|
JAWA
POS, 20 Juni 2013
KALAU Anda memasuki
konsulat kami di Surabaya lewat pintu utama, tepat di sebelah kanan ada plakat
di dinding. Di plakat tersebut tertulis daftar nama utusan pemerintah Amerika
Serikat (AS) di Surabaya sejak kantor perwakilan AS didirikan pada 1886 atau
127 tahun lalu. Dalam bingkai kayu 64 cm x 53 cm tersebut, kita bisa melihat
hubungan yang terus berkembang antara AS dan wilayah-wilayah di kawasan timur
Indonesia (KTI).
Perwakilan pertama AS, yakni Agen Konsuler John Lingerwood, tiba di KTI pada 1890 dan menjabat sampai 1897. Waktu itu, dua bangsa kita dan bahkan benua kita berbeda dengan apa yang kita lihat hari ini. AS masih punya wilayah di barat yang belum bergabung, Hawaii masih jadi kerajaan yang berdiri sendiri, dan Kepulauan Virgin serta Puerto Rico (asal saya) masih diperintah dari Eropa. Sepuluh tahun kemudian, Belanda baru menerapkan kebijakan yang disebut dengan "Politik Etis" dan 59 tahun kemudian mengakui kemerdekaan Indonesia. Agen konsuler kami baru benar-benar menjadi konsul pada 1918. Pada 1990, utusan pemerintahan kami yang ke-33 akhirnya secara resmi menjadi konsul jenderal penuh. Saya sendiri adalah utusan ke-41 yang dikirimkan untuk mewakili AS di KTI.
Indonesia dan AS telah menjadi dua di antara tiga negara demokrasi terbesar di dunia (negara lainnya adalah India). Setelah bekerja keras mendapatkannya, demokrasi di dua negara kita telah sering diuji dan proses tersebut justru memperkuatnya. Kesaman nilai-nilai dan komitmen kita, yakni untuk menjadi negara yang menjunjung tinggi kontribusi setiap warganya, memberikan peluang dan ruang yang sama tanpa memandang keyakinan, etnis, gender, atau warna kulit, sangat tertanam dalam "DNA nasional" kita. Moto bangsa Indonesia "Bhinneka Tunggal Ika" hampir mirip dengan moto AS "E Pluribus Unum", yang berarti "Dari Banyak, Kami Menjadi Satu."
Tidak hanya membangun demokrasi di negara kita sendiri, kita bekerja sama membantu negara-negara lain untuk memperkuat demokrasi yang masih baru. Kita saling berinvestasi, termasuk menyediakan pasar yang sangat baik untuk ekspor. Indonesia dan AS juga bekerja sama untuk membantu kalangan miskin, perlindungan lingkungan hidup, dan peduli perubahan iklim. Kita sama-sama percaya bahwa pendidikan akan mampu meningkatkan kehidupan individu dan kolektif kita. Setiap orang berhak untuk mengejar apa pun yang akan membawa kebahagiaan bagi mereka (asalkan prosesnya tidak membuat orang lain tidak bahagia). Kita sama-sama memiliki masyarakat yang sangat religius dan spiritual, menghormati orang tua, serta sangat terikat dengan tradisi dan budaya. Negara kita juga sama-sama toleran terhadap pandangan yang berbeda dan bertentangan, tetapi menolak upaya pemaksaan pendapat dengan kekerasan.
Berbagai kesamaan tersebut juga menggambarkan ikatan kita yang semakin erat. Ketika kali pertama saya bertugas di Surabaya pada 2000, kami hanya memiliki 4 staf orang AS dan 20 staf orang Indonesia. Hari ini kami memiliki lebih dari 15 staf orang AS dan lebih dari 100 staf orang Indonesia. Fasilitas kami di Jalan Dr Sutomo, yang digunakan sejak 1950, menjadi penuh sesak dan memaksa kami untuk pindah pada 2012 ke fasilitas kami yang jauh lebih besar di Citraland, Surabaya Barat.
Konsulat kami bertanggung jawab untuk membangun hubungan dengan 12 provinsi KTI di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Bali, dan Jatim. Kawasan ini mencakup sepertiga dari penduduk dan sekitar 20 persen dari PDB Indonesia. KTI adalah tempat orang-orang paling kreatif dan inovatif di negeri ini serta beberapa yang kurang beruntung. Empat di antara enam presiden Indonesia berasal dari KTI. Kawasan ini juga menjadi salah satu tempat dengan budaya paling beragam di muka bumi, dengan mayoritas di provinsi-provinsi memeluk empat agama besar. Indonesia tidak akan menjadi Indonesia tanpa orang-orang Madura, Bugis, Ternate, Minahasa, Bali, Manggarai, dan lain-lain di KTI. Di Timor Barat saja, wilayah yang luasnya sepertiga wilayah NTT, ada tidak kurang dari 14 bahasa.
Untuk terhubung, memahami, dan bekerja sama dengan KTI, kami atau staf kami sering mengunjungi wilayah tersebut hampir setiap minggu. Saya sendiri baru saja kembali dari kunjungan dua minggu di NTT. Sekali lagi saya kagum oleh betapa kuatnya tekad masyarakat di seluruh penjuru negeri dalam terus mendorong dan memperkuat kelembagaan dan memperkukuh persatuan nasional. Selama kunjungan ke KTI, kami sering menyelenggarakan acara-acara seperti di Surabaya. Misal, Women's Month di American Corner di Makassar, American Education Foundation Fairs di Bali dan Lombok, dan kursus untuk wartawan di Maluku.
Sesuai dengan pendekatan "seluruh kawasan timur Indonesia", tahun ini kami akan menyelenggarakan perayaan National Day Fourth of July, perayaan Hari Kemerdekaan AS, di Sulawesi Utara. Kami membawa hari yang paling penting bagi negara kami kepada orang-orang yang tidak selalu memiliki kesempatan untuk menghadirinya karena selama ini hanya dirayakan di Surabaya. Kami berharap bahwa acara ini memungkinkan kita untuk terhubung dengan teman-teman kami di Sulawesi dan Maluku, yang tidak sering kami temui, serta tamu lain dari Jawa Timur dan daerah lain di KTI. Ini adalah refleksi dari besarnya komitmen kami untuk terhubung secara lebih bermakna dengan mereka.
Jika Anda datang mengunjungi kami di Surabaya, mohon luangkan waktu sejenak untuk melihat plakat yang kami sebutkan di awal tulisan ini. Kami mungkin harus menggantinya dengan yang lebih besar. Nama pendahulu saya masih harus ditambahkan dalam plakat tersebut selain nama-nama yang sudah ada sebelumnya. Setelah itu, tidak ada lagi ruang untuk nama saya di plakat tersebut. Sangat lama kami telah berjalin dengan KTI. ●
Perwakilan pertama AS, yakni Agen Konsuler John Lingerwood, tiba di KTI pada 1890 dan menjabat sampai 1897. Waktu itu, dua bangsa kita dan bahkan benua kita berbeda dengan apa yang kita lihat hari ini. AS masih punya wilayah di barat yang belum bergabung, Hawaii masih jadi kerajaan yang berdiri sendiri, dan Kepulauan Virgin serta Puerto Rico (asal saya) masih diperintah dari Eropa. Sepuluh tahun kemudian, Belanda baru menerapkan kebijakan yang disebut dengan "Politik Etis" dan 59 tahun kemudian mengakui kemerdekaan Indonesia. Agen konsuler kami baru benar-benar menjadi konsul pada 1918. Pada 1990, utusan pemerintahan kami yang ke-33 akhirnya secara resmi menjadi konsul jenderal penuh. Saya sendiri adalah utusan ke-41 yang dikirimkan untuk mewakili AS di KTI.
Indonesia dan AS telah menjadi dua di antara tiga negara demokrasi terbesar di dunia (negara lainnya adalah India). Setelah bekerja keras mendapatkannya, demokrasi di dua negara kita telah sering diuji dan proses tersebut justru memperkuatnya. Kesaman nilai-nilai dan komitmen kita, yakni untuk menjadi negara yang menjunjung tinggi kontribusi setiap warganya, memberikan peluang dan ruang yang sama tanpa memandang keyakinan, etnis, gender, atau warna kulit, sangat tertanam dalam "DNA nasional" kita. Moto bangsa Indonesia "Bhinneka Tunggal Ika" hampir mirip dengan moto AS "E Pluribus Unum", yang berarti "Dari Banyak, Kami Menjadi Satu."
Tidak hanya membangun demokrasi di negara kita sendiri, kita bekerja sama membantu negara-negara lain untuk memperkuat demokrasi yang masih baru. Kita saling berinvestasi, termasuk menyediakan pasar yang sangat baik untuk ekspor. Indonesia dan AS juga bekerja sama untuk membantu kalangan miskin, perlindungan lingkungan hidup, dan peduli perubahan iklim. Kita sama-sama percaya bahwa pendidikan akan mampu meningkatkan kehidupan individu dan kolektif kita. Setiap orang berhak untuk mengejar apa pun yang akan membawa kebahagiaan bagi mereka (asalkan prosesnya tidak membuat orang lain tidak bahagia). Kita sama-sama memiliki masyarakat yang sangat religius dan spiritual, menghormati orang tua, serta sangat terikat dengan tradisi dan budaya. Negara kita juga sama-sama toleran terhadap pandangan yang berbeda dan bertentangan, tetapi menolak upaya pemaksaan pendapat dengan kekerasan.
Berbagai kesamaan tersebut juga menggambarkan ikatan kita yang semakin erat. Ketika kali pertama saya bertugas di Surabaya pada 2000, kami hanya memiliki 4 staf orang AS dan 20 staf orang Indonesia. Hari ini kami memiliki lebih dari 15 staf orang AS dan lebih dari 100 staf orang Indonesia. Fasilitas kami di Jalan Dr Sutomo, yang digunakan sejak 1950, menjadi penuh sesak dan memaksa kami untuk pindah pada 2012 ke fasilitas kami yang jauh lebih besar di Citraland, Surabaya Barat.
Konsulat kami bertanggung jawab untuk membangun hubungan dengan 12 provinsi KTI di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Bali, dan Jatim. Kawasan ini mencakup sepertiga dari penduduk dan sekitar 20 persen dari PDB Indonesia. KTI adalah tempat orang-orang paling kreatif dan inovatif di negeri ini serta beberapa yang kurang beruntung. Empat di antara enam presiden Indonesia berasal dari KTI. Kawasan ini juga menjadi salah satu tempat dengan budaya paling beragam di muka bumi, dengan mayoritas di provinsi-provinsi memeluk empat agama besar. Indonesia tidak akan menjadi Indonesia tanpa orang-orang Madura, Bugis, Ternate, Minahasa, Bali, Manggarai, dan lain-lain di KTI. Di Timor Barat saja, wilayah yang luasnya sepertiga wilayah NTT, ada tidak kurang dari 14 bahasa.
Untuk terhubung, memahami, dan bekerja sama dengan KTI, kami atau staf kami sering mengunjungi wilayah tersebut hampir setiap minggu. Saya sendiri baru saja kembali dari kunjungan dua minggu di NTT. Sekali lagi saya kagum oleh betapa kuatnya tekad masyarakat di seluruh penjuru negeri dalam terus mendorong dan memperkuat kelembagaan dan memperkukuh persatuan nasional. Selama kunjungan ke KTI, kami sering menyelenggarakan acara-acara seperti di Surabaya. Misal, Women's Month di American Corner di Makassar, American Education Foundation Fairs di Bali dan Lombok, dan kursus untuk wartawan di Maluku.
Sesuai dengan pendekatan "seluruh kawasan timur Indonesia", tahun ini kami akan menyelenggarakan perayaan National Day Fourth of July, perayaan Hari Kemerdekaan AS, di Sulawesi Utara. Kami membawa hari yang paling penting bagi negara kami kepada orang-orang yang tidak selalu memiliki kesempatan untuk menghadirinya karena selama ini hanya dirayakan di Surabaya. Kami berharap bahwa acara ini memungkinkan kita untuk terhubung dengan teman-teman kami di Sulawesi dan Maluku, yang tidak sering kami temui, serta tamu lain dari Jawa Timur dan daerah lain di KTI. Ini adalah refleksi dari besarnya komitmen kami untuk terhubung secara lebih bermakna dengan mereka.
Jika Anda datang mengunjungi kami di Surabaya, mohon luangkan waktu sejenak untuk melihat plakat yang kami sebutkan di awal tulisan ini. Kami mungkin harus menggantinya dengan yang lebih besar. Nama pendahulu saya masih harus ditambahkan dalam plakat tersebut selain nama-nama yang sudah ada sebelumnya. Setelah itu, tidak ada lagi ruang untuk nama saya di plakat tersebut. Sangat lama kami telah berjalin dengan KTI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar