|
Pencemaran terhadap peninggalan
arkeologi di Indonesia masih sering terjadi hingga kini. Yang termasuk istilah
pencemaran adalah pencurian, penggalian liar, penyelundupan, vandalisme,
penyelaman ilegal, dan segala bentuk perusakan lain. Banyak penyebab
pencemaran, terutama ketidaktahuan masyarakat akibat kurang penyuluhan, kurang pendidikan,
dan kurang informasi kepurbakalaan. Selain itu, karena barang-barang kuno
mempunyai nilai komersial tinggi.
Pada prinsipnya, upaya perlindungan
dibedakan atas dua jenis kegiatan, yakni preventif (menanamkan kesadaran kepada
masyarakat) dan represif (melindungi secara hukum). Upaya perlindungan tentu
saja membutuhkan peran pihak-pihak lain, seperti media massa, institusi
pendidikan, lembaga pariwisata, LSM, dan peran serta masyarakat sendiri.
Dari banyak hal, yang paling
penting adalah menanamkan kesadaran kepada masyarakat. Di banyak negara, upaya
ini tecermin dalam istilah Arkeologi Publik (AP). Asumsi dasar tumbuhnya AP
berlandaskan pada kenyataan bahwa masa lalu bukan hanya milik segelintir orang,
melainkan milik semua orang. Namun tentunya bukan berarti setiap orang boleh
merusak atau menghancurkanbukti-bukti kebudayaan masa lalu itu.
Justru ironisnya, masih banyak
masyarakat kita belum bahkan tidak menghargai masa lalu mereka. Di
negara-negara maju seperti AS dan Eropa, AP sudah banyak dipahami warganya.
Dengan demikian, menjadi mudah bagi pihak berwenang untuk memberikan pengertian
mengenai arkeologi.
Berkomunikasi dengan masyarakat di
negara kita memang tidak mudah dilakukan. Peranan media massa, yang seharusnya
menjadi “jembatan”, masih demikian kecil. Menggantungkan harapan kepada para
wartawan saja memang kurang berhasil. Hal ini terjadi karena kebanyakan
wartawan tidak berpendidikan arkeologi. Akibatnya, mereka hampir selalu salah
dengar atau salah kutip sehingga membingungkan masyarakat.
Bahkan mereka cenderung
menyampaikan informasi kepurbakalaan hanya berkenaan dengan hal-hal yang
menarik, indah, mengagumkan, dan eksotik belaka. Hal-hal seperti inilah yang
sering kali menimbulkan anggapan dari masyarakat awam bahwa ilmu arkeologi hanya
berkenaan dengan hal-hal spektakuler dan fantastis.
Penemuan benda-benda emas dari
sebuah situs di Jawa tengah beberapa tahun lalu pernah menjadi headline dan
beritanya dimuat selama berhari-hari. Padahal pecahan keramik, potongan batu
bata, atau runtuhan bangunan pun merupakan data arkeologi berharga, seperti
halnya barang-barang utuhan lainnya. Sebenarnya peranan media massa sudah cukup
menggembirakan. Dalam setahun dijumpai sekitar 500 artikel dan berita
kepurbakalaan dari sejumlah media cetak yang terbit di Jakarta.
Menanamkan kesadaran kepada
masyarakat dapat pula melalui lembaga pendidikan. Wacana itu pernah dikemukakan
oleh FDK Bosch dalam Kongres Java Instituut pada 1924. Menurut Bosch,
pengetahuan mengenai peninggalan-peninggalan purbakala penting diajarkan kepada
anak-anak sekolah, dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah tingkat
atas. Memang angan-angan Bosch berhasil dilaksanakan oleh WF Stutterheim pada
1926, ketika dia memasukkan pelajaran sejarah kesenian dan kebudayaan Indonesia
ke kurikulum sebuah AMS (setingkat SMTA sekarang) gaya baru yang berjurusan
Sastra Timur di Solo.
Sayang, pendidikan demikian kurang
menarik minat para siswa. Karena itu, kurikulum demikian tidak bertahan lama.
Kiranya perlu dipikirkan kurikulum baru yang banyak menyinggung dunia arkeologi
secara umum. Peranan lembaga pariwisata seharusnya ikut mendukung. Dalam hal
ini, kegiatan pariwisata harus terencana dan terkontrol dengan baik. Jika
lembaga pariwisata sudah mampu merangsang para siswa agar mencintai berbagai
warisan budaya, bisa dipastikan kelestarian peninggalan purbakala lebih
terjamin.
Membentuk LSM penting dilakukan. Di Eropa dan AS, LSM seperti ini
sangat berperan aktif, misalnya Europa Nostra, SAVE Britain’s Heritage,
American National Trust, dan The National Trust of Australia.
Penyuluhan kepada masyarakat juga
perlu dipikirkan, seperti yang dirintis Mike Corbishley tentang tujuan
pendidikan arkeologi di Inggris. Menurut Corbishley, tujuan pendidikan mengenai
arkeologi bukan diarahkan pertama kalinya kepada para mahasiswa, melainkan
sejak masa kanak-kanak. Dasar inilah yang menjadi pola berpikir guru-guru di
Inggris. Arkeologi sendiri merupakan kurikulum nasional yang harus dipelajari
di sekolah-sekolah sejak anak berumur 5 tahun (Ferdinandus, 1996, Jilid 4, hlm.
102-109).
Di Inggris, arkeologi merupakan
bagian dari kurikulum sejarah, tapi juga menjadi aspek disiplin lain, seperti
geografi, ilmu alam, matematika, dan seni. Pemerintah Inggris juga membentuk
sebuah badan, English Heritage, yang
tugasnya antara lain memberikan informasi penerbitan, buku pegangan, dan
informasi lain untuk membantu para guru dalam menyusun program pendidikan
mereka mengenai arkeologi.
Perlu ditekankan bahwa kalangan arkeologi dalam menghadapi berbagai masalah pelestarian harus bersifat aktif. Selama ini kita hanya bersifat reaktif. Artinya, kalau kasus pelanggaran sudah terjadi, kalangan arkeologi baru memberikan reaksi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar