|
KORAN
SINDO, 21 Juni 2013
Panasnya diskusi dalam sidang tersebut terkait dengan
rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan pengalihan subsidi oleh
pemerintah. Presiden mensyaratkan dana kompensasi untuk masyarakat miskin
dengan berbagai skemanya telah siap jika harga BBM dinaikkan.
Kebijakan tersebut memang tampak bagus di atas kertas. Argumentasi bahwa pengurangan subsidi BBM yang banyak dinikmati masyarakat menengah ke atas akan dialihkan pada subsidi tepat sasaran untuk masyarakat miskin secara teoretis bagus dan mestinya akan mudah diterima masyarakat. Namun kita lihat demonstrasi menentang kenaikan harga BBM masih saja terjadi dan Presiden pun hingga Kamis sore belum membuat keputusan atas kenaikan harga BBM.
Masalah BBM telah menyandera ekonomi kita. Bahkan dalam diskusi di Indonesian Economic Outlook (IERO), P2EB, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM pada 19 Juni 2013 yang bertema “Ekonomi Indonesia Tersandera BBM” diulas dengan tuntas bahwa berbagai masalah dan kontroversi tentang subsidi BBM telah menimbulkan kekhawatiran.
Menurut Rimawan Pradiptyo, subsidi BBM adalah “bom waktu yang tumbuh” karena nilainya terus meningkat sehingga jika tidak segera dipangkas akan membuat APBN “jebol” pada masa mendatang. Bayangkan saja pemerintah pusat bisa menghabiskan 20% belanjanya untuk subsidi BBM, bisa terus meningkat, sehingga subsidi BBM harus dikurangi.
Dilihat dari argumen ekonomi bisa dipahami bahwa pengurangan subsidi BBM memang perlu dilakukan dan mestinya pengalihannya dianggarkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin atau kegiatan yang bisa memberikan kesejahteraan sosial yang besar. Namun terdapat banyak masalah dalam kebijakan yang tampak bagus tadi.
Kebijakan yang “Buruk”
Kenaikan harga BBM seperti yang direncanakan, jika jadi dilakukan pada bulan Juni ini, jelas akan menjadi kebijakan yang “buruk” meskipun dari sisi substansinya sebenarnya bisa diterima. Beberapa masalah yang muncul di antaranya besarnya kenaikan harga BBM yang tajam akan sulit diterima masyarakat, timing-nya juga buruk karena mendekati puasa dan Lebaran, belum lagi dilakukan di tahun politik sehingga menimbulkan dugaan adanya “sogokan” kepada masyarakat dengan uang BLSM-nya.
Karena itu, kebijakan tersebut menghangatkan suhu sosial dan politik dan mendapatkan banyak tantangan. Jelas bukan suatu kebijakan yang baik. Apalagi berbagai program kompensasi kepada masyarakat miskin ternyata akan dibiayai dari utang yang dapat dilihat bahwa defisit keseimbangan primer APBN meningkat dari Rp 40,1 triliun menjadi Rp 111,7 triliun.
Dengan demikian, apa pun argumen pemerintah, kebijakan pengurangan subsidi BBM kali ini jika jadi dilakukan adalah “buruk” atau lebih tepatnya “bener ning ora kepener”. Apalagi dampak yang bisa muncul dari kebijakan tersebut jika jadi dilakukan pada bulan Juni ini membuat “miris”. Betapa tidak, tingkat inflasi menurut pemerintah akan meningkat menjadi 7,2% untuk tahun 2013 atau menurut BI kebijakan tersebut akan mendongkrak inflasi menjadi 7,7%.
Namun jika tidak hati-hati inflasi bisa melambung di atas 10% pada 2013. Ada beberapa hal yang mendasari kekhawatiran tersebut. Ingat saja sewaktu pemerintah menaikkan harga BBM ratarata lebih dari 100% pada 2005, hal itu telah mendorong inflasi hingga 17%. Kali ini harga premium direncanakan naik Rp 2.000 atau naik 44% dan harga solar direncanakan naik 22% sehingga rata-rata kenaikan adalah 33%.
Namun Organda Jakarta saja sudah ancangancang akan menaikkan tarif kendaraan umum 30% karena sekaligus mengakumulasikan kenaikan biaya lain-lain sehingga dampaknya pada kenaikan harga akan signifikan karena biaya logistik Indonesia rata-rata 16% dari biaya produksi. Bisa dibayangkan kenaikan harga barang dan jasa hanya dari kenaikan harga BBM dan biaya logistik akan besar.
Belum lagi harga barang dan jasa di bulan puasa dan Lebaran biasanya naik, padahal rupiah juga melemah, bahkan pernah mencapai Rp 10.000 untuk tiap dolar AS, serta tarif dasar listrik dalam tahun ini juga naik 15% secara bertahap. Maka inflasi yang saat ini sudah mencapai 5,4% dalam satu tahun terakhir ini bisa meningkat tajam.
Jika tidak berhati-hati bisa tembus 10%, yang tentu dampaknya bagi masyarakat luas, khususnya yang pendapatannya paspasan, tetap akan besar sekali. Selain itu suku bunga pasti juga akan naik jika inflasi meroket sehingga akan memukul investasi yang mulai turun laju pertumbuhannya. Maka secara umum dampak yang bisa ditimbulkan dari kenaikan harga BBM yang di-deliver secara buruk akan bisa meningkatkan instabilitas ekonomi makro dan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Mestinya kita belajar dengan baik berbagai kebijakan pengurangan subsidi BBM pada Orde Reformasi yang selalu menimbulkan kontroversi sehingga meningkatkan suhu sosial politik. Kebijakan harga BBM yang murah memang tidak bisa terus dipertahankan, tetapi menaikkan harga BBM perlu dilakukan dengan baik.
Kenaikan TDL listrik yang bertahap terencana bisa menjadi contoh yang baik, yang bisa diterapkan dalam kenaikan harga BBM. Semoga kontroversi kenaikan harga BBM yang menguras energi kita tidak terulang pada masa mendatang. Pengalaman buruk kali ini tidak perlu diulangi lagi. Semoga. ●
Kebijakan tersebut memang tampak bagus di atas kertas. Argumentasi bahwa pengurangan subsidi BBM yang banyak dinikmati masyarakat menengah ke atas akan dialihkan pada subsidi tepat sasaran untuk masyarakat miskin secara teoretis bagus dan mestinya akan mudah diterima masyarakat. Namun kita lihat demonstrasi menentang kenaikan harga BBM masih saja terjadi dan Presiden pun hingga Kamis sore belum membuat keputusan atas kenaikan harga BBM.
Masalah BBM telah menyandera ekonomi kita. Bahkan dalam diskusi di Indonesian Economic Outlook (IERO), P2EB, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM pada 19 Juni 2013 yang bertema “Ekonomi Indonesia Tersandera BBM” diulas dengan tuntas bahwa berbagai masalah dan kontroversi tentang subsidi BBM telah menimbulkan kekhawatiran.
Menurut Rimawan Pradiptyo, subsidi BBM adalah “bom waktu yang tumbuh” karena nilainya terus meningkat sehingga jika tidak segera dipangkas akan membuat APBN “jebol” pada masa mendatang. Bayangkan saja pemerintah pusat bisa menghabiskan 20% belanjanya untuk subsidi BBM, bisa terus meningkat, sehingga subsidi BBM harus dikurangi.
Dilihat dari argumen ekonomi bisa dipahami bahwa pengurangan subsidi BBM memang perlu dilakukan dan mestinya pengalihannya dianggarkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin atau kegiatan yang bisa memberikan kesejahteraan sosial yang besar. Namun terdapat banyak masalah dalam kebijakan yang tampak bagus tadi.
Kebijakan yang “Buruk”
Kenaikan harga BBM seperti yang direncanakan, jika jadi dilakukan pada bulan Juni ini, jelas akan menjadi kebijakan yang “buruk” meskipun dari sisi substansinya sebenarnya bisa diterima. Beberapa masalah yang muncul di antaranya besarnya kenaikan harga BBM yang tajam akan sulit diterima masyarakat, timing-nya juga buruk karena mendekati puasa dan Lebaran, belum lagi dilakukan di tahun politik sehingga menimbulkan dugaan adanya “sogokan” kepada masyarakat dengan uang BLSM-nya.
Karena itu, kebijakan tersebut menghangatkan suhu sosial dan politik dan mendapatkan banyak tantangan. Jelas bukan suatu kebijakan yang baik. Apalagi berbagai program kompensasi kepada masyarakat miskin ternyata akan dibiayai dari utang yang dapat dilihat bahwa defisit keseimbangan primer APBN meningkat dari Rp 40,1 triliun menjadi Rp 111,7 triliun.
Dengan demikian, apa pun argumen pemerintah, kebijakan pengurangan subsidi BBM kali ini jika jadi dilakukan adalah “buruk” atau lebih tepatnya “bener ning ora kepener”. Apalagi dampak yang bisa muncul dari kebijakan tersebut jika jadi dilakukan pada bulan Juni ini membuat “miris”. Betapa tidak, tingkat inflasi menurut pemerintah akan meningkat menjadi 7,2% untuk tahun 2013 atau menurut BI kebijakan tersebut akan mendongkrak inflasi menjadi 7,7%.
Namun jika tidak hati-hati inflasi bisa melambung di atas 10% pada 2013. Ada beberapa hal yang mendasari kekhawatiran tersebut. Ingat saja sewaktu pemerintah menaikkan harga BBM ratarata lebih dari 100% pada 2005, hal itu telah mendorong inflasi hingga 17%. Kali ini harga premium direncanakan naik Rp 2.000 atau naik 44% dan harga solar direncanakan naik 22% sehingga rata-rata kenaikan adalah 33%.
Namun Organda Jakarta saja sudah ancangancang akan menaikkan tarif kendaraan umum 30% karena sekaligus mengakumulasikan kenaikan biaya lain-lain sehingga dampaknya pada kenaikan harga akan signifikan karena biaya logistik Indonesia rata-rata 16% dari biaya produksi. Bisa dibayangkan kenaikan harga barang dan jasa hanya dari kenaikan harga BBM dan biaya logistik akan besar.
Belum lagi harga barang dan jasa di bulan puasa dan Lebaran biasanya naik, padahal rupiah juga melemah, bahkan pernah mencapai Rp 10.000 untuk tiap dolar AS, serta tarif dasar listrik dalam tahun ini juga naik 15% secara bertahap. Maka inflasi yang saat ini sudah mencapai 5,4% dalam satu tahun terakhir ini bisa meningkat tajam.
Jika tidak berhati-hati bisa tembus 10%, yang tentu dampaknya bagi masyarakat luas, khususnya yang pendapatannya paspasan, tetap akan besar sekali. Selain itu suku bunga pasti juga akan naik jika inflasi meroket sehingga akan memukul investasi yang mulai turun laju pertumbuhannya. Maka secara umum dampak yang bisa ditimbulkan dari kenaikan harga BBM yang di-deliver secara buruk akan bisa meningkatkan instabilitas ekonomi makro dan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Mestinya kita belajar dengan baik berbagai kebijakan pengurangan subsidi BBM pada Orde Reformasi yang selalu menimbulkan kontroversi sehingga meningkatkan suhu sosial politik. Kebijakan harga BBM yang murah memang tidak bisa terus dipertahankan, tetapi menaikkan harga BBM perlu dilakukan dengan baik.
Kenaikan TDL listrik yang bertahap terencana bisa menjadi contoh yang baik, yang bisa diterapkan dalam kenaikan harga BBM. Semoga kontroversi kenaikan harga BBM yang menguras energi kita tidak terulang pada masa mendatang. Pengalaman buruk kali ini tidak perlu diulangi lagi. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar