|
IndoPROGRESS, 31 Mei 2013
SIAPA
yang bisa melupakan peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984? Ini adalah salah
satu kisah kelam mengenai kebrutalan militer Orde Baru, dalam menghadapi
tuntutan massa. Dalam peristiwa berdarah tersebut, ratusan orang mati, hilang,
dan ditangkap.
Ketika
peristiwa itu terjadi, Marulloh baru berumur 16 tahun. Ia adalah murid sebuah
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Malam itu, bersama temannya, ia dalam
perjalanan pulang menuju rumah, usai nonton bioskop di kawasan Tanjung Priok.
Marulloh sama sekali tidak tahu, jika malam itu aksi protes warga Tanjung
Priok dibubarkan tentara dengan brutal: ditembak, dipukul, dan ditangkap. Warga
protes karena mendapat kabar ada tentara yang tak sopan masuk mushola tanpa
melepas sepatu.
Tiba-tiba
saja tentara bersenjata muncul dan berteriak menyuruh Marulloh berhenti. Karena
terkejut, bukannya berhenti Marulloh dan temannya malah lari ketakutan. Namun,
beberapa orang tentara sudah menutup jalan. Mereka terkepung. Marulloh dan temannya
ditangkap. Ia digelandang ke dalam truk bersama puluhan warga lainnya.
Dalam
gelap malam, truk melaju menuju rumah tahanan (Rutan) Guntur, di
sekitar Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan. Guntur adalah tempat
penyiksaan yang terkenal menyeramkan bagi para korban tahanan politik
(Tapol), sejak Peristiwa Gestok 1965. Bersama Irta, Marulloh merupakan
tahanan politik paling muda. Beberapa waktu kemudian, ia dan tapol
lainnya di pindah ke rumah tahanan di Cimanggis, hingga dibebaskan.
Selama dalam tahanan,
Marulloh menyaksikan dan merasakan dengan mata kepalanya tentang kekejaman
aparat militer. Slogan TNI tentara rakyat, lenyap tanpa bekas. Yang ada
didepannya adalah monster yang haus darah dan gemar menyiksa. Selama
‘dititipkan’ di Rutan Guntur, ia dan tahanan politik lainnya mengalami segala
model penyiksaan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Suatu kali,
sehabis dipukuli sang interrogator, Marullah berkata ‘nanti kalau guah sudah keluar guah sate lu.’
Sang interogator yang mendengar pun kontan naik pitam. Marulloh diseret dan
ditelanjangi. Kemaluannya disetrum.
Peristiwa
itu membekas dalam memorinya. Marulloh mengambil sikap tegas. ‘Saya marah sekali dengan tentara.’
Sementara teman Marulloh yang juga mengalami berbagai penyiksaan, kabarnya
mengalami depresi berat sampai hari ini.
Memasuki
era reformasi 1998, Marulloh giat dalam aktivitas menuntut keadilan korban
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk korban kasus Tanjung Priok. Itu
sebabnya, ketika Cak Munir dan korban penghilangan paksa mendirikan Kontras dan
IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), ia dengan sukarela ikut bergabung.
Turut bersamanya adalah para korban Tanjung Priok lainnya. Di sini, ia saling
menguatkan dengan para korban kekerasan rezim Orde Baru lainnya. Marulloh
terlibat dalam berbagai kegiatan kampanye dan advokasi, menuntut tanggungjawab
negara dan keadilan bagi korban.
Dari pernikahannya, Marulloh
dikaruniai enam orang anak. Yang tertua baru lulus SMU, yang terkecil masih
balita. Anak tertuanya ini satu ketika pernah menyatakan pada Marrulloh, ‘lulus
SMU saya bisa kuliah enggak ya,
dibantu Kontras?’ Marulloh sadar, ia tak mampu membiayai kuliah anak sulungnya.
‘Sudah, nanti cari kerja saja dulu.’
Marulloh ingin anaknya punya
usaha kecil sendiri. Dengan begitu sang anak bisa mandiri dan bantu keluarga.
‘Tapi cari modal susah. Harusnya pemerintah kasih kompensasi pada korban,
supaya bisa jadi modal dagang,’ ujarnya dalam suatu kesempatan. Namun, Marulloh
ingin kompensasi bukan sebagai sogokan. Karena itu, ketika para jendral
yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984, mengajukan
tawaran berdamai dengan bahasa Islah, Marulloh dan
sebagian korban Tanjung Priok lainnya menolak. Ia bersikukuh menuntut
keadilan dan tanggung jawab negara. Ia bersama dengan IKOHI, Kontras, dan
para korban lainnya selama bertahun-tahun menuntut keadilan bagi korban. Keadilan
bagi korban dan kompensasi memang satu paket yang tak boleh dipisahkan.
Sayangnya, negara yang berdasarkan Pancasila ini, justru ingin memberikan
kompensasi untuk meniadakan keadilan.
Dari
segi kesehatan, Marulloh sejak lama terkena penyakit asma. Penyakitnya semakin
parah pasca penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan yang dilakukan tentara.
Beberapa tahun terakhir, ia juga terkena penyakit gula (diabetes). Saya yang
juga terkena penyakit gula, sering membicarakan topik ini bersamanya di
Kontras. Satu waktu, kadar gulanya bahkan pernah mencapai angka 600. Akibatnya,
ketika ia menderita luka, proses penyembuhannya memakan waktu yang lama.
Sialnya lagi, saat sakit seperti itu, rumahnya kebanjiran tahun lalu.
Pada satu malam, tepatnya,
23 Mei lalu, Marulloh giliran piket jaga di Kontras. Kawan-kawan Papua dari
NAPAS (National Papua Solidarity), menjadi temannya begadang.
Bernard Agapa, adalah salah satu teman ngobrolnya malam
itu. Tiba-tiba saja Marulloh berkata, ‘tolong foto saya dunk.’ Permintaan itu terasa aneh bagi Bernard.
Soalnya, hampir tiap piket malam bersama, baru kali itu Bernard mendengar
Marulloh minta difoto. Bernard lantas mengambil foto Marulloh, di depan meja
tamu Kontras. Foto terakhir ini menjadi foto Marulloh yang dibawa ke makam.
Menurut Bernard, malam itu
Marulloh mengeluh sakit. ‘Badan guah cape
banget hari ini.’ Keluhan ini memang bukan hal baru. Penyakit diabetes membuat
stamina Marulloh kerap drop. ‘Guah sering cepet ngantuk dan
capai,’ ujarnya.
Malam itu, saya pamitan
pulang dengan Marulloh di Kontras. Saya sempat menegur dia yang sedang makan
kacang dengan teh manis. Soal makanan, Marulloh memang kurang disiplin.
Dia berkilah dengan berseloroh, ‘mumpung masih hidup. Kalau sudah mati nggak bisa makan enak.’
Pada
pagi harinya, Marulloh pulang ke rumah. Tiba-tiba ia mengalami sesak napas.
Keluarga mencoba membawanya ke rumah sakit. Tapi nyawanya tidak tertolong.
Marulloh pergi meninggalkan keluarga, pekerjaan, dan kawan-kawannya dalam usia
43 tahun.
Siang,
sebelum sholat Jumat, Marulloh dimakamkan di Pemakaman Islam Kampung
Pulogadung, Jakarta Timur. Keluarga, tetangga, teman, dan keluarga besar
Kontras dan IKOHI, mengiringi kepergian lelaki hebat yang selalu
ramah pada orang yang datang ke kantor Kontras. Istrinya tampak menangis di
sudut makam.
Kami
semua berduka untuk kepergiannya yang begitu mendadak. Selamat jalan kawan. Kau adalah teladan
bagi kami. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar