari kalangan profesional
atas usul kepala daerah terpilih.
Kedua usulan ini menimbulkan
masalah hukum, sebab jika usulan pertama atau usulan kedua yang diterima,
kemudian menjadi materi muatan UU pemda yang baru, dapat dipastikan akan melanggar
hak konstitusional warga negara yang bukan PNS maupun yang merasa bukan
profesional. Bahkan, definisi profesional akan memancing perdebatan.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan
penyederhanaan parpol supaya ada yang bisa meraih suara mayoritas di DPRD. Sehingga,
dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah berasal dari parpol yang
sama. Kedua, pengaturan hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah
dan adanya pertanggungjawaban yang sama (kepada pemilih) baik kepala daerah
maupun wakil kepala daerah. Atau, tidak perlu ada jabatan wakil kepala daerah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar