|
SINAR HARAPAN, 01 Mei 2013
Kendati
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menetapkan Satu Mei (“May Day”)
sebagai hari libur nasional, kebijakan itu tak menyurutkan elemen serikat buruh
untuk tetap menggelar aksi May Day.
Kabarnya,
sekitar 200.000 buruh dari berbagai wilayah akan kembali mengepung Jakarta.
Unjuk rasa menyambut May Day itu akan mengusung beragam tuntutan, antara lain
menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), isu implementasi
jaminan sosial, upah layak, sistem kerja alih daya (outsourcing), buruh kontrak, politik upah murah, adalah beberapa
isu seksi yang akan diangkat.
Namun,
isu penghapusan buruh kontrak tampaknya akan tetap menjadi topik utama.
Pasalnya, sistem outsourcing lebih
banyak merugikan dibanding menguntungkan buruh.
Outsourcing dinilai membuka peluang bagi perusahaan memutuskan hubungan kerja
secara sepihak, saat perjanjian kontrak kerja antara buruh berakhir. Dalam
sistem kerja alih daya ini, perusahaan bisa menolak kewajiban mereka memberikan
pesangon kepada buruh.
Pascareformasi,
problem hubungan industrial di negeri ini memang terus bereskalasi cepat, mulai
dari minimnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan
sumber daya tenaga kerja, gaji yang rendah, serta jaminan sosial yang nyaris
tak ada.
Belum
lagi perlakuan negatif pengusaha, seperti memperbanyak pekerja outsourcing,
memaksimalkan pekerja dengan satus kontrak, melakukan tindak asusila,
penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab, hingga larangan berserikat (union busting).
Success story tuntutan buruh paling fenomenal pascareformasi adalah
disahkannya Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) oleh DPR
pada 28 Oktober 2011. Di luar itu, berbagai tuntutan buruh praktis nyaris
terbentur.
Ditinjau
dari sisi efektivitas gerakan, perjuangan buruh setidaknya masih menghadapi dua
kendala, yakni problem eksternal (relasi buruh-pemerintah-pengusaha dus relasi
buruh-politik) dan problem internal (konflik berlarut dan di kebanyakan organ
serikat buruh).
Di
level eksternal, problem yang hingga kini terus melilit banyak serikat buruh,
antara lain soal kebebasan berserikat, pelanggaran hak-hak normatif buruh,
rumitnya proses penyelesaian hukum di Pengadilan Hubungan Industrial, kian
kompleksnya penanganan buruh akibat pelimpahan urusan perburuhan dari pusat ke
daerah, menguatnya model fleksiblitas pasar kerja, dan kentalnya corak ekonomi
pasar yang mendominasi kebijakan ekonomi negara.
Sementara
itu di level internal, banyak organ serikat buruh umumnya masih berkutat pada
fenomena konflik internal dan eksternal (baik antarpengurus maupun
antarserikat), pola perjuangan yang normatif, dan kentalnya fenomena oligarki
dalam tubuh kepengurusan serikat buruh.
Rentannya
konflik internal dalam tubuh serikat buruh umumnya bukan disebabkan oleh
masalah prinsipil-ideologis, namun lebih didominasi soal-soal teknis, seperti
sikap egois para elite buruh, ketidakmatangan dalam mengelola organisasi,
pemimpin serikat buruh yang kurang mengakar, lemahnya militansi anggota, dan
sejenisnya.
Kecenderungan
pola pengorganisasian serikat buruh juga bersifat rutinitas, di mana hampir
seluruh waktu pemimpin habis untuk mengurus problem internal organisasi,
seperti iuran anggota, distribusi jabatan, administrasi, advokasi, dan
rapat-rapat seremonial.
Relasi
pemimpin serikat buruh dengan anggotanya pun kian birokratis. Anggota hanya
bertemu dengan pemimpin jika sedang menghadapi masalah. Setelah masalah selesai,
praktis komunikasi, koordinasi, dan konsolidasi tak lagi berjalan efektif.
Tuntutan
Kesejahteraan
Umumnya
organ serikat Indonesia membatasi lingkup perjuangannya sebatas tuntutan
kesejahteraan (economic unionism/business
unionism).
Pola
perjuangan ini kerap membuat serikat buruh gagal mengikatkan diri pada basis
ideologi politik tertentu dan berperan aktif dalam mendorong isu-isu perubahan
sosial yang lebih luas dan mendasar, seperti membangun jaringan dengan elemen civil society dan kelompok-kelompok pro
demokrasi.
Hingga
kini, serikat buruh terlihat sulit meredefinisi dan mereposisi perannya sebagai
kekuatan gerakan sosial. Serikat buruh kerap gagap dalam memetakan akar masalah
dan gagal memberi solusi alternatif atas problem kemiskinan, ketimpangan
ekonomi, dan ketidakadilan sosial.
Ini
merupakan buah dari kebijakan rezim Orde Baru yang berhasil mengikis orientasi
politik-ideologis serikat buruh dan sukses menanamkan orientasi teknis-ekonomis
melalui sistem Hubungan Industrial Pancasila/HIP—sebagai konsep ideal yang
menjadi koridor gerakan buruh Indonesia sepanjang 32 tahun kekuasaan Orde Baru.
Orientasi
kebanyakan serikat buruh yang eksklusif inilah yang disebut sebagai “gerakan tanpa ideologi kelas”. Dengan
kata lain, gerakan buruh pascareformasi masih mewarisi watak gerakan buruh era
Orde Baru, yakni lemahnya kepekaan dan militansi serikat buruh dalam melawan
berbagai bentuk ketidakadilan struktural dan kultural yang terus direproduksi
negara.
Problem
internal lain adalah menjamurnya budaya oligarkis di banyak organ serikat
buruh. Padahal, demokratisasi adalah syarat mutlak bagi tumbuhnya organisasi
serikat buruh yang kuat. Meluasnya kultur patron-clinet
adalah penyebab utama tingginya tensi konflik internal di tubuh serikat buruh.
Dalam
situasi budaya organisasi seperti ini, serikat buruh cenderung menjadi organ
elitis para pengurus yang tidak mengakar ke bawah, kinerja organisasi menjadi
tak terkontrol, meluasnya apatisme di kalangan anggota, dan kian memperkuat
watak status quo pengurus.
Ditinjau
dari aspek pengorganisasian isu, berbagai kasus menunjukkan agenda perjuangan
serikat buruh di tingkat nasional (DPP federasi/konfederasi) kerap bersinergi
dengan kepentingan, aspirasi, dan isu pokok di tingkat lokal (DPD, DPC, dan
Pengurus Unit Kerja/PUK).
Sementara
itu gerakan buruh di tingkat lokal nyaris tak mampu mengangkat isu-isu lokal ke
level nasional akibat lemahnya pengorganisasian, SDM, networking, komunikasi,
koordinasi, dan konsolidasi antarperangkat organisasi di internal organisasi
serikat buruh.
Kendala
lain, dari 33 juta buruh formal, lima juta di antaranya PNS/TNI/Polri, enam
juta lainnya buruh kelas menengah yang biasanya memiliki ambivalensi terhadap
perubahan drastis.
Pada
arus eksternal, saatnya gerakan buruh membuat pilihan aliansi politik strategis
dengan kekuatan civil society,
kelompok-kelompok pro demokrasi, dan partai politik. Relasi gerakan buruh
dengan berbagai elemen politik strategis itu menjadi niscaya agar aspirasi dan
kepentingan buruh menjadi bagian dari integral dari agenda kebijakan negara.
Gerakan
buruh harus merevitalisasi corak perjuangan, dari format business unionism
(sekadar memperjuangkan kesejahteraan, menuntut kenaikan gaji, memperbaiki
kondisi kerja, dan sejenisnya) ke format social
unionism menjadi bagian integral dari kekuatan politik yang berperan aktif
dalam mengubah orientasi kebijakan negara.
Tanpa
reorientasi, redefinisi, reposisi, dan revitalisasi format gerakan, perjuangan
buruh akan terus menghadapi problem krusial: berdaya tekan rendah,
misorientasi, dan potensial gagal dalam mewujudkan kehidupan buruh yang
lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. Selamat
merayakan May Day: “satu suara, satu dunia, solidaritas”! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar