|
KOMPAS,
20 Juni 2013
Dalam setahun belakangan ini, media kerap
memberitakan bahwa pendidikan di Indonesia menekankan sisi kognitif.
Terlebih, tak jarang pendidikan yang
mengembangkan sisi kognitif dipertentangkan dengan pendidikan karakter. Bahkan,
sesekali pendidikan yang menekankan sisi kognitif dituduh sebagai penyebab
masalah, seperti tawuran. Tak pernah ada penelitian yang mengatakan semakin
tinggi sisi kognitif seseorang, semakin tinggi peluang kekerasan. Yang terjadi
justru pendidikan di Indonesia saat ini terlalu menceramahkan moral, sekaligus
lalai menumbuhkan kecakapan berpikir kritis dan analitis.
Hasil survei Programme for International Student Assessment dan Trends in
International Mathematics and Science Study berkala sejak sebelum 2000
sampai 2011 justru menunjukkan sisi kognitif siswa Indonesia sangat lemah dan
stagnan. Memang betul siswa Indonesia sangat kuat dalam domain ”mengingat”,
yang tak butuh mengolah informasi. Namun, pada tingkatan yang perlu pemrosesan
informasi, siswa Indonesia sangat lemah. Ini berarti pembelajaran Matematika
dan IPA di Indonesia belum berhasil mengembangkan sisi kognitif.
Sisi kognitif dan karakter pada praktiknya
mustahil dipisahkan. Keduanya beriringan. Sekolah yang berhasil dalam
pendidikan karakter juga mengembangkan atmosfer yang mendukung dan merawat
proses berpikir (Costa dan Kallik, 2009,
hal 76).
Pengetahuan ilmiah
Sesudah menyalahkan pendidikan yang
menekankan domain kognitif sebagai penyebab kekacauan sosial, kemudian
tampaknya tercetus gagasan dan hasrat memorali pengetahuan ilmiah. Moral yang
sejak 1980-an gagal ditumbuhkan melalui penataran ratusan jam sekarang hendak dipaksakan
lewat jalan pintas lain, yakni disisipkan di pengetahuan ilmiah. Dari
pergerakan elektron di Kimia sampai perhitungan akuntansi di Ekonomi
disuntikkan perbendaharaan kata-kata moral. Penyusun Kurikulum 2013 secara
gamblang mengompromikan pengetahuan ilmiah, tanpa rasa segan secuil pun.
Upaya memorali memang tak selalu salah,
tetapi masalahnya moral yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah belum tentu
sama dengan moral sehari-hari. Sikap jujur atau patuh terhadap hukum dibutuhkan
dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, di matematika, misalnya, tak dikenal
norma jujur. Jika siswa menuliskan 2 + 3 = 7, itu bukan tak jujur, tetapi
salah. Jika seseorang menghitung luas persegi panjang dengan cara
menjumlahkan–bukan mengalikan–panjang dan lebar, itu bukan tak patuh, tetapi
salah. Dengan pemaksaan memorali ini, substansi disiplin keilmuan dibengkokkan,
dicocok-cocokkan, hingga menghasilkan sains berwujud aneh dan keliru. Ini
gambaran kelahiran pseudoscience/sains
semu.
Secara umum, setiap cabang pengetahuan ilmiah
sudah mengandung moralnya sendiri. Lebih cerdas dan berguna sebenarnya
mengenali sekaligus mengembangkan moral yang berasal dari hasil proses
berilmu-pengetahuan. Contohnya, bertanggung jawab itu adalah norma alamiah yang
terkandung dalam proses berilmu-pengetahuan, yakni senantiasa memberikan alasan
pada setiap pernyataan ilmiah.
Dalam kasus kejadian pelanggaran hakikat
berilmu-pengetahuan di tataran kebijakan nasional seperti disinggung di atas,
sebenarnya sudah tersedia mekanisme pengendaliannya. Akademisi pendidikan
tinggi sejatinya menjadi garda penjaga berjalannya hakikat keilmuan. Namun,
mengapa mekanisme tersebut tidak berfungsi sekarang ini? Misalnya pada
kekisruhan kasus UN dan Kurikulum 2013, dapat dilihat bagaimana justru
kebanyakan perguruan tinggi menutup mata. Mempertaruhkan pendidikan tinggi
dengan menerima mahasiswa baru berdasarkan UN yang terang benderang ringkih
dasar penalarannya sekaligus semrawut pelaksanaannya justru dilakukan oleh
perguruan tinggi sendiri. Kemudian, kenyataan penyusunan buku ajar untuk
Kurikulum 2013 yang kurang saksama, dengan mutu meragukan, dan hanya 1,5 bulan
(Kompas, Sosok, 7/6) juga tak
meresahkan perguruan tinggi.
Dengan tata kelola perguruan tinggi seperti
sekarang, sulit mengharapkan akademisi peduli, merdeka berpendapat, dan gigih
menyampaikan koreksi. Kemdikbud terkesan bak adi-rektorat untuk seluruh
perguruan tinggi di Indonesia. Pemikiran tentang perlunya kemerdekaan
pengelolaan perguruan tinggi yang tak sekadar kemandirian mengurus keuangan ini
disampaikan 20-an akademisi pada saat bertandang ke kantor Wakil Presiden, 21
Mei 2013.
Agar pengetahuan ilmiah dapat berkembang,
bermanfaat, dan memajukan bangsa, perlu atmosfer yang menjamin kemerdekaan
berilmu-pengetahuan. Untuk menciptakan atmosfer seperti ini dibutuhkan jajaran
kepemimpinan yang percaya diri dan berdaya sehingga berani berbagi kewenangan
serta kekuasaan. Ini senada pernyataan di Tajuk Rencana (Kompas, 4/6) bahwa Kemdikbud perlu melakukan reformasi birokrasi.
Ini tak sulit. Jika menyusun buku ajar sekaligus melatih guru yang begitu rumit
dengan sangat yakin dapat dikerjakan secepat kilat, semestinya menuntaskan
reformasi atau revolusi budaya birokrasi sebelum tahun ini berakhir tak sulit.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar