|
REPUBLIKA, 1 Juni 2013
Tiada
hari berlalu tanpa berita mengenai berbagai pelanggaran hak-hak perempuan.
Dalam beberapa bulan terakhir, peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak
perempuan, mulai dari Delhi ke Johannesburg sampai ke Cleveland, telah memicu
kemarahan publik dan menuntut adanya penanggulangan atas pelecehan yang mengerikan
tersebut.
Di
Bangladesh dan Kamboja, kematian mengejutkan dari pekerja-pekerja pabrik
garmen, banyak di antaranya perempuan, menyulut debat global tentang bagaimana
memperoleh pekerjaan yang aman dan layak di ekonomi yang mengglobal. Di Eropa,
dampak tidak proporsional atas pemotongan anggaran perempuan untuk penghematan
dan penggunaan kuota untuk menempatkan lebih banyak perempuan duduk di dewan
perusahaan terus menjadi berita utama.
Meskipun
perempuan telah membuat kemajuan secara nyata, kita terus-menerus diingatkan
seberapa jauh jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Pemimpin-pemimpin dunia menyadari meratanya
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan ketika mereka
menandatangani Deklarasi Millenium (Millenium
Declaration) pada 2000. Di antara delapan Tujuan Pembangunan Millenium
(MDGs), di dalamnya termasuk tujuan untuk mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaaan perempuan.
Dengan
berakhirnya MDGs pada 2015, saat ini kita sedang berpacu untuk mencapainya. Kita
sedang membicarakan di tingkat global mengenai apa yang harus menggantikan
MDGs. Saatnya memprioritaskan dan membawa isu-isu perempuan ke dalam fokus "to move from the side-lines to the
centre" (menggiring isu perempuan dari pinggiran masuk ke tengah).
Pada
agenda pembangunan pasca-2015 yang baru, kita harus membuat pencapaian MDGs dan
menghindari kekurangan-kekurangannya. Semua setuju bahwa MDGs telah mendorong
kemajuan untuk mengurangi kemiskinan, diskriminasi, dan meningkatkan pendidikan,
kesetaraan gender, kesehatan, air minum, dan sanitasi yang sehat dan aman.
Tujuan
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dapat dilacak dari jumlah
perempuan yang mendaftar sekolah, jumlah pangsa pekerjaan perempuan, dan jumlah
partisipasi perempuan di parlemen. Hal ini memicu perhatian dan aksi global.
Juga, berfungsi untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah, memobilisasi
banyak sumber daya yang sangat dibutuhkan, dan mendorong pembuatan
undang-undang baru, kebijakan-kebijakan baru, program-program baru, dan data
baru.
Namun,
masih banyak kelalaian yang mencolok. Yang paling terlihat adalah tidak adanya
acuan apa pun untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak
perempuan. Juga, hilang nya masalah mendasar lainnya, seperti hak perempuan
untuk memiliki properti dan pembagian yang tidak seimbang dari tanggung jawab
asuh dan pekerjaan rumah tangga.
Dengan
kegagalan mengatasi penyebab struktural diskriminasi dan kekerasan terhadap
perempuan dan anak perem puan, kemajuan menuju kesetaraan menjadi tertunda. Dari
seluruh MDGs, kemajuan paling lambat dilakukan terhadap MDG5, yaitu mengurangi
angka kematian ibu. Fakta bahwa tujuan ini paling sulit dicapai
menunjukkan rendahnya jangkauan ketidaksetaraan gender.
Untuk membuat
kemajuan yang lebih besar, UN Women mengajukan tujuan yang berdiri sendiri
"a stand-alone goal" untuk
mencapai kesetaran gender, hak- hak wanita, dan pemberdayaan perempuan yang
didasarkan pada hak-hak asasi manusia dan menangani hubungan kewenangan yang
tidak setara. Kami mempertimbangkan tiga area yang mem- butuhkan tindakan
segera.
Pertama,
mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan harus menjadi
prioritas. Dari pelecehan seksual di penampungan di Haiti, Suriah, dan Republik
Demokratik Kongo (RDK), sampai penembakan pasangan intim di Amerika Serikat dan
di tempat lain, kekerasan ini menyebabkan bahaya.
Kedua,
perempuan dan laki-laki membutuhkan kesempatan, sumber daya, dan tanggung jawab
untuk merealisasikan kesetaraan. Akses setara untuk kepemilikan tanah dan
kredit, sumber daya alam, pendidikan, layanan kesehatan, termasuk kesehatan
seksual, reproduksi, pekerjaan yang layak, dan pembayaran upah yang setara,
perlu dibenahi dan diperbarui dengan segera.
Yang
ketiga, suara perempuan harus didengar. Sudah waktunya bagi perempuan untuk
ikut serta secara seimbang dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga, sektor
swasta, dan lembaga pemerintahan. Meskipun ada kemajuan dalam beberapa tahun
terakhir, jumlah perempuan hanya 20 persen di parlemen dan 27 persen hakim.
Agar demokrasi menjadi berarti dan terbuka, suara dan kepemimpinan perempuan
harus lebih diperkuat di semua ruang publik dan privat.
Agenda
pembangunan baru manapun haruslah didasarkan pada perjanjian-perjanjian hak
asasi manusia yang telah ditandatangani oleh pemerintah.
Termasuk, Konvensi untuk Mengeliminasi Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (Convention on the Elimina-
tion of All Forms of Discrimination Agantis Women-CEDAW), The 1995 Beijing
Platform for Action, dan resolusi-resolusi PBB. Kemudian, perjanjian baru-baru
ini, yakni Komisi Status Wanita, dalam mengeliminasi dan mencegah segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Ada
banyak bukti yang menunjukkan bahwa negara-negara dengan status perempuan yang
tinggi juga menikmati kinerja ekonomi dan sosial yang lebih tinggi. Ada juga
bukti untuk memandu negara tentang apa yang berhasil, mulai dari kebijakan
pasar tenaga kerja yang adil hingga penghapusan undang-undang, kebijakan yang diskriminatif,
perlindungan sosial yang universal, dan pelayanan sosial. Aksi gerakan-gerakan
perempuan di mana-mana telah menjadi pendorong dan penuntut perubahan yang
kritis di semua bidang tersebut.
Diskusi-diskusi
untuk membentuk agenda pembangunan pasca-2015 menawarkan kesempatan nyata untuk
mendorong perubahan yang berkelanjutan bagi hak-hak dan kesetaraan perempuan.
Tujuan global yang kuat dapat mendorong masyarakat kita sampai pada titik
kritis yang akan menolak kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak
perempuan, memaksimalkan potensi dari separuh populasi global untuk dunia yang
lebih damai, adil, sejahtera, serta bumi yang berkelanjutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar