|
Veven
Sp Wardhana, 54 tahun, dimakamkan kemarin, termasuk generasi yang tumbuh dalam
kehausan budaya. Ia menulis cerita pendek, novel, dan artikel bentuk kesenian
seperti film, sinetron, juga menulis skenario. Berbeda dengan teman seangkatan,
seperti Butet Kartaredjasa, Veven berpenampilan rapi, juga meja kerjanya,
terkesan hati-hati.
Setidaknya
dibandingkan teman seusia yang kemudian bergabung dalam tabloid Monitor, yang
ketika berkantor di Senayan—sekarang menjadi lapangan parkir—sering lupa
menutup kamar mandi dan lupa membawa handuk. Ven—panggilan ini lebih
menyenangkan daripada Veven dengan huruf F dari nama aslinya Effendi, bahkan
kikuk menuliskan pengalamannya mewawancarai artis. Butuh waktu lama dan sibuk
beberapa kali mengganti judul. Tapi, kemudaan usia dan kemampuan menyerap
situasi membuatnya cepat menyesuaikan diri. Dan selalu terlihat rapi dengan
kemeja dimasukkan, tak sehelai rambut pun jatuh di dahi, dan datang ke pesohor
yang menjadi narasumber lebih pagi—untuk mengeringkan keringat karena
perjalanan memakai kendaraan umum. Ven ibarat anak manis yang baik-baik saja di
tempat kerja dalam bekerja sama, memberi kesan aman dengan tanggung jawab yang
diberikan. Nyaris tak menimbulkan persoalan. Kecuali sekali, waktu meminta saya
menjadi wali ketika melamar istrinya.
Kritik
tak bergetah
Generasi
Veven adalah generasi wartawan yang menyenangkan dalam berkarya dan menemukan
kepuasannya dalam menuliskan—bukan pada fasilitas atau kemudahan. Mereka
menemukan persaingan sehingga memaju untuk banyak membaca buku, berdiskusi,
meledek satu sama sama lain. Veven adalah redaktur yang cermat dan bisa
berhemat kata, dan tak bisa menerima begitu saja teks ”kerajaan perfilman” atau
”kebudayaan berhenti selama Lebaran”, dan mencoretnya. Baginya, gaya penulisan
yang personal tetap harus berada di rel tata bahasa yang baik dan benar. Ini
kekuatan, tapi sekaligus juga membatasi untuk liar, dalam menuliskan karya
fiksi. Kritiknya tajam, tanpa menimbulkan dendam. Marahnya bisa tetap ramah,
dan saya menyebutkan ”tak bergetah”, tidak menempel lama.
Kami
masih sering berhubungan meskipun tak lagi berada dalam satu institusi karena
hobi yang sama dan wilayah kegiatan tak jauh berbeda. Sama-sama menjadi juri
dan kadang menjadi narasumber topik yang sama. Juga dengan teman seangkatan
lama. Kadang bercerita nyamannya bekerja dengan apa yang kita sukai, kadang merasa
geregetan dengan perkembangan media massa saat ini, kadang bersama-sama
merindukan kebersamaan lagi dan mengeluarkan ide-ide yang tersimpan.
Sebulan
terakhir ini bicara soal sel kanker. Saya punya pengalaman karena adik kandung
saya, yang juga sangat dikenalnya karena bekerja di tempat yang sama, menderita
penyakit yang sama. Kesimpulan saya mungkin tak menghibur: sel kanker terlalu
takabur dan tak takluk oleh doa. Sel kanker mungkin satu-satunya makhluk hidup
yang tak mengenal dan memercayai doa. Kami berkomunikasi terpatah-patah dalam
kata yang dibatasi melalui SMS, sebelum SMS lain yang mengabarkan kepergiannya.
Kreativitas
dan solidaritas
Ketika
Butet dan Ignasius Haryanto merencanakan—dan melaksanakan—malam solidaritas
pengumpulan dana, Jumat (17/5) malam, almarhum bahkan mengatakan ingin datang.
Saya sempat bercanda dan mengatakan saya tak ingin diperlakukan begitu.
Menyiksa pembaca karya saya—misal membaca Senopati Pamungkas yang bisa dua
malam, atau juga menyiksa pendengarnya. Tapi, sebenarnya yang lebih menyiksa
adalah lambatnya mengambil sikap. Apa yang dialami Veven adalah apa yang sudah
dialami sastrawan besar Danarto, juga Hamsyad Rangkuti, dan beberapa nama lain.
Para
seniman atau pengarang ini sebenarnya cukup kaya—kecuali kalau jatuh sakit.
Pembayar pajak yang taat—karena dipotongkan oleh penerbit, ini tak berdaya
menghadapi tarif obat atau rumah sakit yang dinamikanya berbeda jauh buah
kreativitas. Sehingga rasanya perlu dipikirkan lembaga tetap untuk ini. Semacam
”kartu sehat” yang memihak seniman melarat karena susah dan ogah korupsi. Acara
seperti ”hand in hand” adalah baik
dan benar, mengembalikan solidaritas dan rasa peduli, tetapi terasa sepotong
demi sepotong, dan mengandalkan pendekatan personal. Lebih masuk akal jaminan
rasa aman bagi pekerja yang tak mempunyai jaminan pensiun jika saja ada lembaga
yang menyantuni. Yang bisa mengambil sebagian modal dari potongan royalti yang
masih bisa berkarya. Dan atau pemikiran lain yang lebih pas. Momen sekarang ini
bisa menjadi pemantik pendekatan heart in
heart, yang lebih berkesinambungan.
Mungkin
bisa lebih luas lagi, kebersamaan sebagai pekerja seni dengan beberapa
persoalan hidup yang bisa dibagikan. Ada satu hal yang masih mengganjal dalam
kaitan dengan Veven, kami belum sampai tuntas mengupas soal keyakinan, soal
keluarga—yang melahirkan, yang kita bentuk, atau juga tarif bawah sebagai
narasumber misalnya.
Kini,
Veven Sp Wardhana telah menyelesaikan lomba kehidupan dengan terhormat. Dan
bisa lebih bermanfaat bagi sahabat yang lain, yang bergulat dalam persoalan
yang sama. Dalam berkarya, seniman memiliki otoritas kreativitas bagi diri
sendiri, tetapi dalam kehidupan mereka memerlukan kerja bersama—bukan sekadar
sama-sama bekerja.
Ven, kamu berangkat lebih dulu. Salam, ya….
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar