|
MEDIA INDONESIA, 01 Mei 2013
Nyali pemerintah di bawah duet
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono
benar-benar sedang diuji. Ujian itu berpangkal dari kebijakan soal energi,
khususnya terkait dengan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pilihannya tidak
banyak, hanya tersedia dua hal, yakni mengakhiri subsidi yang terbukti selama
ini salah strategi dan salah sasaran atau tetap mempertahankannya demi
menghindari risiko inflasi dan bertambahnya masyarakat miskin untuk jangka
pendek.
Jika pilihannya yang pertama, dalam jangka menengah hingga
jangka panjang rezim kali ini akan memiliki legacy
penting, yaitu keluar dari jebakan kebijakan energi dan memutus mata rantai
panjang kesalahan strategi subsidi. Namun, bila pilihan dijatuhkan pada konsep
yang kedua, bom waktu yang memorakporandakan kelangsungan fiskal dan roda
perekonomian kita bakal segera terjadi. Kondisi tersebut didasarkan pada
kecenderungan realisasi subsidi BBM yang digerojokkan pemerintah sepanjang
Januari hingga Maret 2013 yang menunjukkan tren kenaikan.
Dalam hitung-hitungan pemerintah, jika tren tersebut
dibiarkan berjalan tanpa ada upaya penting untuk menghentikannya, hingga akhir
tahun total subsidi BBM bakal mencapai Rp294,2 triliun. Itu berarti akan jauh
melampaui anggaran subsidi BBM yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2013 yang hanya dipatok Rp193,8 triliun. Jelas itu
situasi yang amat mencekik bagi APBN kita sehingga ruang fiskal pun amat
sempit--kalau tidak boleh disebut buntu.
Mari kita tengok postur subsidi BBM tersebut terhadap total
belanja dalam APBN 2013. Angka subsidi yang menembus Rp294,2 triliun, jika
digelontorkan, akan setara dengan sekitar 19% total belanja APBN 2013 yang
mencapai Rp1.600 triliun. Jumlah tersebut hanya terpaut 1% lebih sedikit jika
dibandingkan dengan anggaran untuk sektor pendidikan yang sesuai dengan amanat
konstitusi dipatok 20%. Jika dibandingkan dengan anggaran untuk belanja modal
bagi infrastruktur, stimulus ekonomi bagi usaha mikro, kecil, dan menengah,
maupun untuk memberikan stimulasi bagi sektor-sektor yang tradeable yang padat
karya, jumlah subsidi BBM itu jauh lebih besar.
Kondisi seperti itu, jika dibiarkan dalam jangka panjang,
akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi dan upaya pencapaian kesejahteraan
rakyat. Belum lagi kalau kita bicara tentang ke mana sebenarnya subsidi BBM
tersebut mengalir. Survei yang dilakukan Universitas Indonesia, Universitas
Gadjah Mada, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan 77%
subsidi BBM yang dimaksudkan untuk masyarakat miskin itu justru dinikmati
mereka yang berkecukupan secara ekonomi.
Secara anatomi konsumsi untuk premium, misalnya, kita
mendapati data bahwa 53% premium yang harganya disubsidi tersebut dikonsumsi
mobil pribadi. Lalu, sebanyak 40% premium dikonsumsi sepeda motor, serta hanya 4% dipakai
untuk angkutan barang dan cuma 3% yang digunakan untuk angkutan umum. Itu
artinya, subsidi BBM tersebut salah sasaran.
Tidak mengherankan memang jika kemudian subsidi tersebut
salah sasaran. Dari sejak awal kebijakan subsidi secara umum sudah salah
strategi. Selama ini, hampir semua rezim memerlukan lebih dari 80% dari total
subsidi untuk sektor konsumsi yang tingkat produktivitas dan efek pemerataannya
bagi ekonomi sangat kecil. Padahal, jika subsidi itu diberikan kepada
sektor-sektor produktif seperti UKM dan usaha-usaha padat karya yang banyak
menyerap tenaga kerja atau sektor manufaktur yang bisa memberikan added value
tinggi, tentu dampaknya terhadap perekonomian akan sangat terasa.
Benarlah sektor konsumsi selama ini telah menopang
pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga bisa mencapai 6,1% hingga 6,5%. Angka
tersebut merupakan pertumbuhan ekonomi paling eksplosif di dunia setelah China.
Namun, dalam teori ekonomi manapun, pertumbuhan ekonomi yang sebagian besar
ditopang sektor konsumsi jelas tidak berkualitas. Dalam jangka panjang,
pertumbuhan tersebut hanya akan menghasilkan bubble economy.
Dialihkan ke Sektor
Produktif
Karena itulah, jika kita ingin mencapai pertum buhan
ekonomi yang berkualitas, jelas sektor produksi harus didorong untuk menjadi
penentu pertumbuhan. Karena itu, sektor produksi perlu mendapatkan sejumlah
kemudahan dan insentif yang bisa merangsang kalangan industri untuk bergerak.
Lalu, dari mana anggaran stimulus diberikan? Jawabnya jelas,
diambilkan dari dana subsidi yang tadinya untuk sektor konsumsi dicabut lalu
dialihkan ke sektor produksi. Jika itu terjadi, jumlah angka kemiski nan yang
menurut data Badan Pusat statistik masih sekitar 30 juta serta angka
pengangguran yang masih sekitar 18 juta orang lambat laun akan teratasi.
Memindahkan subsidi BBM ke sektor yang produktif berarti
mesti menempuh cara menaikkan harga BBM bersubsidi. Dengan menaikkan harga BBM
bersubsidi pula, jebakan energi juga bisa kita hindari. Selama ini, upaya
bangsa ini untuk menggalakkan energi baru dan terbarukan terus terhambat oleh
tidak kompetitifnya sektor tersebut. Itu disebabkan disparitas harga yang
sangat tajam antara harga bahan bakar dari energi baru terbarukan dan BBM
bersubsidi. Dengan harga BBM bersubsidi yang dinaikkan, orang memilih
alternatif bahan bakar dari jenis energi baru terbarukan tersebut.
Maka, konsumsi energi yang terus meningkat sebagai
konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang juga meningkat akan teratasi. Pertumbuhan
ekonomi 6,5% akan membawa konsekuensi pada naiknya kebutuhan energi hingga 12%.
Dengan harga BBM yang berada di titik keekonomian yang berujung pada pilihan ke
energi baru dan terbarukan seperti bahan bakar nabati, misalnya, supply energi untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi bakal tercukupi. Intinya, paradigma selama ini yang menempatkan
BBM vital dan utama harus diubah menjadi energi terbarukan.
Namun, itu semua mensyaratkan
ketegasan dan nyali besar dari pemimpin di Republik ini untuk mengambil
keputusan. Terus-menerus memelihara subsidi BBM yang salah sasaran dengan
mempertahankan harga BBM subsidi sama saja mengajak rakyat bersama-sama masuk
jebakan. Berada dalam situasi memelihara dilema sama saja dengan menumpuk bom
waktu yang jika dibiarkan menumpuk, akan meledak sangat dahsyat dalam jangka
panjang. Maka, janganlah ragu-ragu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar