|
SUARA
KARYA, 02 Mei 2013
Membaca tulisan Alfie Kohn (2009)
dalam bukunya, "Memilih Sekolah
Terbaik untuk Anak", akan mengagetkan banyak orang. Pasalnya, sekolah
unggulan yang selama ini diburu banyak orang karena dianggap sekolah terbaik,
ternyata pilihan terburuk bagi keberlangsungan pendidikan jangka panjang anak.
Penyakit ini melanda sistem pendidikan di hampir semua negara di dunia.
Kesalahan fatal adalah ketika kita merasa peduli dengan pendidikan anak dengan
membimbing mereka mencapai titik atau posisi tertentu.
Seharusnya, kita
mendampingi mereka agar mampu terus belajar (dalam artian yang sesungguhnya)
dengan cara yang kondusif bagi masing-masing anak untuk menemukan titik tak
terhingga dan mungkin sama sekali tidak ada dalam bayangan kita saat ini. Demi
menjaga nama baik sekolah di suatu daerah, anak dipaksa mencapai nilai yang
tinggi, bagi yang gagal mencapainya, mereka diberikan remedial. Di kelas
remedial, mereka tidak dibantu belajar, mereka hanya dibantu untuk mendapatkan
nilai bagus. Cara ini tidak memberikan manfaat apa pun, bahkan sesungguhnya
sangat berbahaya bagi mereka.
"Sebagus-bagusnya, nilai tes yang tinggi di suatu
sekolah atau distrik, bisa jadi tidak ada artinya. Seburuk-buruknya nilai
tinggi sebenarnya berita buruk karena cara pengajaran yang digunakan untuk
menghasilkan nilai tersebut." (Alfie
Kohn, 2009: 157)
Bagi yang gagal remedial, bisa
jadi akan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap tidak mampu mengikuti
pelajaran. Agar tidak demikian, anak dipaksa belajar oleh orangtuanya.
Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional ini, menarik percakapan berikut
sebagai cerminan bagaimana sekolah telah merampas hak-hak anak.
Suatu ketika, atas nama
teman-temannya, seorang anak curhat kepada bapaknya. "Pa, sebelum aku masuk sekolah, aku membayangkan ketemu guru yang ceria,
ramah, santun, menyenangkan, dan mampu menciptakan berbagai permainan tentang
berbagai peristiwa alam. Suasana kelas kami akan meriah. Kami akan saling adu
pendapat untuk melatih bagaimana cara menarik kesimpulan yang baik,
mengungkapkan alasan yang logis dan ilmiah. Di antara kami juga akan
mengeluarkan ide-ide kreatif, dan belajar berdebat secara santun."
Tapi, yang ditemui suasana monoton
sepanjang hari. Kenapa setiap saat belajar harus di kelas dan selama di kelas
siswa lebih banyak mendengarkan, menunggu perintah, harus membuka buku yang
sama dari pengarang yang sama, penerbit yang sama dan halaman buku yang sama?
Ketika guru menjelaskan, dalam kegiatan kerja kelompok, kerja mandiri, tiada
hari tanpa membuka buku yang sama. Kalaupun ada variasinya, karena tersedia
lembaran kegiatan siswa (LKS), namun LKS itu pun bukan hasil buatan guru. Semua
mata pelajaran begitu strateginya.
"Kami pun sempat berfikir, andaikan kami semua mogok
dan tidak mau membawa buku dan LKS karena begitu berat jika dibawa, betapa
paniknya guru kami. Jangan-jangan guru kami tidak punya apa-apa sehingga mereka
tidak bisa berbuat apa-apa tanpa buku-buku dan LKS itu? Padahal, alam dan
berbagai peristiwa yang terjadi setiap hari merupakan salah satu sumber belajar
yang aktual, faktual, dan dialami? Belajar dari pengalaman sangat menggairahkan
kami karena pengalaman adalah guru terbaik!"
"Setahu kami, untuk menarik
kesimpulan yang bagus, kita harus menggunakan referensi yang beragam dan
membaca-baca buku di perpustakaan atau di rumah saat kerja kelompok atau kerja
mandiri sambil berlatih note taking,
membuat ringkasan, memberikan pendapat dan sebagainya. "Kami membayangkan di kelas kami akan berdiskusi dengan dukungan
motivasi dan wawasan yang luas dari guru. Betapa nyamannya ketika guru piawai
sekali memancing dan mengendalikan kelas!" "Mohon maaf kepada bapak/ibu guru kami, kami terpaksa bertanya.
Ada apa dengan bapak/ibu sehingga setiap hari kami harus membawa banyak buku ke
sekolah, apakah tidak ada cara lain dalam belajar? Apakah tidak ada buku di
perpustakaan, ataukah sesungguhnya bapak/ibu guru yang kami cintai tidak paham
dengan fungsi dan tugas bapak/ibu yang sesungguhnya sehingga "kehadiran
buku" justru lebih penting daripada kehadiran bapak/ibu? Mungkin masih banyak
alasan lain yang kami tidak mengerti?"
"Kami khawatir andaikan IPA dan IPSB SD tidak lagi
menjadi mata pelajaran, adik-adik kami akan tetap berat barang bawaannya ketika
ke sekolah karena buku Bahasa Indonesia, PPKn, dan Matematika akan jauh lebih
tebal karena kemasukan materi IPA dan IPS, dan tentunya LKS-nya pun akan
semakin banyak. Hal yang kami rasakan saat ini, kami membawa banyak buku bukan
karena jumlah mata pelajarannya yang banyak, tapi karena guru kami yang kurang
paham dengan dunia kami, bagaimana gaya dan cara kami belajar kami."
Begitu banyak hal yang tidak bisa
kami pahami tentang orang dewasa di sekitar kami. Apakah memang kami yang harus
memahami itu semua? "Pa, maafkan aku yang telah berani bicara lantang
begini karena kami telah kehabisan tempat dan waktu untuk bicara. Apalagi,
tempat serta waktu bermain kami telah tersita karena kami harus mengerjakan
banyak PR? Kami juga harus mengikuti drilling sebelum UN, karena semua orang
takut akan UN.
Kami khawatir, justru setelah
dewasa nanti, saat kami memegang tampuk kekuasaan, justru akan bermain-main
dengan kewenangan yang kami punya sebagai upaya untuk menjemput kembali waktu
bermain kami yang hilang sewaktu anak-anak dan remaja. Satu hal yang selalu ada
dalam diri kami, kami ingin marah, tapi pada siapa? Akhirnya kami
"marah" kepada sesama kami dengan melakukan 'tawuran'." "Pa, aku telah kehilangan banyak hal,
bahkan kami telah kehilangan diri kami sendiri. Sekolah telah merampas semua
itu dari kehidupan kami!" ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar