|
KORAN TEMPO, 03 Juni 2013
Kita merindu pada sebuah keteguhan hati: Yap Thiam Hien.
Saya bayangkan sosoknya di suatu hari pada tahun 1966. Ia
berada di ruang sidang Mahkamah Militer Luar biasa. Ia tampil membela
Soebandrio, bekas wakil perdana menteri yang didakwa berperan dalam peristiwa
kudeta berdarah G30S yang gagal itu. Semua orang menyumpahi Soebandrio, dan Yap
mengambil risikonya, menjadi pembela "musuh negara dan bangsa"
tersebut.
Dengan suaranya yang keras-suara yang disalurkan lewat
speaker ke luar ruang sidang agar ratusan pengunjung lainnya di luar gedung
bisa mendengar-Yap mencecar Soebandri. "Apakah pada waktu Saudara menjabat
Perdana Menteri ada anggota parlemen yang tidak setuju dengan pendapat Saudara?
Apakah ada partai-partai politik yang tidak setuju dengan Saudara? Ketika
Soebandrio menjawab, "Tidak ada," Yap kembali mengejar, "Barangkali
dari pihak tentara ada yang tidak setuju?" Kembali Soebandrio menjawab,
"Tidak ada!"
Mahkamah Militer memang akhirnya memvonis
Soebandrio-politikus yang dituduh dekat dengan Partai Komunis Cina-hukuman
mati. Tapi, kita tahu, pembelaan Yap atas Soebandrio, yang sejatinya musuh
politiknya saat dia duduk di Konstituante sebagai anggota Baperki, telah
mengangkat harkat kemanusiaan Soebandrio yang sebelumnya dinistakan sebagai
sumber tragedi peristiwa 1965 itu. Pembelaan Yap atas Soebandrio, juga terhadap
Abdul Latief-terdakwa lainnya dalam peristiwa yang sama ini-itu sendiri
merupakan salah satu pembelaan yang dinilai brilian dalam sejarah penegakan
hukum di Indonesia.
Sesungguhnya, yang digugat Yap, lewat pertanyaan-pertanyaan
tajam dan kerasnya kepada Soebandrio, adalah pelecehan terhadap supremasi hukum
yang dilakukan semua partai politik, para pemimpin partai, para pemegang
kekuasaan, dan ketidakberanian semua pihak mengkritik para pemimpin yang
membuat negeri ini hancur. Dalam titik inilah ia mau menyebutkan, tragedi G30S
itu adalah kesalahan semua pihak. Pemberian kekuasaan besar kepada Presiden
yang diatur lewat UUD 1945, dan sikap membebek semua partai, memberi kontribusi
besar atas kehancuran bangsa ini. Puncak itu adalah peristiwa 30 September
tersebut.
Yap teguh mengkritik UUD 1945. Ia satu-satunya anggota
Baperki-partai yang mewakili kaum keturunan Cina di parlemen-yang dengan
lantang menolak gagasan Presiden Sukarno kembali ke UUD 1945. Dia menolak
karena UUD 1945 memiliki pasal-pasal tentang perlindungan hak asasi manusia
yang sangat sedikit dibanding UUDS 1950. UUD 1945 hanya memiliki lima pasal,
sedangkan UUDS setidaknya memiliki 28 pasal. Dia menolak karena Pasal 6 UUD
1945, yang berbunyi, "Presiden ialah orang Indonesia asli," jelas
diskriminatif. Menyingkirkan hak semua orang menjadi presiden. Padahal
Indonesia dihuni beragam etnis dan berbagai keturunan suku bangsa: Cina, Arab,
India, dan lain-lain.
Bagi Yap, sejarah seseorang tak bisa dilenyapkan-karena
pelenyapan melanggar HAM, melanggar kemanusiaan. Bagi dia, semua manusia berhak
atas sejarahnya, atas kebudayaannya yang melekat di dirinya. Seorang keturunan
Cina berhak mempertahankan identitasnya. Karena itu, Yap menolak asimilasi yang
dipaksakan yang, antara lain, wujudnya dalam bentuk perintah mengganti nama
bagi warga keturunan Cina. Ia teguh memegang sikapnya: tetap bernama Yap Thiam
Hien, nama yang diberikan orang tuanya saat dilahirkan di Kutaraja (kini Banda
Aceh), 25 Mei 1913.
Namanya tak berubah, tapi kecintaannya kepada negeri ini
tak kurang sedikit pun. Dia mengkritik warga keturunan Cina yang hanya mengejar
materi belaka tanpa ikut memikirkan ketimpangan yang menganga di sekelilingnya.
Dan publik-dari melihat yang dilakukannya-mafhum. Yap bahkan lebih nasionalis,
lebih cinta kepada Indonesia-dan karena itu lebih peduli-ketimbang kebanyakan
dari mereka yang merasa "warga negara Indonesia asli".
Sesungguhnya, kecintaan Yap pada nilai-nilai kemanusiaan
sudah melampaui "nasionalisme" itu sendiri. Dia bukan pemeluk prinsip
right or wrong is my country-salah
atau benar, negaraku. Dia pengejar kebenaran. Sikap ini pula yang dipegangnya
dengan teguh sebagai pengacara: ia tidak mencari kemenangan dalam membela
perkara, melainkan mencari kebenaran. Prinsip yang akhirnya memang membuat
lulusan Fakultas Hukum Universitas Leiden ini jauh dari gelimang harta-sesuatu
yang memang ia sendiri tidak pernah ia kejar.
Kebenaran dan keberanian menegakkan serta menyuarakan
kebenaran itu yang ia pompakan, tularkan, dan ia tunjukkan kepada siapa pun. Ia
mendirikan Lembaga Pembela HAM dan Persekutuan Pelayanan Narapidana dan
Tahanan, serta menyerukan pembebasan semua tahanan PKI-terutama yang
dilemparkan ke tempat terpencil di Pulau Buru-karena tidak melalui proses
peradilan yang benar. Ia dirikan Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) karena
ia ingin pengacara Indonesia kuat bersatu dan karena itu berani melawan
ketidakadilan yang datang dari penjuru mana pun, termasuk penguasa.
Ia teguh, konsisten, juga jujur. Sesuatu yang semakin
langka kita temui pada sosok penegak hukum dan pemimpin negeri ini. Ia
menempatkan moralitas sebagai hal penting sekaligus penjaga dalam
memperjuangkan nilai-nilai kebenaran itu. Dia menolak suap dan tak pernah
menolak siapa pun pencari keadilan, yang biasanya mencarinya setelah mentok ke
mana-mana, yang datang ke kantornya yang sederhana-yang untuk dirinya dan
tamunya hanya tersedia air putih-di sebuah sudut di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta
Pusat.
Dia bukan "macan persidangan", yang tampil di
ruang sidang dengan suara yang terus menggelar. Yang ia tunjukkan di ruang
sidang adalah argumentasi hukum yang logis dan kebenaran yang ingin
dibengkokkan. Ia hanya mengaum jika kebenaran itu diusik. Kepada hakim, dia tak
segan meminta maaf jika ia sadar sikapnya di persidangan salah.
Itulah Yap. Jika ia masih hidup hingga pekan ini, usianya
100 tahun. Di tengah karut-marutnya hukum di negeri ini, kita memerlukan orang
seperti Yap. Orang yang dengan segenap jiwanya menghayati dan melaksanakan
semboyan hukum paling terkenal, fiat
justitia ruat coelum-sekali pun langit runtuh, hukum harus
ditegakkan-dengan teguh. Bukan sekadar retorika seperti yang diucapkan oleh
mereka yang mengaku sebagai penegak hukum dalam acara-acara talkshow di layar televisi kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar