|
REPUBLIKA,
02 Mei 2013
Peringatan
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2013 menjadi momentum penting dalam
jejak panjang pendidikan Indonesia sejak era kerajaan hingga pascareformasi.
Dalam konteks yang lebih sederhana, momen ini sangat strategis untuk melakukan
refleksi kritis terhadap proses pendidikan yang berlangsung sangat panjang dan
menjadi bagian sehari-hari seluruh anak bangsa.
Paling
tidak, ada beberapa peristiwa penting yang menghiasi dinamika sosial pendidikan
beberapa waktu terakhir. Pertama, memori kita masih ingat dan belum hilang
dalam struktur memori kita tentang kekisruhan pelaksanaan Ujian Nasional 2013,
khususnya untuk tingkat SMA/sederajat.
Sebelumnya,
kita juga diramaikan dengan persoalan teknis Ujian Kompetensi Guru (UKG) yang
juga bermasalah teknis. Dan, yang paling hangat adalah rencana penerapan
Kurikulum 2013 yang sangat dipaksakan oleh pemerintah (Kemdikbud) di tengah
ketidaksiapan guru dan sangat minimnya sosialisasi bagi guru-guru di berbagai
pelosok daerah.
Kedua, peristiwa
tidak kalah pentingnya adalah momentum suksesi nasional 2014. Pemilu 2014
sangat strategis dalam mendesain cetak biru pendidikan nasional sebagai
pendidikan bagi sebuah bangsa menjadi eskalator pembangunan sosial yang mampu
menggerakkan potensi dan sumber daya manusia. Pemerintah pusat, dalam hal
ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), sudah melakukan berbagai
program seperti bantuan beasiswa dari jenjang S1 hingga doktoral. Termasuk juga
program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan berbagai program lainnya melalui
anggaran 20 persennya.
Tetapi, itu
saja tak cukup dalam mengejar setumpuk persoalan yang dihadapi masyarakat akar
rumput. Pendidikan memang soal jangka panjang. Ia menyangkut investasi
sosial ekonomi jangka panjang. Kita mafhum bahwa politik pendidikan di negeri
ini masih terpinggirkan dalam mainstream elite-elite politik. Politik
pendidikan harus kita pahami sebagai sebuah kebijakan yang memberikan
aksesibilitas dan orientasi jelas bagi pembangunan sosial berbasiskan
pendidikan.
Kita dihadapkan
pada rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Simak data UNESCO (2000) tentang
peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,
kesehatan, dan penghasilan per kepala. Bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia
menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Data lain juga menunjukkan berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan
di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia
berada di bawah Vietnam.
Sudah
saatnya kita tidak terpaku mengandalkan elite politik yang seringkali abai
dengan hak-hak asasi rakyatnya. Sudah saatnya peran tersebut secara sinergis
dan masif diambil alih oleh kekuatan ekstranegara, organisasi sipil, maupun
perusahaan yang memiliki concern dengan
isu pendidikan. Harapan kita bersama, gerakan voluntarisme (kesukarelaan)
di kalangan masyarakat akar rumput akan semakin masif bermunculan dalam ranah
pendidikan. Hal ini menarik karena inisiatif muncul dari masyarakat akar rumput
sekaligus menegasikan hegemoni negara dalam praktik pendidikan.
Sebenarnya,
ruang optimisme sudah terpapar dengan gerakan lokal yang dilakukan Ahmad
Bahrudin dengan kiprahnya di Qoryah Thoyyibah (QT), di Kalibening, Salatiga.
Bahrudin dianggap berdedikasi tinggi untuk merawat keindonesiaan dan
memperjuangkan kemanusiaan melalui kerja-kerja inisiatif kepemimpinan di
tingkat lokal berbasis nilai-nilai keagamaan yang universal. Begitu juga dengan
Gerakan Indonesia Mengajar yang dirintis Anies Baswedan. Gerakan ini, sebagai
manifestasi sinergi antara organisasi sosial dan perusahaan, sudah saatnya
diperbanyak. Kita perlu terus mendorong surplusnya gerakan voluntarisme dari
masyarakat berbagai lapisan.
Visi Humanis
Kebijakan
pendidikan tanpa dibangun secara lebih filosofis hanya akan menjadi kebijakan
yang rapuh. Visi yang harus dibangun adalah kurikulum yang memiliki semangat
kemanusiaan (humanisme), berbasiskan prinsip demokratis dan menjunjung tinggi
nasionalisme. Tiga visi ini diharapkan menjadi basis filosofis kebijakan
pendidikan.
Visi ini
penting dibangun agar kebijakan pendidikan tidak dalam bentuk cek kosong yang
miskin dengan kekuatan filosofisnya. Dengan dialektika ini, maka kebijakan
pendidikan akan lebih visioner dan strategis. Tidak kontraproduktif sesuai
selera dan kepentingan pemerintah.
Kita
perlu memperkuat posisi pendidikan alternatif yang sering dianggap sebelah mata
oleh pemerintah. Pendidikan alternatif yang selalu melibatkan masyarakat lokal
menjadi aktor penting dalam terjadinya perubahan sosial di tingkat lokal. Cara
pandang pendidikan sebagai pintu masuk terjadinya perubahan sosial tampaknya
menjadi pendasaran filosofis visi pendidikan dasar; yang harus
ditransformasikan adalah praktik pendidikan yang sarat dengan makna filosofis
kehidupan.
Wajah
pendidikan kita harus belajar banyak dari praktik pendidikan alternatif yang
dikembangkan Romo Mangun dan Bahrudin. Keduanya berupaya menghargai anak
sebagai subjek dan aktor yang aktif dengan berbagai haknya --bukan sebagai
objek-- adalah dalam upaya humanisasi pendidikan. Anak-anak sebagai aset
dan generasi yang memiliki kemerdekaan di kehidupannya.
Singkatnya,
visi kemanusiaan harus menjadi pendasaran penting dalam potret pendidikan
Indonesia ke depan. Lepas dari kepentingan pragmatis penguasa. Ini menjadi
tanggung jawab kita bersama sebagai pemilik sah republik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar