|
KORAN
SINDO, 22 Juni 2013
Setidaknya saat ini sulit mencari sosok pemimpinan yang
memiliki daya tarik luar biasa sekaliber Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias
Jokowi. Ke mana dirinya bergerak, di situ kamera awak media siap mengabadikan.
Kata apa yang diucapkan membuat sulit kuli media membuangnya karena sarat dengan nilai berita (news values). Mengapa demikian? Pertama, sepak terjang yang dilakukan Jokowi nyaris berhubungan dengan upayanya dalam rangka mencapai apa yang menjadi program kerjanya (sembilan program kerja unggulan). Jokowi sadar bahwa program kerja pemerintah mustahil berhasil tanpa partisipasi rakyat.
Pada masa kini, rakyat tidak lagi mau bergerak hanya dengan instruksi, slogan, dan pidato berbungabunga. Spanduk, baliho, dan iklan di televisi juga tidak selalu korelasi dengan respons masyarakat. Mungkin masyarakat sudah terlalu sering melihat slogan-slogan dan gambar-gambar para politisi jelang pileg dan pil-pil lainnya, sehingga justru menjadi resisten.
Masyarakat justru ingin para pemimpinan turun ke bawah, bicara langsung menembus hati, tidak formal, membaur, sehingga seolah setara (equal). Jokowi mengambil cara itu untuk memenuhi dahaga masyarakat agar bisa bersanding dengan pemimpinnya secara face to face. Cara Jokowi itu sering diberi nama blusukan.
Kedua, ketika Jokowi tampil di hadapan publik ia berusaha ceria,senyum mengembang, bicaranya lugu nyaris spontan, kesannya menjadi alamiah (natural), sederhana, dan jujur. Sederet kesan ini memproduksi kesan turunan seperti sederhana, tak banyak tingkah, optimis, tanpa beban, dan berkombinasi dengan kesan keberpihakannya yang total terhadap kepentingan masyarakat (populis).
Itulah sistem tanda yang mengepung Jokowi saat ini, membuat dirinya tampil sebagai pribadi pemimpin yang menarik mirip Barack Obama, Presiden Amerika Serikat. Seorang neter menyebut Jokowi sebagai Gubernur Gula, yang artinya menarik perhatian para semut. Di mana ia berada, ia dikerumuni para semut.
Tanpa disadari, Jokowi adalah sumber informasi, bahkan dirinya sendiri yang memproduksi informasi (news maker). Bisa jadi, Jokowi adalah semut besar yang membawa gula (ekonomi dan politik khususnya). Apa yang digagasnya menjadi sebuah inovasi yang menghidupkan harapan semua orang. Posisinya adalah ”pionir”, yang pasti menyeret para pengekor (follower).
Sebagai pionir yang mempunyai karisma dan pengaruh, Jokowi coba ditarik untuk menj adi sumber kekuatan di luar wilayahnya. Ketika Pilgub Jabar digelar, Jokowi diminta menjadi jurkam pasangan Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki (PDIP) tetapi gagal (mungkin sosialisasinya kurang masif), Jokowi memberi warna pada pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko dan menang, karena itu ada berita pada Pilgub Jatim September 2013 mendatang Jokowi juga diminta ikut kampanye untuk calon dari partainya.
Yang menarik dari Jokowi adalah meski pun dia tahu banyak follower yang mengikuti gayanya ia tak sempat mati gaya. Ada saja yang bisa diciptakannya untuk mengisi kekosongan penetrasi sistem tanda dirinya di media. Bahkan, ia gunakan momen penyerahan gitar pemberian grup band Metallica, Robert Trujillo, ke KPK menjadi ”kampanye” yang menguatkan kesan antigratifikasi pada kepemimpinannya.
Itulah tanda autentitas Jokowi, yang selalu berkembang dalam pusaran waktu. Pelajaran dari sederet sepak terjang Jokowi ini adalah dibutuhkan komitmen untuk membuat perubahan. Upaya terus-menerus tanpa lelah dan putus asa, itulah esensinya. Komitmen juga membutuhkan pengorbanan yang besar, seperti waktu, tenaga, pikiran, perasaan, materi, dan sebagainya.
Sergio Zyman (mantan orang penting Coke, perusahaan minuman kelas dunia) pernah menyatakan, kesalahan dalam inovasi adalah adanya anggapan bahwa semua orang yang menyatakan pentingnya perubahan, benar-benar ingin dan mau berubah. Artinya, dalam kacamata Zyman, selama ini banyak slogan- slogan pentingnya perubahan sesungguhnya tidak dilancarkan secara total dan tidak komit. Bahkan, sering kali hanya sekadar alat pencitraan yang setelah berhasil mempengaruhi orang tak lama kemudian berubah lagi.
Tidak ada konsistensi. Maka pihak yang semula mendukung, kemudian menjadi penentang. Kesalahan kedua, level elite sering kali hanya menuntut komitmen perubahan sebagai wujud loyalitas. Elite menuntut bahwa hanya melalui komitmen yang tinggi, perubahan akan segera terjadi. Padahal di level bawah mempunyai jalan pikir sendiri. Mereka berujar, ”tunjukkan dulu hasil perubahan itu, maka kami akan ikut!”
Tegasnya, masyarakat kita membutuhkan contoh keteladanan. Jika mereka bicara soal kesederhanaan, maka tunjukkan lebih dulu kesederhanaan itu dalam banyak segi. Tanpa perlu banyak bicara, dirinya akan menjadi model perubahan bagi yang lain (transetter). Ki Hajar Dewantara menyebutnya sebagai ”ing ngarso sung tuladha” (yang di depan harus ikhlas memberi teladan). Konsep keteladanan melalui komitmen itu sudah ada pada diri Jokowi. Tinggal waktulah yang akan membuktikan konsistensinya.
Persoalannya, sekarang ini saya melihat banyak pihak yang terlalu tergesa-gesa mengharapkan Jokowi menjadi matang sebagai pribadi dan pemimpin, sehingga kerja pencitraan dan politiknya sering melampaui proporsinya sebagai seorang gubernur. Contohnya, terlalu terburu- buru mengabadikan kisah sukses Jokowi ke layar lebar, kesannya seperti aji mumpung.
Selagi pamor naik, mesti dilambungkan setinggi langit. Padahal, risiko kejenuhan terhadap ekspose sistem tanda Jokowi justru dapat menjauhkan perhatian media dan masyarakat kepadanya. Karena itu, dihematlah aset bangsa ini agar tidak matang sebelum waktunya. ●
Kata apa yang diucapkan membuat sulit kuli media membuangnya karena sarat dengan nilai berita (news values). Mengapa demikian? Pertama, sepak terjang yang dilakukan Jokowi nyaris berhubungan dengan upayanya dalam rangka mencapai apa yang menjadi program kerjanya (sembilan program kerja unggulan). Jokowi sadar bahwa program kerja pemerintah mustahil berhasil tanpa partisipasi rakyat.
Pada masa kini, rakyat tidak lagi mau bergerak hanya dengan instruksi, slogan, dan pidato berbungabunga. Spanduk, baliho, dan iklan di televisi juga tidak selalu korelasi dengan respons masyarakat. Mungkin masyarakat sudah terlalu sering melihat slogan-slogan dan gambar-gambar para politisi jelang pileg dan pil-pil lainnya, sehingga justru menjadi resisten.
Masyarakat justru ingin para pemimpinan turun ke bawah, bicara langsung menembus hati, tidak formal, membaur, sehingga seolah setara (equal). Jokowi mengambil cara itu untuk memenuhi dahaga masyarakat agar bisa bersanding dengan pemimpinnya secara face to face. Cara Jokowi itu sering diberi nama blusukan.
Kedua, ketika Jokowi tampil di hadapan publik ia berusaha ceria,senyum mengembang, bicaranya lugu nyaris spontan, kesannya menjadi alamiah (natural), sederhana, dan jujur. Sederet kesan ini memproduksi kesan turunan seperti sederhana, tak banyak tingkah, optimis, tanpa beban, dan berkombinasi dengan kesan keberpihakannya yang total terhadap kepentingan masyarakat (populis).
Itulah sistem tanda yang mengepung Jokowi saat ini, membuat dirinya tampil sebagai pribadi pemimpin yang menarik mirip Barack Obama, Presiden Amerika Serikat. Seorang neter menyebut Jokowi sebagai Gubernur Gula, yang artinya menarik perhatian para semut. Di mana ia berada, ia dikerumuni para semut.
Tanpa disadari, Jokowi adalah sumber informasi, bahkan dirinya sendiri yang memproduksi informasi (news maker). Bisa jadi, Jokowi adalah semut besar yang membawa gula (ekonomi dan politik khususnya). Apa yang digagasnya menjadi sebuah inovasi yang menghidupkan harapan semua orang. Posisinya adalah ”pionir”, yang pasti menyeret para pengekor (follower).
Sebagai pionir yang mempunyai karisma dan pengaruh, Jokowi coba ditarik untuk menj adi sumber kekuatan di luar wilayahnya. Ketika Pilgub Jabar digelar, Jokowi diminta menjadi jurkam pasangan Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki (PDIP) tetapi gagal (mungkin sosialisasinya kurang masif), Jokowi memberi warna pada pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko dan menang, karena itu ada berita pada Pilgub Jatim September 2013 mendatang Jokowi juga diminta ikut kampanye untuk calon dari partainya.
Yang menarik dari Jokowi adalah meski pun dia tahu banyak follower yang mengikuti gayanya ia tak sempat mati gaya. Ada saja yang bisa diciptakannya untuk mengisi kekosongan penetrasi sistem tanda dirinya di media. Bahkan, ia gunakan momen penyerahan gitar pemberian grup band Metallica, Robert Trujillo, ke KPK menjadi ”kampanye” yang menguatkan kesan antigratifikasi pada kepemimpinannya.
Itulah tanda autentitas Jokowi, yang selalu berkembang dalam pusaran waktu. Pelajaran dari sederet sepak terjang Jokowi ini adalah dibutuhkan komitmen untuk membuat perubahan. Upaya terus-menerus tanpa lelah dan putus asa, itulah esensinya. Komitmen juga membutuhkan pengorbanan yang besar, seperti waktu, tenaga, pikiran, perasaan, materi, dan sebagainya.
Sergio Zyman (mantan orang penting Coke, perusahaan minuman kelas dunia) pernah menyatakan, kesalahan dalam inovasi adalah adanya anggapan bahwa semua orang yang menyatakan pentingnya perubahan, benar-benar ingin dan mau berubah. Artinya, dalam kacamata Zyman, selama ini banyak slogan- slogan pentingnya perubahan sesungguhnya tidak dilancarkan secara total dan tidak komit. Bahkan, sering kali hanya sekadar alat pencitraan yang setelah berhasil mempengaruhi orang tak lama kemudian berubah lagi.
Tidak ada konsistensi. Maka pihak yang semula mendukung, kemudian menjadi penentang. Kesalahan kedua, level elite sering kali hanya menuntut komitmen perubahan sebagai wujud loyalitas. Elite menuntut bahwa hanya melalui komitmen yang tinggi, perubahan akan segera terjadi. Padahal di level bawah mempunyai jalan pikir sendiri. Mereka berujar, ”tunjukkan dulu hasil perubahan itu, maka kami akan ikut!”
Tegasnya, masyarakat kita membutuhkan contoh keteladanan. Jika mereka bicara soal kesederhanaan, maka tunjukkan lebih dulu kesederhanaan itu dalam banyak segi. Tanpa perlu banyak bicara, dirinya akan menjadi model perubahan bagi yang lain (transetter). Ki Hajar Dewantara menyebutnya sebagai ”ing ngarso sung tuladha” (yang di depan harus ikhlas memberi teladan). Konsep keteladanan melalui komitmen itu sudah ada pada diri Jokowi. Tinggal waktulah yang akan membuktikan konsistensinya.
Persoalannya, sekarang ini saya melihat banyak pihak yang terlalu tergesa-gesa mengharapkan Jokowi menjadi matang sebagai pribadi dan pemimpin, sehingga kerja pencitraan dan politiknya sering melampaui proporsinya sebagai seorang gubernur. Contohnya, terlalu terburu- buru mengabadikan kisah sukses Jokowi ke layar lebar, kesannya seperti aji mumpung.
Selagi pamor naik, mesti dilambungkan setinggi langit. Padahal, risiko kejenuhan terhadap ekspose sistem tanda Jokowi justru dapat menjauhkan perhatian media dan masyarakat kepadanya. Karena itu, dihematlah aset bangsa ini agar tidak matang sebelum waktunya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar