|
KOMPAS, 23 Mei 2013
Di balik perdebatan tentang jurnal predator
terkesan ada upaya saling merebut pengakuan dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi atas eksistensi peneliti dan karyanya.
Umum diketahui, menerbitkan artikel pada
jurnal internasional dengan peer
review merupakan proses panjangdan tak mudah. Disisi lain, jurnal-jurnal
kategori predato rbersedia menerbitkan artikel secara cepat dan relatif mudah.
Jika artikel-artikel yang diterbitkan melalui mutu proses yang amat berbeda itu
diakui sama secara kualitas oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti),
masuk akal bila para penulis pada jurnal peer
review merasa keberatan.
Saya setuju dengan gagasan Terry Mart
(Kompas, 13/5) bahwa Dikti harus memiliki standar penilaian yang lebih tegas
dan jelas tentang definisi dan kategori jurnal ilmiah yang baik. Tidak semua
jurnal yang berlabel internasional, misalnya, sungguh-sungguh berkaliber
internasional.
Pengakuan oleh komunitas komunitas keilmuan
sebidang merupakan indikator proses yang krusial untuk menilai kredibilitas dan
mutu jurnal. Indikator krusial lainnya yakni tahap-tahap penilaian artikel yang
harus dilalui sebelum editor memutuskan menerbitkan atau menolak. Tahap-tahap
itu bisa menjadi panduan meneropong derajat mutu artikel-artikel yang
dipublikasikan suatu jurnal.
Pada jurnal kategori predator, saringan atas
kualitas artikel praktis tidak ada. Editor dengan mudah dan cepat memenuhi
permintaan penulis artikel untuk ”menaikkan” atau ”menurunkan” artikelnya dari
situs web jurnal (Kompas, 24/4).
Segera merevisi
Kiranya Dikti perlu segera merevisi daftar
jurnal yang diakuinya dengan membuat kategorisasi dan kriteria standar mutu
penilaian berdasarkan temuan dan perdebatan terbaru ini.
Di luar itu harus disadari bahwa menjamurnya
gejala jurnal predator bukan semata-mata persoalan kredibilitas jurnal dan
derajat mutu artikel-artikel yang diterbitkannya, tetapi berkaitan erat dengan
politik ilmu pengetahuan.
Pada jurnal-jurnal dengan peer review, proses seleksi artikel yang
secara substantif sudah ketat itu sering menjadi lebih ”ketat” karena
unsur-unsur non akademik yang mendasari arah kebijakan editor dan penerbit
jurnal.
Ada dua hal. Pertama, jurnal-jurnal berbasis
komunitas keilmuan sering ”dikuasai” anggota-anggota komunitas atau bahkan oleh
segelintirelite dengan aliran keilmuan tertentu dari komunitas itu. Kasus yang
telah lama beredar adalah jurnal kedokteran umummilik sebuah asosiasi
kedokteran di Amerika Serikat. Bukan hanya niranggota asosiasi yang kesulitan
memasukkan artikel pada jurnal asosiasi, anggota asosiasi pun mengalami
kesulitan jika mereka berbeda aliran keilmuan dengan elite berpengaruh di
asosiasi itu.
Kedua, kebanyakan penulis dari negara-negara ”berkembang”
mengalami kesulitan ketika memasukkan artikel kejurnal peer review di negara-negara maju,
kecuali jika mereka berafiliasi denganinstitusi tertentu di negara maju. Dalam
hal ini saya tidak sepakat dengan pendapat peneliti Ariel Heryanto (2007), yang
menyebutkan rendahnya produktivitas karya ilmiah ilmuwan Indonesia sebagai
penyebab kesenyapan kiprah mereka di kancah keilmuan internasional.
Jika diperhatikan, banyak peneliti Indonesia
menerbitkan artikel mereka di aneka jurnal ilmiah berkaliber dunia atau
mempresentasikan hasil penelitian pada konferensi-konferensi asosiasi keilmuan
internasional yang bergengsi. Namun, nyaris semua ilmuwan Indonesia itu memakai
bendera institusi dari negara maju.
Kenyataan itu telah memunculkan perdebatan
tentang gejala brain-drain ilmuwan-ilmuwan Indonesia atau soal garingnya
kebijakan Pemerintah RI dalam memfasilitasi dan mengelola sumberdaya manusia
terdidik. Namun,yang luput dari perhatian adalah adagaris politik bersuasana
kolonialisme baru dalam produksi (dan penyebaran) ilmu pengetahuan oleh
negara-negara maju, khususnya di Barat.
Sebagaimana pendidikan formal di
negara-negara kolonial di Asia, Amerika Latin dan Afrika dulu dibangun dengan
kendali kebijakan yang berorientasi ke metropolimperial di Barat, demikian pun
sekarang. Ilmu dan pengetahuan tentang bekas negara-negara kolonial, termasuk
Indonesia, diproduksi oleh ilmuwan negara-negara maju atau lewat lembaga dan
kacamata negara maju.Meskipun tidak sistemik, praktik ini tampaknya
terjadi by design, bukan by accident.
Dugaan tersebut terdukung fakta bahwa
jurnal-jurnal peer review yang diterbitkan oleh negara-negara maju bekas koloni
kenyataannya dikelola dan dengan editor para ahli (bukan mitra bestari) yang
disewa dari Amerika Serikatdan Eropa. Jurnal kajian Asia Tenggara yang cukup
bergengsi di Singapura dan Jepang dikelola oleh editor profesional dari
universitas-universitas di Eropa yang dikontrak khusus untuk tugas mengelola
jurnal. Sebuah jurnal baru tentang kajian Asia di sebuah universitas di Korea
Selatan pada acara peluncurannya tegas-tegas menyatakan peran utama editor
berkebangsaan Eropa yang telah dikontrak untuk beberapa tahun ke depan.
Kendali ideologis
Terkesan xenophobic, anti-asing, tetapi fakta-fakta itu menegaskan bahwa
proses produksi dan penyebaran ilmu pengetahuan, khususnya lewat jurnal dan
konferensi ilmiah, tak lepas dari kendali ideologis yang aromanya agak-agak
neokolonialis. Jadi, bukan semata-mata soal mutu karya dan kredibilitas jurnal.
Kehadiran jurnal-jurnal kategori predator
mungkindapat dibaca dalam kerangka gugatan atau protes dari mereka yang selama
ini tidak terwadahi dalam jurnal-jurnal peer review terhadap dominasi
negara-negara maju atau elite ilmuwan tertentu dari suatu komunitas keilmuan
atas proses produksi, aksesibilitas, dan penyebaran ilmu pengetahuan.
Karena itu, tidak cukup jika Dikti hanya
membuat kriteria penilaian dan kategorisasi jurnal-jurnal yang baik dan yang
predator berdasarka klasifikasi (dan klaim) yang dibuat ”orang luar” dan telah beredar global belakangan ini.
Dikti harus memfasilitasi dirintisnya
jaringan jurnal-jurnal Indonesia berkaliber internasional dengan patokan mutu
yang ditentukan sendiri oleh komunitas-komunitas akademisi Indonesia sesuai
dengan peta kebutuhan dan kondisi keilmiahan di Indonesia saat ini.
Jika Dikti hanya menampik mengakui
artikel-artikel yang diterbitkan jurnal berkategori predator tanpa menawarkan
solusi, itu sama saja ia abai terhadap aneka faktor yang menyebabkan banyak
akademisi Indonesia dengan bendera institusi Indonesia tidak dapat menembus
jurnal internasional peer review. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar