|
MEDIA
INDONESIA, 20 Mei 2013
SEBUAH ide menarik dilontarkan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (Media Indonesia, 16/5), yakni
bagaimana jika penarikan pajak yang selama ini dilakukan Direktorat Jenderal
(Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dilakukan swasta? Mungkinkah
privatisasi penarikan pajak dilakukan?
Wacana itu muncul menanggapi
tertangkapnya dua pegawai pajak Jakarta Timur oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi
(KPK) di Bandara Soekarno-Hatta (15/5). Mereka tertangkap tangan menerima suap S$300 ribu atau sekitar Rp2,3 miliar
dari karyawan The Master Steel,
sebuah perusahaan wajib pajak yang bergerak di bidang industri baja.
Ide privatisasi pemungutan pajak memang bukan hal baru
karena hal itu pernah dilakukan di Indonesia oleh Societe Generale de Surveillance (SGS), sebuah perusahaan jasa
inspeksi dari Swiss. Wacana tersebut kini menemukan kembali momentumnya. Menteri
Keuangan Agus Martowardojo, menjelang berhenti dari jabatannya, pernah mengeluh
penerimaan pajak, bea masuk, dan cukai sepanjang 2012 Rp980 triliun.
Angka itu
memang meningkat daripada tahun-tahun sebelumnya. Namun, sebenarnya pencapaian
tersebut masih jauh dari optimal. Banyak praktik transfer pricing, misalnya perusahaan mengaku rugi padahal
membukukan keuntungan untuk menghindari pembayaran pajak. Praktik-praktik
tersebut sangat diduga melibatkan `orang dalam' Ditjen Pajak. Hal yang sama
juga terjadi pada Ditjen Bea dan Cukai.
Jika dibandingkan dengan APBN 2012 yang mencapai sekitar
Rp1.500 triliun, berarti 65% kebutuhan anggaran pemerintah ditutup pajak.
Sisanya berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dan
dividen sumber daya alam (misalnya Freeport dan Newmont), serta dividen BUMN.
Jika masih kurang, pemerintah mencarinya dengan cara menerbitkan obligasi
pemerintah, yang disebut `pembiayaan defisit anggaran pemerintah'.
Bila penerimaan pajak, bea masuk, dan cukai Rp980 triliun
dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) kita sekitar Rp8.200 triliun,
akan diperoleh tax ratio sekitar 12%. Rasio itu sangat ketinggalan bila
dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang setara, yang mencapai di atas
16%. Kalau saja kita berhasil menaikkan tax ratio menjadi 16%, akan ada
tambahan penerimaan pajak sebesar 4% terhadap PDB atau sekitar Rp328 triliun.
Jumlah itu hampir sama dengan subsidi energi (BBM dan listrik) tahun ini yang
diperkirakan mencapai minimal Rp320 triliun.
Lakukan banyak
hal
Dengan kata lain, bila Ditjen Pajak berhasil mengumpulkan
pajak dengan baik dan benar (tidak bocor diselewengkan wajib pajak dan aparat
pajak), jumlah tambahan penerimaan pajak dapat dipakai untuk mengongkosi
subsidi energi atau bahkan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur vital.
Sebagai perbandingan, biaya Jembatan Selat Sunda Rp200
triliun, subway di Jakarta satu segmen seharga Rp27 triliun, monorel di Jakarta
hanya Rp6 triliun, dan jalan tol di atas laut di Bali sepanjang 12 km cuma
Rp2,5 triliun. Pendeknya, jika tax ratio mencapai 16%, banyak hal yang bisa
kita lakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menghentikan
tambahan utang pemerintah atau defisit anggaran.
Bila kita bandingkan dengan defisit anggaran yang tahun ini
direncana kan 2,5% terhadap PDB, yang berarti Rp205 triliun, potensi tambahan
penerimaan pajak kita ternyata jauh lebih besar.
Dari kalkulasi itu, bisa kita simpulkan bahwa pemerintah
harus melakukan berbagai upaya untuk mengumpulkan pajak lebih besar lagi. Akan
tetapi, bagaimana caranya? Pada titik sekarang, skema reformasi birokrasi-yakni
pemberian skema remunerasi yang lebih baik di lingkungan Kementerian Keuangan
agar aparat birokrasi lebih tahan terhadap godaan suap--ternyata belum cukup
berhasil. Penerimaan pajak memang sudah bisa ditingkatkan, tetapi skandal suap
model Gayus Tambunan masih terjadi lagi dan berkelanjutan.
Berdasarkan kisah kesuksesan (relatif ) KPK dalam
pemberantasan korupsi, serta Densus 88 dalam memberantas terorisme, modus itu
bisa diadopsi Ditjen Pajak. Ditjen Pajak saya sarankan membentuk sebuah task force, yang anggotanya diisi `orang
dalam' ataupun orang dari luar lingkungan Kemenkeu.
Syarat utamanya satu, mereka harus mempunyai integritas
tinggi sehingga tahan suap. Saya yakin, di negeri ini masih ada cukup banyak
orang dengan kualifikasi seperti itu. Di kampus, saya menemukan banyak
mahasiswa yang geregetan melihat karut-marut suap di negeri ini yang kian lama
semakin terang benderang dan memuakkan, sebagaimana skandal impor sapi di
Kementerian Pertanian.
KPK ialah contoh sekumpulan orang yang cakap secara teknis
yang disertai dengan integritas tinggi. Tim komando seperti itulah yang
dibutuhkan Ditjen Pajak. Perlu rekrutmen manusia-manusia cakap dengan kualifikasi
ekonomi, akuntansi, manajemen, hukum pidana dan perdata, ekonomi kejahatan (crime economics), dan lain-lain. Mereka
juga harus bisa menjalankan tugas spionase, seperti dilakukan KPK saat
mengungkap kasus korupsi kuota daging sapi, dengan menyadap telepon,
menongkrongi hotel, sampai menyusup penerbangan elite partai hingga ke Medan.
Tugas istimewa
Selanjutnya, tim elite pemburu pajak tersebut ditugasi
melacak para pembayar pajak terbesar, baik korporat terbesar maupun individu
terkaya. Pada awalnya bisa terfokus pada, misalnya, 20 perusahaan dan 20
konglomerat pembayar pajak terbesar. Jika sukses, itu bisa diperluas menjadi
100 pembayar pajak terbesar korporasi dan individu.
Namun, bisa juga tim tersebut ditugasi khusus untuk
kasus-kasus tertentu pada perusahaan-perusahaan dan individu-individu yang
dicurigai pemerintah melakukan kecurangan pembayaran pajak (tidak harus top 10
atau top 20).
Berikanlah kepada tim itu logistik yang baik, sebagaimana
yang kita lakukan terhadap KPK dan Densus 88. Logistik tersebut meliputi skema
remunerasi (gaji dan insentif ) yang kompetitif terhadap pasar tenaga kerja
para profesional serta biaya operasional yang memadai untuk mengusut
kasus-kasus yang istimewa. Logistik yang memadai itu akan bisa tertutup dari
tambahan penerimaan pajak yang akan dihasilkan tim tersebut.
Kalau tim itu lahir, bagaimana posisi Ditjen Pajak? Apakah
Ditjen Pajak harus dibubarkan? Tidak. Sebagai ilustrasi, dalam kasus Densus 88,
institusi Polri tidak bubar. Densus 88 tetap menjadi organ Polri, tetapi diberi
tugas khusus untuk kasus-kasus yang menonjol dan memerlukan penanganan spesial.
Tim elite pemburu pajak juga tetap berada di bawah koordinasi Ditjen Pajak.
Mereka diperlakukan khusus karena mengemban tugas khusus melawan para bandit
pengemplang pajak.
Sudah saatnya Kemenkeu berpikir membentuk tim elite untuk
penugasan khusus karena yang dihadapi adalah korporasi besar dan individu kaya
raya yang memiliki banyak muslihat canggih untuk mengakali pembayaran pajak.
Mereka ialah musuh dengan seribu muslihat, yang tidak mungkin dihadapi dengan
cara-cara konvensional. Diperlukan upaya ekstra untuk meredam mereka.
Tim elite pemburu pajak itu bersifat temporer, sampai kita
bisa menaikkan tax ratio menjadi,
misalnya, 16%. Sesudah mencapai level itu, jika memang masih diperlukan,
eksistensi tim itu bisa terus dilanjutkan, bahkan skalanya diperbesar. Sama
seperti KPK, kehadirannya bersifat `sementara', tetapi jika masih diperlukan,
tidak diketahui sampai kapan KPK akan terus hidup.
Saya yakin masih banyak orang baik di negeri ini, yang bisa
dipercaya mengemban tugas menjadi anggota tim elite pemburu pajak. Dengan cara
tersebut, tax ratio bisa didongkrak
menjadi 16%, bahkan syukur-syukur 20%. Pada saat itulah kita bisa memperkecil
utang pemerintah secara tajam sehingga tidak mewariskannya ke anak-cucu. Semoga
pemerintah dan DPR merespons wacana ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar