|
SEJUMLAH petinggi era pemerintahan
Megawati Soekarnoputri satu per satu dipanggil dan diperiksa KPK terkait dengan
Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI. Mulai Rizal Ramli, Kwik Kian Gie hingga Putu
Ary Sutta. Bahkan dalam perkembangan di pertengahan Mei 2013, terdengar kabar
Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan dan Presiden RI kelima, akan dipanggil KPK
sebagai saksi kasus SKL BLBI. Tentu saja informasi tersebut membuat kita
tercengang.
Kita berharap penyelidikan terhadap penerbitan SKL yang
membuat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dihentikan penyidikannya
(SP3) oleh Kejaksaan Agung di masa kepresidenan Megawati ini bukan bagian dari
operasi Sunyi Senyap atau `SS' yang ingin menempatkan Megawati menjadi sasaran
tembak un tuk menjatuhkan pamor PDIP. Sebab, elektabilitas PDIP terus meroket
bersama Partai Golkar, dan telah meninggalkan jauh Partai Demokrat.
Ketika KPK memanggil mantan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, semua kalangan ingin tahu apa yang
ditanyakan KPK kepada Kwik. Kwik membuat publik tetap penasaran karena tak mau
menjelaskan materi pembicaraannya dengan KPK. Persoalan mulai agak jelas ketika
mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli mau merespons pertanyaan pers seusai
menjalani pemeriksaan di KPK, belum lama ini. Dia mengaku, dari materi
pertanyaan para penyidik, sangat jelas bahwa KPK berupaya menelusuri
kejanggalan penerbitan SKL BLBI.
Agar tidak menjadi beban sejarah bangsa, Rizal pun
mengimbau penegak hukum lebih bersungguh-sungguh menuntaskan kasus
penyalahgunaan BLBI. Sebab, negara masih terus membayar bunga subsidi BLBI
sekitar Rp60 triliun per tahun. Kewajiban ini masih harus dijalankan negara
selama 20 tahun mendatang. Bagi Rizal, meluruskan kasus SKL BLBI itu penting
untuk menegakkan keadilan.
Penuturan Rizal itu secara tidak langsung menjelaskan bahwa
KPK sedang mendalami dugaan penyalahgunaan fasilitas BLBI, serta kemungkinan
adanya penyimpangan pada kebijakan dan mekanisme penerbitan dan pemberian SKL
BLBI kepada sejumlah debitur.
Dalam sebuah seminar di Jakarta baru-baru ini, Ketua KPK
Abraham Samad mengemukakan bahwa modus dan praktik korupsi dewasa ini terus
berkembang dan semakin canggih. Cara koruptor menghilangkan alat bukti serta track record-nya dalam tindak pencucian
uang semakin canggih. Dia mengacu pada kasus penyalahgunaan BLBI dan keanehan
yang meliputi mekanisme penerbitan SKL BLBI itu.
SKL BLBI diterbitkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) berdasarkan Inpres No 8/2002. SKL memuat ketentuan tentang pemberian
jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya.
Dan sebaliknya, tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya
berdasarkan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS). Berdasarkan SKL dari BPPN
itu, Kejaksaan Agung menindaklanjutinya dengan menerbitkan SP3 (surat perintah
penghentian penyidikan).
Inpres No 8/2002 yang populer dengan sebutan Inpres release and discharge ini menjadi
sangat kontroversial pada waktu itu. Banyak kalangan keberatan, termasuk ekonom
Kwik Kian Gie yang saat itu menjabat ketua Bappenas.
Soalnya, debitur BLBI dipastikan sudah melunasi seluruh utang kendati hanya 30%
dari JKPS dalam bentuk tunai dan 70% dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada
BPPN.
Dengan perhitungan seperti ini, debitur yang ditetapkan
sudah melunasi kewajibannya berdasarkan penyidikan akan mendapat SP3 dari
Kejaksaan Agung. Tidak kurang dari 10 debitur besar yang mendapat SKL, termasuk
Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan.
Tipu muslihat
Belakangan, diketahui bahwa perilaku debitur BLBI penuh tipu
muslihat. Mereka mengaku tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya
mengembalikan BLBI dan bersedia menyerahkan asetnya kepada negara melalui BPPN.
Namun, saat aset-aset itu dilelang, BPPN dengan harga yang sangat murah, para
obligor itu membeli lagi aset-aset tersebut melalui perusahaan milik mereka
yang berdomisili dan beroperasi di luar negeri.
Dari beberapa debitur yang menyerahkan aset kepada BPPN,
kasus penyerahan aset oleh Sjamsul Nursalim, selaku pemilik BDNI, paling
menyita perhatian karena perhitungannya dinilai tidak akurat. Di kemudian hari,
dugaan ketidakjujuran Sjamsul Nursalim terendus ketika mantan jaksa Urip Tri
Gunawan (kini berstatus terpidana) ditangkap KPK di pekarangan rumah Sjamsul
Nursalim di Jakarta Selatan.
Bukan tidak mungkin, debitur BLBI lain yang telah
memperoleh SKL dan SP3 pun berkolaborasi dengan oknum penegak hukum lainnya.
Karena itu, KPK perlu `meminjam' terpidana Urip Tri Gunawan untuk sekadar
mengetahui bagaimana dia `melayani' kepentingan Sjamsul Nursalim sampai akhirnya
mendapatkan SP3.
Dengan demikian, penyelidikan kasus BLBI berpotensi
melebar. Tidak hanya soal dugaan penyalahgunaan BLBI, tetapi juga masuk pada
kejanggalan jual-beli aset oleh debitur. Berdasarkan laporan audit investigasi
penyaluran dan penggunaan BLBI oleh BPK pada 2000, total dana BLBI yang
disalurkan kepada 48 bank mencapai Rp144,5 triliun. Dari audit yang sama,
ditemukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyaluran BLBI, yang
menimbulkan potensi kerugian negara Rp138,4 triliun, ekuivalen 96% dari total
BLBI. Pihak-pihak yang diduga terlibat adalah manajemen bank penerima BLBI dan
pejabat Bank Indonesia.
BLBI digagas untuk mencegah runtuhnya industri perbankan
nasional akibat krisis moneter 1998. Bantuan diberikan kepada puluhan bank
untuk menjaga likuiditas bank-bank penerima bantuan, yang saat itu harus
menghadapi rush dari nasabah. Saat
itu, segala sesuatunya digambarkan harus serba cepat, termasuk menghitung
kebutuhan bantuan likuiditas ataupun pendistribusian bantuan. Presiden (saat
itu) HM Soeharto tak punya pilihan lain kecuali setuju saja dengan proposal
BLBI dari para pejabat Bank Indonesia saat itu.
Per kebijakan, BLBI mungkin tidak bisa disalahkan. Namun,
jumlah, penyalahgunaan BLBI, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat BI, dan
ingkar janji pemegang saham bank penerima BLBI sangat layak untuk dipersoalkan.
Termasuk juga kebijakan dan mekanisme penerbitan SKL sejumlah debitur BLBI.
Karena itu, sangat melegakan jika KPK akhirnya membuka
penyelidikan kasus ini. Kelak, jika kasus ini digelar lagi di ruang publik,
semua anak bangsa bisa memahami bahwa kasus BLBI adalah kejahatan besar di
bidang keuangan yang pernah dilakukan terhadap negara ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar