|
MEDIA
INDONESIA, 20 Mei 2013
ANGKA pada usia atau ketuaan
adalah keniscayaan, tetapi keterpakuan pada gagasan usanglah yang menakutkan.
Terlebih, jika gagasan usang dipaksakan pada kebijakan pendidikan publik,
generasi mendatang jelas sedang diancam bahaya.
Pada 16 Oktober 1996, saat capres Bob Dole dari Partai Republik
menantang kursi kepresidenan AS yang dipegang petahana Presiden Bill Clinton,
isu perbedaan usia menyeruak. Bob Dole yang merupakan veteran Perang Dunia II
berusia jauh di atas Presiden Clinton, yang berasal dari generasi Flower Power atau Daya Bunga. Media ramai mempertanyakan apakah Senator Dole tidak
terlalu tua untuk menjadi presiden. Namun, Presiden Clinton menegaskan, “I can only tell you that I don't think
Senator Dole is too old to be president. It's the age of his ideas that I
question.“ Keusangan gagasanlah yang harus dipertanyakan.
Gagasan usang
Pemaksaan gagasan usang dan tak sesuai itu juga yang kerap
menjadi akar kebanyakan masalah pendidikan nasional. Padahal, syarat kesesuaian
pendidikan dengan generasi anak sudah diingatkan, antara lain oleh Ali bin Abi
Thalib ra: “Didiklah anakmu sesuai dengan
zamannya.“
Dalam ucapan itu terkandung tiga pesan. Pesan pertama
mengingatkan bahwa penentu kebijakan pendidikan ha rus mampu merumuskan
kecakapan apa yang dibutuhkan di masa depan, agar dapat membekali para siswa
dengan kecakapan tersebut. Sebaliknya, hindari membekali siswa dengan kecakapan
basi yang tak relevan.
Oleh karenanya, menjadi aneh saat mendengar pendapat
pembelaan politisi pencetus UN, yang membandingkan soal 1950-an dengan soal
matematika 2000-an. Terlebih lagi saat dikatakan bahwa soal 1950-an lebih susah
jika dibandingkan dengan sekarang. Itu dua disiplin dan masa yang sangat
berbeda. Yang satu namanya berhitung, sedangkan yang sekarang bernama
matematika. Selain itu, di kehidupan tahun 1950 belum ada kalkulator, sedangkan
sekarang benda itu tersedia dan bahkan mungkin lebih murah dari harga sebungkus
nasi. Sebuah zaman, kata Friederich Schiller, tidak dapat dilihat dari
perspektif zaman lain.
Matematika kerap dimaknai keliru sebagai keilmuan yang
sudah tak berkembang lagi. Sekarang, kemampuan bermatematika dalam situasi
sehari-hari jauh lebih dicari ketimbang berhitung. Merepotkan siswa dengan
perhitungan ruwet nirmakna sudah bukan masanya.
Tampaknya, para pemaksa kebijakan UN ini berupaya memaksa
memutarbalikkan arah jarum jam pada siswa. Karena kecakapan basi semata yang
diujikan lewat ujian nasional, para siswa jadi menghar gai kecakapan berhitung
rutin dan berpikir tingkat rendah. Kebijakan sejenis ini telah merusak citra
matematika, yang sejati nya merupakan seni berpikir menjadi sekadar
keterampilan berhitung.
Pesan kedua menyatakan bahwa penentu kebijakan pendidikan
harus paham bagaimana cara siswa sekarang belajar. Perkembangan ilmu saraf
modern membantu memahami bagaimana siswa belajar. Siswa di SD kelas 1 sekarang
sampai mahasiswa tahun ke-2 di pendidikan tinggi termasuk generasi unik, yang
disebut Generasi Z. Mereka belajar dengan cara sangat berbeda dengan gurunya
apalagi dengan para penguasa pendidikan. Sudah sadarkah penentu kebijakan
pendidikan bahwa warga asli dunia digital ini lebih suka belajar dari mesin,
seperti video dan kegiatan interaktif, ketimbang dari manusia langsung?
Jika para guru dan juga orang tua kebanyakan sekarang lahir
saat dunia masih bergelimang dengan peralatan analog, seperti telepon kabel
tetap, piringan hitam, dan pita magnetik, para siswa sekarang justru lahir saat
gelombang di gital itu sedang terbit dan me rasuki kehidupan mereka.
Layaknya semua perubahan, gelombang digital berdampak baik
sekaligus buruk. Generasi ini dikatakan sulit konsentrasi dalam waktu yang
lama, enggan membaca buku, haus keberhasilan yang seketika, dsb. Namun, mereka
juga cerdas dan dikenal penggarap tugas banyak serta mengerjakan banyak hal secara
bersamaan.
Oleh karena itu, pertanyaannya adalah apakah pembuat kebijakan
pendidikan sudah mempertimbangkan ini?
Pesan ketiga mengatakan bahwa ketersediaan metode serta
teknologi mutakhir dalam dunia pendidikan harus dimanfaatkan secara optimum. Khususnya,
saat sekarang ini, permasalahan utama pendidikan adalah keterbatasan mutu serta
penyebaran guru di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Itu adalah
permasalahan abad ke-19 yang masih dihadapi bangsa ini sampai sekarang. Saat
dikan adala keterbatasan mutu serta penyebaran guru di daerah terpencil dan
sulit dijangkau. Itu adalah permasalahan abad ke-19 yang masih dihadapi bangsa
ini sampai sekarang. Saat menyimak usulan rencana sistem pelatihan tatap muka
untuk dapat melayani lebih dari 2,8 juta guru, termasuk di daerah-daerah sulit
dijamah pula, membuat dahi berkerut. Ditambah lagi, mana mungkin pelatihan
hanya sekali, katakanlah selama dua pekan, langsung dapat membuat guru cakap?
Tentu rumit.
Namun, jika permasalahan tersebut dikaji menggunakan
ketersediaan peralatan dan tek nologi mutakhir, sebenarnya sederhana dan
relatif mudah. Penerapan pelatihan nir dinding dan nirkabel akan mampu melayani
pengembangan profesi para guru di pelosok. Penggunaan ponsel dan ponsel cerdas
harus di manfaatkan dalam upaya pengembangan profesi para guru ini.
Kampanye Kurikulum 2013 lewat SMS sudah gencar dilakukan.
Mengapa tak memanfaatkan cara ini untuk melatih guru? Ketimbang uang pajak dan
keringat rakyat dihabiskan untuk kampanye politik seperti itu, mengapa tak
langsung saja melatih cara membelajarkan bahasa Indonesia, fisika, sejarah, dsb
lewat SMS?
Ini era digital baru!
Ini era digital baru!
Pendidikan 2.0
Dalam dunia teknologi informasi, Internet 2.0 ditandai
dengan keadaan saat masyarakat bukan lagi sebagai penyerap informasi pasif
belaka, tetapi juga sebagai sumber informasi. Jaring sosial semacam Facebook,
Twitter, Youtube, Slideshare, Wikis, dsb merupakan ilustrasi yang tepat atas
esensi Internet 2.0. Berbagai situs ini sebenarnya tak menguasai informasi,
tetapi penggunanya justru yang membagikan informasinya.
Analoginya, jika di Pendidikan 1.0 siswa menyerap
pengetahuan dari guru, di Pendidik an 2.0 siswa saling membagikan
pengetahuannya. Dengan ketersediaan jaringan internet, Pendidikan 2.0 ini sangat
cepat menjamur dan mewabah ke seluruh penjuru dunia.
Yang tadinya guru menentukan siapa siswanya, dalam Pendidikan
2.0 justru siswa menentukan ingin belajar dengan siapa gurunya. Ini seperti era
Yunani kuno dan tradisi pesantren. Di era Pendidikan 2.0, setiap warga dunia
maya dapat belajar dengan guru terbaik yang ada. Sangat jamak jika sekarang
warga yang tinggal di pelosok Kalimantan dapat belajar langsung dengan Prof
Sebastian Thrun yang pakar kecerdasan buatan atau Prof Keith Devlin yang pakar
matematika. Gratis. Sekarang, diperlukan
kolaborasi Balitbang Dikbud, Pustekkom, berbagai QITEP bersama Kemenkominfo
guna menyediakan layanan listrik dan internet untuk daerah terpencil agar
Pendidikan 2.0 dapat dinikmati setiap warga. Peran utama Kemendikbud adalah
pompa, bukan filter, bukan seperti kebijakan UN itu.
Di Pendidikan 2.0, siswa menentukan subjek apa dan kapan
dia mau mempelajari. Akibatnya, persekolahan formal bukan satu-satunya tempat
belajar lagi. Makhluk bernama kurikulum nasional untuk negara seluas Indonesia
menjadi suatu gagasan yang sangat tak relevan, jika tak mau dikatakan usang.
Dalam buku The New Digital Age
(Schmidt dan Cohen, 2013) difirmankan kurang-lebih sebuah berita gembira: `Siswa yang terpaksa berada dalam sistem
sekolah dengan kurikulum dangkal atau hanya mengajarkan kecakapan menghafal,
akan terselamatkan, karena sekarang akan memiliki peluang belajar di dunia maya
yang mendorong penjelajahan keingintahuan dan berpikir kritis.'
Segera perlu dikampanyekan gerakan agar tiap warga saling
menularkan virus hasrat membangun jaringan belajar mandiri. Mari berjuang dan
belajar dengan menjadi guru, murid, bahkan pelatih guru di Pendidikan 2.0.
Perjuangan tanpa penyorak ini sudah lahir. Tiap-tiap kita segera membangun
jaringan belajar, menjadi guru pejuang di Pendidikan 2.0. Masa depan Republik
di tangan kita, bukan Kurikulum 2013. Dengan berselancar di gelombang digital
baru, nyalakan gagasan kemerdekaan di benak setiap anak republik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar