|
MEDIA INDONESIA, 30 April 2013
Menurut Von Savigny hukum yang
adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara yang
demokratis, hukum dibuat atau diangkat dan diberlakukan sebagai respons atas
aspirasi rakyat atau wajah kesejatian rakyat. Masalahnya, apakah memang masih
ada hukum di negara ini yang benar-benar mencerminkan kesejatian suara rakyat?
Kasus Susno Duadji, yang menolak
ditangkap atau dipenjarakan, dan bahkan mendapatkan perlindungan Polri,
merupakan sampel kasus yang menunjukkan bahwa wajah hukum menjadi ambigu,
multitafsir, dan bahkan tak menyuarakan aspirasi rakyat secara egaliter akibat
perilaku komponen penegak hukum.
Mereka itu tak menempatkan hukum sebagai supremasi normatif
yang harus digunakan sebagai pijakan bernegara dan bermasyarakat, melainkan
sebagai instrumen yang membenarkan asumsi dan kepentingannya. Hukum bahkan
sebatas diperlakukan sebagai logika dan teori-teori untuk melicinkan jalan
dalam membela atau melindungi siapa pun yang dinilai menguntungkan mereka.
Mereka itu termasuk orangorang yang sudah didiklat,
dilatih, atau dimasukkan dalam kawah candradimuka proses pembelajaran ilmu
hukum, yang mesti paham dan terlatih tentang bagaimana seharusnya mewujudkan
ketaatan atau kepatuhan pada norma yuridis.
Hukum haruslah mencerminkan
prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hukum yang gagal
ditunjukkan secara empiris dan memanusiakan oleh lembaga peradilan merupakan
hukum yang menyakiti atau mendehumanisasi rakyat. Hukum yang demikian memang
ada dan bahkan dilestarikan oleh suatu rezim tertentu, meskipun eksistensinya
menyakiti rakyat.
Idealisme itu menunjukkan bahwa peradilan mempunyai tugas
mulia dalam memenuhi dan mewujudkan keinginan masyarakat. Keinginan masyarakat
bukan hanya sebatas bagaimana perkara bisa ditangani secara cermat dan efektif
oleh lembaga peradilan, tetapi juga ditangani lembaga peradilan yang
kredibilitas moral dan profesionalismenya terjamin.
Produk kinerja elemen peradilan di antaranya ialah putusan
hakim. Hakim memimpin dan menghasilkan keputusan untuk ditaati oleh siapa pun
yang beperkara. Rule of game menjadi
kuncinya supaya selain kewibawaan peradilan tetap terjaga, keadilan dan
egalitarianisme juga ikut terjaga.
Siapa pun yang beperkara, baik itu polisi yang berurusan
dengan tuduhan tindak pidana (straafbaarfeit)
maupun orangorang yang bukan dari aparat penegak hukum, mempunyai kedudukan
egaliter dalam ranah pertanggungjawaban yuridis. Tidak lantas karena satu orang
atau beberapa orang berstatus aparat penegak hukum, mereka mendapatkan hak
mempermainkan hukum sesuka hati.
Pakar hukum Frans Hendra Winarta menyebut profesionalisme
tanpa etika menjadin kannya `bebas sayap' (vleugel
vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika
tanpa profesionalisme menjadikannya `lumpuh sayap' (vleugel lam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak.
Sudah beberapa kali publik meminta kepada polisi supaya
tidak ada penjahat yang diperlakukan istimewa. Permintaan tersebut sejalan
dengan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, yang salah satu prinsipnya
ialah penegakan asas persamaan derajat di depan hukum (equality before the law). Dalam prinsip ini, siapa pun yang menjadi
pelanggar norma yuridis, apakah ia berpangkat jenderal ataupun kopral, wajib
mempertanggungjawabkan atau dipertanggungjawabkan secara hukum berbasis
kesederajatan, nondiskriminasi, atau egalitarianisme.
Selama ini, jagat yuridis kita menjadi sangat buram lebih
disebabkan ketidakberdayaan dalam menerapkan norma egaliter. Dalam ranah
penegakan sistem yuridis, yang lebih tampak ialah pemberlakuan monologisme
logisme manajemen, dan bukan sistem yang berkesederajatan.
Karut-Marut
Elemen peradilan yang mengkhianati prinsip egalitarianisme
telah membuat karutmarutnya jagat hukum. Wajah kepolisian yang mati-matian
membela Susno dengan modus sampai melawan putusan Mahkamah Agung hingga
mengakibatkan bentrok dengan kejaksaan merupakan wajah buruk wajah buruk korps
yang didesainnya sendiri.
Mereka telah membuat kesalahan besar karena memang sejatin
y a diri me reka ialah pelaku utama yang memainkan peran sangat vital dan
fundamental sekaligus sakral bagi terwujudnya idealisme penegakan hukum (law enforcement) dan keadilan. Namun
akibat sepak terjangnya yang menerjang regulasi sistem peradilan pidana, mereka
akhirnya berstatus sebagai produsen penghan curan profesionalisme, kejujuran,
dan keadilan.
Di ranah profesionalisme mereka itu, negara sejatinya sudah
memercayakan bagaimana seharusnya idealisme yuridis benar-benar menjadi
empiris, atau bagaimana keadilan menjadi `hak milik' seseorang, masyarakat,
atau negara (rakyat) yang memang seharusnya berhak menerimanya. Sayangnya,
akibat profesionalisme yang `dimatikan', mereka tak ubahnya sebagai sekelompok
masyarakat barbar, bukan kelompok cendekiawan dan `negarawan'.
Menurut pakar hukum Purbacaraka, negara hukum ti dak bisa
dilepaskan dari esensi negara demokrasi. Setiap bentuk pelaksa naan hukum, ada
hak rakyat sebagai peme gang kedaulatan yang dipertaruhkan. Ketika norma
yuridis diselingkuhi, di antaranya dengan melakukan malapraktik profesi, yang pertama
dan utama menjadi korbannya ialah rakyat.
Dalam ranah itu, hukum yang demokratis bermaknakan sebagai
hukum yang bukan hanya sejiwa dengan kepentingan ma syarakat, melainkan sebagai
hukum yang oleh negara bisa dimediasi atau dilabuhkan sebagai norma yang
mengejawantah, yang mampu memberikan manfaat demi dan untuk rakyat. Kalau hukum
secara terus-menerus dijadikan instrumen kekuasaan, seperti membela dan
melindungi `orang kuat yang bersalah', hukum tak ubahnya instrumen represif dan
tiranistik.
Sejatinya, untuk bisa menjadi hukum yang demokratis atau
bermanfaat untuk publik tersebut, elemen negara seperti polisi menjadi
kuncinya. Elemen tersebut membuat norma hukum bisa bekerja seperti melindungi,
memenuhi, dan memberdayakan, dan sebaliknya bisa menghadirkan dan `menyuburkan'
distorsi egalitarianisme. Polisi bisa menciptakan budaya hukum yang menyehatkan
dan mendamaikan masyarakat, bukan `memotivasi' lahirnya dan menguatnya atmosfer
barbarisme seperti yang mereka perbuat.
Pakar hukum Joeniarto membenarkan bahwa negara yang
berasaskan the rule of law mengandung
konsekuensi tindakan penguasa dan masyarakat negara harus berdasarkan atas
hukum, bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka dengan maksud membatasi
kekuasaan penguasa dan melindungi hak keadilan masyarakat.
Ketidakadilan atau diskriminasi bisa dengan mudah
diproduksi elite penegak hukum. Pasalnya, mereka inilah yang dipercaya
mengenakan baju hukum, menjadi generator peradilan, berperan sebagai eksekutor,
atau mendapat stigma oleh regulasi untuk menjalankan mandat yuridis. Dengan
demikian, ketika mandat itu `dibengkokkan', ada banyak sektor yang dikorbankan,
di antaranya pencari keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan sosial.
Dalam kasus Susno, polisi telah melakukan kesalahan tidak
ringan. Profesionalismenya dipertaruhkan demi melindungi elite yang secara
yuridis sudah diputuskan bersalah. Seharusnya polisi memberikan teladan elegan
dengan menyerahkan dan mengawal Susno masuk penjara. Jika teladan itu
dilakukan, masyarakat akan menaruh respek tinggi kepada mereka.
Tubuh Polri juga berisi manusia-manusia biasa yang bisa
saja tergelincir dalam pergulatan eksklusif sehingga melakukan pemihakan kepada
elite tertentu yang bermasalah. Jika penyimpangan kode etik profesi itu yang
dilakukan polisi sehingga egalitarianisme terdistorsi dan terdegradasi, polisi
layak dianggap `berjasa' membuat norma yuridis kehilangan kredibilitas publik,
sekarang ataupun di masa mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar