|
TEMPO.CO,
20 Juni 2013
Presiden Iran terpilih yang dikenal
moderat, Hasan Rowhani, menjanjikan transparansi atas program nuklir mereka. Ia
juga menjanjikan pemulihan hubungan baik dengan Barat, terutama AS, dengan
harapan sanksi-sanksi ekonomi, perdagangan, sains, dan militer bisa dicabut. Ia
juga mengatakan bahwa Iran punya hak atas tenaga nuklir dan ini akan
dipegangnya dengan teguh, sepanjang tidak melanggar hukum dan konvensi
internasional.
Namun Rowhani mempunyai
keterbatasan. Iran, yang merupakan negara teokrasi, menempatkan para ulama di
bawah pimpinan Ayatollah Ali Khamenei sebagai pemegang keputusan akan
kebijakan-kebijakan nuklir, pertahanan, dan hubungan luar negeri. Para ulama
ini dilindungi oleh Pengawal Revolusi. Kemoderatan Rowhani memang merupakan
angin segar bagi Barat dan dunia internasional, namun bisa jadi merupakan bumerang
dan berupa noise saja. Bagaimana Rowhani mengimbangi kekuatan
para ulama, ini masih perlu kita tunggu.
Terminologi “Barat” di sini dipakai
untuk menunjuk P5 plus 1, yang termasuk Cina, Rusia, Jerman, Prancis, Inggris
Raya, Uni Eropa, dan AS. Terminologi ini tidak digunakan untuk menunjuk dunia
internasional keseluruhan dengan 120 negara anggota Gerakan Tanpa Aliansi
(Non-Aligned Movement).
Bahwa Iran punya niat untuk
menggunakan tenaga nuklirnya untuk kepentingan penyerangan bom, sesungguhnya ini
masih merupakan spekulasi. Catatan sejarah menunjukkan bahwa semestinya Iran
punya niat damai dengan tenaga nuklirnya. Melalui tangan Shah, Iran merupakan
salah satu penanda tangan (signatoris) kesepakatan Non-Proliferation of Nuclear
Weapons (NPT) pada 1 Juli 1968.
Terhitung pada 1979, Iran sudah
punya program tenaga nuklir sipil dengan dua reaktor di Bushehr di Gulf Persia.
Tidak lama kemudian, Iran mengalami revolusi, sehingga Iran dan AS bukanlah
lagi aliansi yang akrab. Sebelum Revolusi Iran tahun 1979, AS mempunyai tiga
alasan untuk beraliansi dengan Iran: suplai energi minyak bumi, dukungan Iran
bagi Israel, dan mempromosikan demokrasi serta kebebasan.
Sebelum revolusi tersebut, Iran
merupakan pendukung Israel. Pada masa itu pula, Ayatollah Ali Khamenei
merupakan oposisi politik Shah yang pernah dikirim ke pengasingan di bawah
pengawasan AS dan Shah. Kebangkitan tradisi Syiah dengan tradisi agama yang
kuat memutarbalikkan kekuasaan atas proksi yang selama ini dipegang Shah. AS
mengalami pukulan politis.
Kekuatan politik Syiah sebagai
pembela yang lemah dan terinjak bertentangan dengan para aliansi di Teluk.
Saddam Hussein, misalnya, dikenal boros dan bergaya hidup mewah. Para ulama
Syiah memegang nilai-nilai kesederhanaan. Namun tentu saja ini bukan ukuran
yang sahih mengenai kemungkinan penggunaan tenaga nuklir untuk merebut
kekuasaan dunia. Ini hanya sebagai ilustrasi perbedaan cara pandang dan
hubungan antara pemegang kekuasaan atas energi minyak dan pengelola sumber daya
bagi kepentingan nasional alias “rakyat.”
Sekitar satu setengah tahun
Revolusi Iran, Irak menyerang Iran. Perang Iran-Irak berlangsung selama delapan
tahun. Irak dan para penguasa aristokrat negara-negara Teluk memandang Khamenei
sebagai “pemberontak.” Selama Perang Iran-Irak, AS memihak Irak. Di sini
dimulai posisi AS sebagai anti Iran. Dalam masa dan konteks ini pula, Iran
membentuk aliansi dengan Hizbullah di Libanon dan Hamas di Gaza. Semakin
“buruk”-lah Iran di mata AS.
Pembekuan aset Iran semasa Revolusi
Iran oleh Presiden Jimmy Carter dengan Executive Order pada November 1979
membekukan US$ 12 miliar. Dengan invasi Iran oleh Irak pada 1984, AS
meningkatkan sanksi terhadap Iran dengan pelarangan penjualan senjata dan
segala macam bantuan AS. Presiden Ronald Reagan melarang ekspor dan impor
perdagangan dari dan ke Iran.
Pasca 9/11 tahun 2001, Iran
mengajukan diri untuk membantu AS menumpas Al-Qaidah, yang disaksikan oleh
Hillary Mann, seorang US Representative di gedung PBB di Kota New York. Namun,
menurut Peter Osborne dan David Morisson dalam A Dangerous Delusion:
Why the West is Wrong about Nuclear Iran (Elliott and Thompson, Juni
2013), pemerintahan Bush tidak menanggapinya.
Menurut sumber yang sama, AS,
melalui diplomat James Dobbins, yang memimpin delegasi AS pada 2001 Bonn
Agreement on Afganistan pada 2002 dan 2003, Khamenei kembali mengajukan diri
untuk bekerja sama soal perbedaan-perbedaan persepsi dalam program nuklir
mereka dan membantu usaha perdamaian di Afganistan dan Irak. AS kembali
menolak.
Kepentingan AS di masa lampau akan
sumber daya minyak, ideologi demokrasi, dan dukungan Iran bagi Israel yang
tidak terlaksana, tampaknya masih menjadi momok bagi hubungan antara Iran dan
AS sampai sekarang. Juga ribetnya sanksi-sanksi ekonomi, perdagangan, sains,
militer, dan bantuan merupakan salah satu benang kusut dari “masalah nuklir
Iran” di mata AS.
Non-Proliferation of Nuclear
Weapons (NPT) sendiri merupakan treaty yang unik. Para penanda
tangan NPT terbagi atas dua kategori: negara-negara yang memiliki nuklir dan
negara-negara yang tidak memiliki nuklir. Para pemilik nuklir sebelum 1 Januari
1967 adalah Cina, Prancis, Rusia, Inggris Raya, dan AS. Iran saat itu termasuk
dalam kategori kedua. Dalam pasal ke-4 NPT tertulis, “..untuk meneruskan
negosiasi dengan iktikad baik mengenai penanganan efektif dalam hal pelucutan
nuklir….” Tidak ada batas waktu soal “pelucutan nuklir” ini yang merupakan legal
loophole tersendiri.
Sampai saat ini, lima negara
pemilik nuklir belum menghentikan program nuklir mereka dan negara-negara dalam
kategori kedua tetap dilarang memiliki senjata nuklir. Pengecualian penggunaan
nuklir untuk kepentingan sumber daya listrik diizinkan atas pengawasan
International Atomic Energy Agency (IAEA). Negara-negara pemilik nuklir untuk
kepentingan sumber daya listrik sekarang termasuk Jepang, Belanda, Argentina,
Brasil, Jerman, dan Iran. Di samping itu, Israel dan India memiliki tenaga
nuklir namun tidak (atau “belum”?) menandatangani NPT.
AS tidak ada masalah dengan lima
negara pemilik nuklir lainnya plus Israel dan India, namun tidak demikian
dengan Iran. Mengapa? Karena apabila Iran “diberi lampu hijau” untuk
melanjutkan program nuklirnya, ini berarti AS menarik sanksi-sanksi yang
diterapkan bagi Iran.
Indonesia sendiri, sebagai negara
berpenduduk mayoritas beragama Islam, menempati bumi yang sama. Bahwa Indonesia
mempunyai hubungan relatif spesial dengan AS melalui Barack Obama dan hubungan
“fraternitas” sesama muslim dengan Iran, hal itu belum mempunyai efek dalam
konstelasi ini. Obama tampaknya masih melanjutkan “kebijakan” Bush soal “nuklir
Iran”. Hillary Clinton pada Maret 2011 menyatakan bahwa Iran “mungkin” akan
bisa melanjutkan program uraniumnya di masa mendatang sepanjang merespons
harapan-harapan komunitas internasional.
Bisakah Hasan Rowhani memperbaiki
hubungan Iran-AS sehingga program nuklir Iran tidak lagi dipandang
sebagai
“ancaman” bagi dunia? Ini merupakan salah satu proyek besar bagi Rowhani. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar