Sabtu, 25 Mei 2013

Korupsi, Hukum dan Makna Demokrasi

Korupsi, Hukum dan Makna Demokrasi
Ahmad Maskur ;  Peneliti Muda di jurusan Hukum Perdata Islam
(AS) Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 24 Mei 2013


Salah satu cita-cita agung Negara Indonesia adalah menegakkan jangkar keadilan dan kesejahteraan secara menyeluruh bagi rakyatnya. Sebagaimana termaktub pada sila kelima Pancasila, "Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia." Hal ini bertujuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera secara menyeluruh, tanpa ada disparitas apa pun dalam menikmati kemerdekaan. Juga, ada diskriminasi apa pun antara yang satu dengan yang lainnya.

Tetapi, keinginan tersebut rupanya masih menjadi sebatas cita yang belum bisa direalisasikan dalam kehidupan. Hal ini dapat dibuktikan dengan realitas angka kesenjangan hidup yang kian melambung. Kesejahteraan di negeri ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Yaitu, gerombolan mafia 'beruang' yang sibuk membangun istana palsu sebagai pesolek politik yang bergincu. Mereka adalah para pejabat pemuja harta dan kuasa yang piawai melakukan praktik-praktik kolutif dan koruptif. Apalagi, melihat peran hukum yang tampak begitu lamban ketika berhadapan dengan perkara-perkara yang melibatkan elite politik, hingga menyebabkan 'tikus-tikus berdasi' semakin bebas melakukan aksi terlarangnya. Sementara rakyat jelata semakin tak terurusi dan kian limbung dalam berbagai kesengsaraan dan persoalan krusial. Seperti, lilitan kemiskinan, pengangguran, premanisme, konflik horizontal dan lain sebagainya. Mereka seakan terabaikan dari tujuan kesejahteraan berbangsa dan bernegara.

Padahal, pada hakikatnya rakyat merupakan subjek sekaligus objek utama yang harus disejahterakan. Apalagi, dalam negara penganut sistem demokrasi seperti Indonesia tegas-tegas dinyatakan bahwa kedaulatan tertinggi berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, prinsip tersebut rupanya sudah mengalami perubahan, meminjam istilah (Ali Rif'an 2013) subjek dan objek demokrasi telah bergeser menjadi 'dari saya, oleh saya dan untuk saya'. Atau, dari kita, oleh kita dan untuk kita. Yaitu, mereka yang tergabung dalam satu lingkaran kepentingan untuk mencari rente individual atau kelompoknya. Sehingga, kesejahteraan yang sejatinya hak seluruh rakyat, seolah hanya dapat dinikmati oleh para koruptor.

Sedangkan yang lebih memprihatinkan lagi, barisan politisi yang dulunya gencar sekali memproklamirkan slogan anti korupsi, saat ini malah menjadi komplotan utama dari lingkaran hitam yang terjerat dalam euforia korupsi. Satu-per satu anggotanya terseret dalam kejahatan kelas wahid tersebut.

Tentu fenomena seperti itu sangatlah menarik sekaligus memalukan, mengingat semangat masa lalunya meneriakkan retorika anti korupsi, setelah duduk di kursi empuk justru giat melakukan praktik-praktik tak terpuji tersebut. Rakyat hanya bisa tersenyum iba melihat sandiwara politik yang dimainkan oleh politikus yang telah lupa dengan amanah dan kepercayaan rakyatnya. Padahal, sebagai pemimpin, seharusnya mereka menjadi sosok yang dapat dijadikan teladan (uswah hasanah) bagi rakyatnya.

Kondisi seperti ini memperkuat asumsi masyarakat bahwa politikus negeri ini hanya pandai beretorika, namun tak mampu menerjemahkan atau mengimbanginya dengan aksi nyata. Sehingga, tak ayal jika kehidupan kita masih jauh dari harapan kesejahteraan. Entah sejauh mana, pengaruh harta telah membutakan mata hati dan pikirannya. Sehingga jiwa abdi dan asketisme hidup sangat jauh dari kehidupannya dalam menjalankan kewajiban sebagai kepercayaan rakyat.

Ketegasan Hukum

Sejauh ini hukum masih tampak lamban dan tebang pilih dalam mengadili sebuah persoalan. Ibarat dua belah mata pisau yang hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Atau ibarat bunglon yang dengan mudah berubah warna, menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Hukum tampak begitu tajam, garang dan tegas ketika berhadapan dengan persoalan kecil yang melibatkan rakyat jelata. Namun secara otomatis bisa berubah menjadi majal, lamban dan bertele-tele ketika dihadapkan dengan persoalan besar yang melibatkan elit politik.

Lihat saja bagaimana hukum memperlakukan AAL (15), pelajar SMKN 3 Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu yang dengan tegasnya di vonis penjara lima tahun karena mencuri sandal seharga Rp 30.000, lalu bandingkan dengan bagaimana hukum menangani kasus Century yang sampai saat ini tidak ada ujung pangkalnya.

Ini hanya salah satu dari sekian contoh 'keadilan yang tidak adil'. Keadilan yang tidak sesuai dengan subtansi dan keinginan rakyat. Di samping itu masih banyak lagi kasus lain yang cukup menggelitik, seperti kasus Basar Suyanto dan Kholil, yang keduanya warga Kediri, Jawa Timur, harus berurusan dengan polisi karena diketahui mencuri sebuah semangka, disamping kasus-kasus yang lain.

Dalam karut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara, ketegasan hukum menjadi sangat penting. Hukum harus mampu tegak di atas kaki sendiri tanpa tekanan dan intervensi dari pihak mana pun. Hukum harus mampu mengadili setiap persoalan secara cepat dan tepat tanpa pandang bulu.

Sesuai dengan asas equality before the law, yaitu kesamaan kedudukan di depan hukum. Entah mau berhadapan dengan tukang becak, pemimpin partai, atau presiden sekalipun harus memperlakukannya dengan sama. Agar keadilan benar-benar tegak. Sehingga kesejahteraan hidup pun menjadi nyata. Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar