|
MEDIA INDONESIA, 03 Juni 2013
ADA geng sekolah, ada kekerasan.
Anak anak muda satu geng (biasanya beranggotakan lebih dari dua orang) dari
sebuah sekolah yang sedang nongkrong sangat mungkin kemudian terlibat tawuran
dengan anak-anak dari sekolah lain, baik yang memiliki sejarah permusuhan
maupun tidak. Pemandangan itu kerap kita lihat. Meski tawuran bisa terjadi
tanpa geng, keberadaan geng dalam banyak kasus menjadi sarana penyedia aksi
perkelahian antarpelajar.
Mekanisme yang sama terjadi pada kasus perundungan (bullying). Meski perundungan bisa
terjadi tanpa geng, geng cenderung menjadi sarana penyedia aksi perundungan. Geng
memberikan rasa `aman' bagi pelaku untuk melecehkan korban yang dianggap lemah
tak berdaya. Geng memberikan kekuatan psikis dan fisik bagi pelaku untuk
melakukan kekerasan atas korbannya. Tanpa geng, pelaku bukanlah siapa-siapa.
Mendapati rumah seseorang atau fasilitas publik yang sarat
dengan grafiti--yang bertuliskan singkatan atau kata-kata yang penuh dengan
kekerasan-sudah hampir dipastikan itu ulah geng sekolah. Dalam hal ini, geng
juga menjadi sarana penyedia aksi perusakan terhadap properti milik seseorang
atau publik.
Geng sekolah melibatkan tidak hanya murid laki-laki, tapi
murid perempuan pula.
Sebagai contohnya, berita kekerasan fisik yang dilakukan sebuah geng siswi terhadap teman mereka sendiri terjadi di salah satu SMA di Jember pada September 2012. Hanya gara-gara menolak undangan BBM, korban dipukul, ditampar, dan dicambuk dengan ikat pinggang oleh sekelompok siswi (lima orang) yang salah satu anggotanya tidak terima karena penolakan tersebut.
Pihak sekolah memanggil kelima pelaku dan menyatakan sanksi menyusul.
Sebagai contohnya, berita kekerasan fisik yang dilakukan sebuah geng siswi terhadap teman mereka sendiri terjadi di salah satu SMA di Jember pada September 2012. Hanya gara-gara menolak undangan BBM, korban dipukul, ditampar, dan dicambuk dengan ikat pinggang oleh sekelompok siswi (lima orang) yang salah satu anggotanya tidak terima karena penolakan tersebut.
Pihak sekolah memanggil kelima pelaku dan menyatakan sanksi menyusul.
Geng sekolah pun tidak mengenal usia sekolah. Anak di
bangku SD telah melakukannya seperti kasus di salah satu SD di Purwokerto pada
Oktober 2009. Setelah korban menolak memberi uang, ia dipukul dan diminta
berkelahi dengan anggota geng lain. Korban mengalaminya sejak di kelas 4. Ia
merasa trauma dan tidak berani datang ke sekolah sampai akhirnya sekolah
mengeluarkan keempat pelaku seperti harapan orangtua korban-sebelumnya pihak
sekolah memanggil orangtua pelaku dan memberikan kelas khusus.
Faktor penyebab
Sekelompok anak yang membuat onar mendapatkan label geng
sekolah dari deklarasi yang mereka buat sendiri, atau pihak lain yang
menganggap dan menerima mereka sebagai geng. Anak-anak itu tergabung dalam geng
karena bersumber dari faktor eksternal, antara lain alienasi dari proses
belajar-mengajar di sekolah, tekanan teman sebaya, ikatan keluarga, kebutuhan
rasa aman (White, 2002). Banyak psikolog pendidikan mengakui bahwa faktor
internal yang paling ber tanggung jawab. Seorang anak menjadi anggota geng
karena emosi labil atau masa rentan dalam mencari jati diri.
Lebih jauh mengenai kedua faktor, faktor eksternal mengacu
ke perilaku seseorang (dan itu berarti kita) atau situasi di luar anak secara
tidak langsung turut memberikan kontribusi baginya untuk memutuskan terlibat
dalam geng sekolah. Faktor internal mencerminkan konsekuensi logis dari seorang
anak yang secara emosional sedang labil, yakni dengan menjadikan geng sekolah
sebagai wadah yang memberikan ikatan emosional dan menciptakan identitas
bersama--kenyamanan yang tidak mereka dapatkan melalui interaksi sehari-hari
dengan teman lain atau guru.
Dalam menyadari kontribusi kita terhadap pembentukan geng
sekolah dan perlunya menyelesaikan masalah geng setidaknya bisa kita mulai dari
mengubah prasangka buruk terhadap anak-anak geng sekolah. Tidak sedikit orang
melabel mereka sebagai anak nakal atau pembuat onar. Padahal, mereka menjadi
pembuat onar juga karena kita. Maka dari itu, ubah pandangan kita yang tadinya
negatif menjadi setidaknya netral terhadap anak-anak muda itu.
Strategi mengubah prasangka buruk semakin penting dilakukan
mengingat, seperti yang disebutkan sebelumnya, anak terlibat geng dalam masa
pencarian jati diri--sesuatu hal yang alamiah dan lumrah yang terjadi pada
anak-anak. Justru karena itulah, orang-orang dewasa merasa bertanggung jawab
untuk membimbing mereka menjadi seseorang yang berarti bagi dirinya sendiri dan
orang lain.
Kita masih sering mendengar berita bahwa anak-anak geng
sekolah yang terlibat tawuran, perundungan, atau melakukan aksi kekerasan
lainnya dikeluarkan dari sekolah. Yang paling kerap dijadikan sebagai alasan
ialah pelaku telah mencoreng nama baik sekolah. Keputusan semacam itu ber
sumber dari prasangka buruk dan sudah barang tentu tidak menyelesaikan masalah,
malah bertentangan dengan hakikat dari pendidikan. Bukankah esensi dari
pendidikan ialah mengubah anak yang tadinya bodoh menjadi pandai/cerdas; yang
tadinya tidak/kurang beradab menjadi beradab?
Transformasi yang positif pada diri anak pada akhirnya akan
dapat mewujudkan transformasi sosial yang positif pula di masyarakat. Jika
pelaku dikeluarkan dari sekolah, bagaimana proses transformasi itu bisa
berjalan tanpanya? Hilangkan prasangka buruk dan tangani perilaku kekerasan
mereka--jangan orangnya.
Perilaku kekerasan bersifat menahun dan jika dibiarkan akan
berbahaya. Kata Mahatma Gandhi, “I object
to violence because when it appears to do good, the good is only temporary; the
evil it does is permanent (Aku
menolak kekerasan karena ketika kekerasan tampak baik, kebaikannya hanya
sementara; kejahatan yang dilakukannya permanen).“
Manajemen konflik
Bagaimana menangani geng sekolah beserta perilaku
kekerasannya? Selain strategi mengubah persepsi, strategi yang lebih sistematis
juga perlu diusahakan. Maksudnya, strategi tersebut terintegrasi di dalam
sistem pendidikan sekolah atau yang disebut manajemen konflik berbasis sekolah
(MKBS). Strategi itu disokong tiga pilar MKBS yang relevan dan yang melibatkan
kelas, sekolah, dan masyarakat: (1) kelas yang damai, (2) budaya sekolah, dan
(3) partisipasi keluarga dan masyarakat.
Pertama, guru dan murid bersama-sama menciptakan kelas yang
damai. Hal itu bergantung pada kondisi fisik dan suasana kelas yang inklusif
dan aman bagi siapa saja untuk belajar bersama. Kondisi fisik yang dimaksud
ialah, misalnya, dengan mengubah posisi tempat duduk secara rutin sehingga
anak-anak dapat saling berbaur. Suasana kelas yang dimaksud ialah, misalnya,
dengan guru menugasi anak anak dengan kelompok yang berbeda-beda un tuk membuka
pergaulan mereka, berko munikasi dengan semua anak secara merata.
Dengan
demikian, tidak satu pun anak merasa teralienasi dan menerapkan metode mengajar
bervariasi serta mengekspos semua kemampuan anak secara positif atau yang
memasrahi anak dengan tanggung jawab sehingga ia merasa dibutuhkan.
Kedua, warga sekolah menyepakati norma-norma apa saja yang
dapat menangani geng dan berbagai aktivitias mereka, seperti norma saling menghormati
sesama, norma jangan merusak properti yang bukan miliknya, dan norma anti-bullying. Setiap warga sekolah
menerapkan norma yang dipilih dan memeliharanya dengan berbagai macam
pembiasaan, seperti menempelkan slogan `Geng = Eksklusivisme = Kekerasan',
`Setop perundungan!', di tempat-tempat strategis, membuat sanksi yang konsisten
dengan pendidikan bagi pelanggar, dan anak-anak diajak menjadi duta perdamaian
dengan mengampanyekan antiperundungan di sekolahsekolah lain seperti yang sudah
dilakukan Sekolah Budi Mulia Yogyakarta dan SMPN 6 Banjarmasin.
Ketiga, keluarga dan masyarakat juga perlu dilibatkan
bersama-sama dalam MKBS. Berkaitan dengan peran keluarga dalam usaha menangani
geng sekolah, misalnya, pihak sekolah dan para orangtua bertemu untuk
membicarakan masalah geng, mencarikan solusinya, dan membuat langkah-langkah
bersama antara sekolah dan orangtua. Mengenai peran masyarakat, mengundang
polisi sebagai narasumber di kelas, misalnya, ialah salah satu bentuk pelibatan
anggota masyarakat dalam MKBS. Mereka berperan penting dalam memberikan
pemahaman kepada anak-anak konsekuensi legal dari geng sekolah.
Karena kelas yang demokratis, budaya sekolah yang tidak
menoleransi kekerasan termasuk geng sekolah, dan partisipasi aktif dari
orangtua dan masyarakat, faktor-faktor penyebab geng akan dapat ditanggulangi
seawal mungkin. Pendekatan MKBS cukup strategis melakukan peran tersebut
mengingat melibatkan pihak sebanyak-banyaknya, berguna seumur hidup, mendukung
hakikat dari pendidikan, dan juga berbiaya murah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar