|
REPUBLIKA, 30 April 2013
Mengawali kuartal pertama 2013,
ekonomi pertanian Indonesia mengalami turbulensi yang cukup menekan. Kelangkaan
bahan pangan, seperti daging sapi, bawang, dan disusul dengan cabai,
menyebabkan harganya melonjak. Tingginya harga membuat konsumen di tingkat
rumah tangga enggan membeli daging sapi dan mengurangi konsumsi bawang serta
cabai. Padahal, tingkat rata-rata per kapita konsumsi daging sapi Indonesia
paling rendah di Asia Tenggara: cuma dua kilogram per tahun. Akibatnya, pasar
lesu dan pedagang pun buntung.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) 2012, jumlah impor daging sapi yang dilakukan Indonesia menurun menjadi 40.338
ton, dari 102.850 ton pada 2011. Selama 2012 Indonesia masih mengimpor sapi
hidup dari Australia senilai 285,9 juta dolar AS (101,4 ribu ton). Jumlah
ini menurun dari 2011 nilainya 328 juta dolar AS (122,4 ribu ton). Impor
daging sapi dari Amerika Serikat (AS) juga menurun, dikarenakan merebaknya
kasus sapi gila di California, Amerika Serikat.
Pemerintah AS dengan dukungan
Australia tanpa diduga mengajukan langkah notifikasi dan keberatan kepada
Organisasi Perdagangan Dunia, WTO, atas pembatasan impor produk hortikultura
yang dilakukan Indonesia. Langkah notifikasi AS juga memuat keberatan atas
pembatasan dan pengaturan impor hewan dan produk hewan, khususnya sapi.
Persoalan impor daging sapi dan sapi bakalan sangat erat terkait dengan
kepentingan Australia sebagai sekutu dekat AS. Sebab, nyaris 100 persen impor
sapi berasal dari sana.
Lantas mengapa Indonesia terus
bergantung pada Australia? Padahal, data Sensus Sapi 2011 menunjukkan bahwa
populasi sapi di Indonesia mencapai 14,8 juta ekor. Artinya, bukankah Indonesia
bisa mencukupi kebutuhan daging sapi sendiri alias sudah swasembada?
Fakta di lapangan, tidak semua populasi
sapi itu berupa stok aktif sapi potong. Itu karena sekitar 4,6 juta peternak lokal
menyimpan sekitar dua-tiga ekor sebagai investasi. Sapi-sapi yang ada saat ini
masih dimiliki oleh masyarakat, bukan dimiliki secara industri, artinya masyarakat
baru menjual ternaknya jika ada kebutuhan mendesak. Hal ini lah yang diduga
menjadi salah satu sebab sedikitnya pasokan daging sapi lokal ke pasar nasional
di tengah bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat.
Indikasi Pelanggaran
Penulis memperoleh informasi bahwa
terjadi aksi mogok rumah potong hewan (RPH) oleh pelaku usaha yang tergabung
dalam Paguyuban Pedagang Sapi Daging Segar (PPSDS) Jawa Timur yang berlangsung
pada pertengahan November 2012. Kondisi ini membuat para jagal mengaku tidak
dapat beroperasi dan pedagang daging tidak berjualan karena minimnya pasokan
sapi.
Aksi ini tertuang dalam kesepakatan
tertulis yang ditandatangani sejumlah pelaku usaha. Dengan demikian, penulis
mendapatkan petunjuk dalam memperkuat dugaan kartel yang berakibat kelangkaan
dan kenaikan harga sapi di masyarakat. Hal ini berpotensi melanggar Pasal 11
dan Pasal 24 Undang-undang No 5 Tahun 2009 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Tim Kementerian Pertanian juga
menemukan indikasi praktik kecurangan di Rumah Potong Hewan (RPH) sekitar
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang menyebabkan kelangkaan
pasokan di kawasan ini. Kementan menemukan separuh RPH menolak memotong sapi
lokal dan hanya mau memotong sapi asal Australia. Hal ini menunjukkan
adanya kesengajaan diskriminasi RPH terhadap sapi lokal Indonesia. Setidaknya
50 persen dari 92 RPH di Jakarta dan sekitarnya sudah tidak mau memotong sapi
lokal.
Kondisi tersebut terjadi sejak ada
audit tim independen Australia di RPH secara berkala. Keengganan RPH terjadi
karena pihak Australia mengancam tidak akan lagi memasok rumah potong langganannya
di Jakarta dan sekitarnya jika menerima pemotongan sapi lokal. Dari berbagai
informasi yang dihimpun oleh penulis sangat kuat adanya dugaan ke pemilikan
silang perusahaan importir sapi bakalan dengan eksportirnya di Australia.
Petunjuk tersebut saling melengkapi
dengan hasil investigasi Kementerian Pertanian. Diduga, kepemilikan silang
tersebut mempermudah proses menahan dan mengirimkan sapi bakalan ke Indonesia.
Pelaku usaha yang menyediakan stok sapi bakalan siap potong dapat memboikot
pasokan ke RPH tertentu. Boikot ini berupa ancaman larangan RPH di beberapa
daerah untuk memotong sapi lokal. Hal ini menjadikan daerah-daerah
tersebut kekurangan pasokan karena sapi lokal tidak ada yang dipotong sehingga
harga daging sapi akan tetap tinggi dan importir sapi bakalan yang menikmati
harga tinggi ini.
Berdasarkan data dan fakta yang
saya sampaikan di atas, dapat diambil secara garis besarnya bahwa terdapat
indikasi adanya pelanggaran Pasal (5), Pasal (11), Pasal (24), dan Pasal (27)
Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Lembaga-lembaga terkait seperti KPK, kepolisian, dan KPPU
perlu untuk segera membongkar semua yang terlibat dalam praktik kartel impor
daging sapi. Praktik ini menunjukkan adanya persaingan tidak sehat dalam impor
dan distribusi daging sapi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar