|
KORAN
TEMPO, 21 Mei 2013
Sejak reformasi bergulir dan pemilu "demokratis"
untuk pertama kalinya digelar setelah lengsernya kekuasaan otoritarian Order
Baru, Indonesia memasuki fase transisi menuju demokrasi. Salah satu ciri yang
bisa dijelaskan dari proses itu adalah lahirnya banyak partai politik dengan
berbagai macam latar belakang ideologi-setidaknya sebagaimana tercantum dalam
AD/ART partai-munculnya aktor demokrasi, pers yang cukup bebas, lahirnya
institusi penyelenggara pemilu yang relatif independen dengan pemerintah berkuasa,
dan berkembangnya kelompok non-government organization yang menyuarakan beragam
agenda perubahan. Namun, setelah melalui masa transisi yang lumayan panjang,
eksistensi demokrasi yang diharapkan justru berlumur noda korupsi. Korupsi
lantas menjadi ciri dominan dari periode reformasi di Indonesia.
Bisa dikatakan, hampir tidak ada ruang yang bebas dari
korupsi, sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai kajian, studi, survei,
penelitian, ataupun publikasi media massa, baik lokal maupun nasional. Upaya
pemberantasan korupsi yang berkesinambungan dari satu presiden ke presiden
berikutnya tampak tidak berhasil membangun sistem tata kelola pemerintahan yang
bersih. Bahkan lembaga politik (partai) yang diharapkan menjadi panglima dalam
pemberantasan korupsi justru babak belur dihantam isu korupsi yang menjerat
para elitenya. Termasuk partai yang selama ini dipersepsikan bersih, seperti
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga diterpa kasus dugaan korupsi-bahkan lebih
dramatis-karena melibatkan presidennya.
Pertanyaannya, mengapa persepsi tentang lembaga negara, baik
partai, penegak hukum, maupun badan pemerintah yang dianggap relatif bebas dari
korupsi sering kali tak cukup bertahan lama. Lebih lanjut, mengapa dugaan
korupsi-untuk menghormati proses penegakan hukum yang belum final-juga sanggup
memperdayai kalangan tertentu yang dianggap lebih kebal terhadap korupsi karena
memiliki nilai moralitas tertentu, seperti nilai agama, sebagai contoh? Lantas,
adakah sistem nilai yang bisa diharapkan untuk melawan korupsi yang telah
berurat akar?
Good governance
Sejatinya, proyek good governance di Indonesia tidak
berasal dari orisinalitas konsep yang melekat pada budaya, sistem, dan tradisi
Indonesia sendiri, melainkan pendekatan yang berangkat dari krisis ekonomi
sebagai akar persoalan. Adalah lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan
lembaga multi-donor lainnya, yang mempromosikan secara gencar agenda
antikorupsi sebagai salah satu instrumen untuk memperbaiki sistem ekonomi
nasional yang porak-poranda.
Ada dua persoalan besar yang melekat pada pendekatan ini. Pertama,
isu antikorupsi menjadi sangat instrumental karena mengabdi pada tujuan yang
lebih besar, yakni pembangunan ekonomi. Hal ini didasarkan pada sebuah asumsi
bahwa yang menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia adalah-salah satunya-praktek
korupsi. Maka, ukuran korupsi atau tidaknya sebuah negara adalah bilamana
sistem tata kelola pemerintahan yang ada ramah, efektif, dan efisien terhadap
iklim bisnis dan investasi.
Kedua, persoalan yang melekat pada konsep antikorupsi yang
didatangkan dari pengalaman sejarah serta konteks sosial, ekonomi, dan politik
yang berbeda adalah kekurangannya dalam mengidentifikasi persoalan korupsi yang
merajalela di negara tertentu. Mungkin saja ada formula generik untuk memerangi
korupsi, meski hasilnya akan berbeda antara satu tempat dan tempat yang lain.
Korupsi, bagaimanapun, adalah fenomena kompleks, yang di dalamnya melibatkan
banyak faktor dan berada pada ruang sosial-ekonomi dan politik tertentu. Karena
itu, membaca persoalan korupsi tidak bisa hanya dengan satu sudut pandang
belaka, melainkan membutuhkan kacamata yang multi-disipliner.
Civil society
Pengalaman Indonesia dalam memerangi korupsi merupakan
pengalaman berharga untuk merefleksikan kembali dari mana kita akan mulai
membenahi bangsa ini. Selama ini, pendekatan good governance di Indonesia
terlalu bertopang pada program penegakan hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) bisa disebut sebagai pusat dari upaya dan perang melawan korupsi. Meski
selama ini hasilnya cukup menjanjikan, pelaku korupsi bak pepatah, mati satu
tumbuh seribu. KPK ibarat pemadam kebakaran, yang harus mematikan api, tapi
sumber api berada di berbagai tempat.
Karena itu, bertumpu pada penegakan hukum saja tidak cukup,
meski KPK perlu terus didukung dan diawasi kinerjanya. Korupsi tampaknya bukan
sesuatu yang sederhana dan dirumuskan hanya dalam penjumlahan niat dan
kesempatan. Kejahatan ini bertahan serta berkembang dalam struktur dan kultur
yang mendukungnya. Korupsi juga sepertinya mencerminkan penyakit kita
(masyarakat dan elitenya) sebagai bangsa yang dikenal ugal-ugalan di jalan
raya, pemuja materialisme, semrawut, amuk (represif), serta menggilai pangkat
dan jabatan.
Mungkin kita merindukan hal yang sama dengan negara lain
yang pejabatnya mengundurkan diri jika terkena skandal, meski kasusnya belum
dibuktikan di pengadilan. Namun adanya tradisi semacam itu tidak lahir secara
instan, melainkan dari pergulatan dan proses dialektik antar-individu,
kelompok, dan berbagai macam faktor lainnya yang membentuk nilai bersama serta
pada akhirnya menjadi pressure alamiah jika terjadi penyimpangan.
Dengan demikian, logis jika pemberantasan korupsi
mensyaratkan masyarakat yang aktif, solid, serta memiliki nilai bersama yang
dapat menjadi pegangan dan solidaritas. Solidaritas korupsi harus dilawan
dengan solidaritas antikorupsi. Pada akhirnya, kita tidak hanya membutuhkan
lembaga, undang-undang, aturan, dan petunjuk pelaksanaan-petunjuk teknis
lainnya untuk memberantas korupsi. Yang lebih esensial, kita membutuhkan
lompatan transformatif untuk menjadi masyarakat baru yang sanggup-dengan sistem
nilainya-mengontrol dan mengoreksi perilaku pejabat publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar