Jumat, 03 Mei 2013

Mengembangkan Pendidikan Holistik


Mengembangkan Pendidikan Holistik
Biyanto ;  Dosen IAIN Sunan Ampel, Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim 
KORAN SINDO, 03 Mei 2013


Kemarin, 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tetapi sangat disayangkan, Hardiknas tahun ini harus dirayakan di tengah suasana karut-marut pelaksanaan ujian nasional (UN). 

UN yang semestinya dilaksanakan secara serentak harus ditunda untuk beberapa provinsi akibat mismanajemen. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa UN tahun ini yang terburuk. Pelaksanaan UN juga masih diwarnai banyak ketakjujuran (dishonesty) meskipun Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menetapkan 20 paket soal. 

Di samping persoalan UN, pendidikan nasional juga diwarnai kontroversi pelaksanaan kurikulum 2013. Meski Kemendikbud telah memastikan pelaksanaan kurikulum akan dimulai secara bertahap pada tahun ajaran 2013/2014, penolakan terhadap kurikulum baru masih nyaring terdengar. Itu karena kurikulum 2013 sebagai pengganti kurikulum 2006 atau yang biasa disebut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) kelihatan tidak dipersiapkan secara matang. 

Penelitian tentang kebutuhan kurikulum baru juga belum dilaksanakan secara serius. Apalagi sekolah sasaran dan guru pelaksana ternyata belum memahami secara seksama konten dan aplikasi kurikulum baru. Dari sinilah kesan bahwa kurikulum baru ini cenderung dipaksakan sulit dihindari. Berkaitan dengan beberapa persoalan tersebut rasanya semua komponen bangsa harus kembali menelaah amanah konstitusi yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). 

Menurut UU Sisdiknas, pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan. Pengertian tersebut memberikan gambaran betapa pendidikan harus berorientasi pada pengembangan potensi anak. 

Itu berarti tugas guru adalah memfasilitasi anak agar mengenali potensi dirinya. Harus diakui bahwa tugas mendampingi anak agar mengenali potensi diri sering dilupakan guru. Orang tua bahkan terkadang kurang memperhatikan potensi anaknya. Padahal guru dan orang tua seharusnya bersinergi untuk mengembangkan potensi anak agar meraih kesuksesan dalam kehidupan pada masa mendatang. 

Guru danorangtuaharusmeyakini bahwa setiap anak memiliki potensi istimewa yang dianugerahkan Tuhan. Karena itu, tidak boleh ada kategori anak “bodoh” atau “nakal”. Setiap anak memiliki kecerdasan yang sangat unik dan bervariasi. Pada konteks inilah orang tua, guru, dan peserta didik harus berkomunikasi secara timbal balik agar dapat menemukan potensi yang akan dikembangkan. 

Yang pentingdiingat bahwadalamdunia pendidikan potensi itu tidak harus bersifat akademik, tapi juga nonakademik. Menurut taksonomi Bloom (1968), pendidikan harus berorientasi pada tiga ranah yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Secara jujur harus diakui bahwa budaya masyarakat masih menempatkan capaian akademik di atas prestasi nonakademik. 

Pemerintah juga turut menyuburkanpolapikirtersebut sebagaimana yang tampak dalam kebijakan UN. Untuk kepentingan menyukseskan UN, perhatian pemerintah luar biasa. Untuk membuat pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil UN berperilaku jujur saja, pemerintah harus mengerahkan sumber daya sipil dan militer. Karena itu, tidak mengherankan jika pemerintah mengalokasikan anggaran ratusan miliar rupiah untuk pelaksanaan UN. 

Dalam perspektif pendidikan, UN jelas merepresentasikan keinginan mengukur capaian akademik dan mengabaikan prestasi nonakademik. Kebijakan ini terasa kurang bersahabat pada anak yang memiliki bakat luar biasa di bidang nonakademik. Rasanya sudah saatnya kebijakan pemerintah diarahkan untuk memberikan penghargaan yang lebih proporsional terhadap prestasi nonakademik. 

Kita harus menyadari bahwa capaian akademik dan nonakademik itu sama-sama dibutuhkan untuk sukses hidup. Itu berarti profesi sebagai ilmuwan sama terhormatnya dengan atlet, pekerja seni, dan entrepreneur. Karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa Habibie (ilmuwan), Rudi Hartono (atlet), Emha Ainun Najib (budayawan), dan Ciputra (pengusaha dan pengembang virus entrepreneur) merupakan representasi orang-orang yang hebat di bidangnya. 

Tidak bisa dikatakan bahwa salah satu lebih baik dari yang lain. Yang dibutuhkan justru saling bersinergi untuk membangun bangsa sehingga menjadi unggul dan bermartabat. Persoalan politik yang mengakibatkansistempendidikanterbelah menjadi dua atap; Kemendikbud dan Kemenag, juga harus dicarikan solusi. Penerapan sistem pendidikan dua atap selain mengakibatkan ketimpangan mutu, juga menjadikan pembedaan ilmu umum dan ilmu agama kian langgeng. 

Polarisasi ini pasti menyebabkan pola pikir yang parsial (separated). Akibatnya tidak ada budaya untuk saling bertegur sapa antardisiplin ilmu. Jika kebijakan ini terus dipertahankan, keinginan untuk mengembangkan kajian yang bersifat holistik dan interkoneksi (holistic and interconnected studies) pasti tidak terwujud. 

Sudah seharusnya pemerintah melalui Kemendikbud dan Kemenag saling bertegur sapa untuk merumuskan formula agar sistem pendidikan nasional tidak terpolarisasi menjadi dua atap. Pemerintah harus didorong untuk mewujudkan pendidikan holistik (holistic education). Pendidikan holistik dalam hal ini dapat dipahami sebagai pendidikan yang menggabungkan semua potensi manusia; intelektual, emosional, spiritual, sosial, kultural, dan fisikal. 

Mengutip pendapat tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara, pendidikan dikatakan sebagai daya upaya untuk mengembangkan budi pekerti (kekuatan batin, hati), pikiran (otak, intellect), dan tubuh anak (raga). Bagian-bagian ini, menurut Ki Hajar, tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak. Pikiran Ki Hajar ini sangat relevan dengan tantangan dunia pendidikan. 

Apalagi pendidikan nasional kini sedang dihadapkan pada persoalan serius berupa tawuran antar pelajar, human trafficking, ketakjujuran saat ujian, dan kurang berkarakter. Pada konteks inilah seluruh stakeholders pendidikan seharusnya bersinergi untuk mengembangkan pendidikan holistik. Melalui pendidikan holistik, kita berharap akan terwujud pendidikan manusia seutuhnya (human wholeness). Semoga momentum Hardiknas tahun ini semakin membuka mata kita terhadap pentingnya pendidikan holistik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar