|
Hari
Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei seyogianya menjadi
momentum ”kebangkitan Indonesia” yang sesungguhnya. Bangkit dari permasalahan
yang dihadapi negeri ini.
Tidak
perlu pesimistis menatap masa depan Indonesia. Sesungguhnya, masalah justru
dapat membuat kita lebih besar dan tangguh. Tanpa ingin mendikotomikan tua dan
muda, menyelesaikan masalah masa depan bangsa ini bergantung pada para pemuda.
Bung
Karno mengatakan, ”Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Pernyataan
ini lahir dari kesadaran pentingnya peran pemuda bagi bangsa Indonesia.
Kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang dianggap sebagai
momentum ”Kebangkitan Nasional” hadir atas prakarsa dan kesadaran para pemuda
(dipelopori mahasiswa STOVIA).
Keluarnya
para pemuda dari Boedi Oetomo beberapa tahun kemudian diduga akibat dominasi
keanggotaan kaum bangsawan dan pejabat kolonial. Itu merupakan pengalaman
berharga bahwa membangun Indonesia tidak bisa mengabaikan suara pemuda sebagai
agent of change dan pemimpin masa depan.
Pemuda
dalam angka
Pemuda
adalah penduduk Indonesia yang berusia 15-29 tahun (beberapa pihak menggunakan
kategori 16-30 tahun). Sensus Penduduk 2010 menunjukkan, jumlah pemuda di
Indonesia mencapai lebih dari 62 juta jiwa. Artinya, 1 dari 4 orang Indonesia
adalah pemuda. Komposisi jenis kelamin relatif berimbang antara laki-laki
(50,24 persen) dan perempuan (49,76 persen). Pemuda yang tinggal di perkotaan
sedikit lebih banyak dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan.
Salah
satu tantangan partisipasi pemuda dalam pembangunan adalah rendahnya tingkat
pendidikan mereka. Sakernas 2012 (BPS) menunjukkan, lebih dari 63 persen pemuda
hanya berpendidikan SLTP ke bawah. Sebaliknya, hanya 5,83 persen pemuda yang
memiliki kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Padahal, pendidikan merupakan
prasyarat penting agar para pemuda mampu berperan optimal dalam pembangunan.
Pendidikan
tidak hanya membuat pemuda mampu meningkatkan status diri dalam masyarakat,
melek huruf, dan membuat mereka lebih produktif, tetapi juga dapat membangun
sikap dan perilaku positif dalam peran di masyarakat. Sikap dan perilaku untuk
baik secara etika dan benar secara aturan.
Perempuan
dalam kategori pemuda menghadapi masalah cukup kompleks. Hampir 10 persen dari
mereka sudah menikah pada usia 15-19 tahun. Padahal, jumlah laki-laki di
kelompok usia yang sama hanya 1,40 persen. Belum lagi tingkat perceraian di
kelompok perempuan muda mencapai yang 1,75 persen, sedangkan laki-laki hanya
0,86 persen. Pernikahan di usia dini masih menjadi tantangan saat ini.
Sekitar
5,2 juta dari 36 juta pemuda yang masuk pasar kerja berstatus sebagai
pengangguran (14,35 persen). Padahal, kelompok pemuda ini memiliki energi besar
dalam bekerja. Potensi masalah sosial akan muncul manakala jumlah pengangguran
di kelompok pemuda sangat besar.
Energi
besar tetapi status menganggur dapat menyebabkan pemuda mengaktualisasikan
dirinya dalam kegiatan yang kurang tepat. Penyalahgunaan narkoba, radikalisme
yang berujung pada potensi terorisme, serta kriminalitas sebenarnya dapat
ditekan dengan menyalurkan energi para pemuda dalam kegiatan positif.
Dibutuhkan pembangunan kepemudaan yang terencana.
Membangkitkan
pemuda
Setiap
generasi ada masanya, dan setiap masa ada caranya. Generasi muda saat ini menghadapi
situasi berbeda dengan generasi orangtua mereka (generasi sebelumnya).
Population pressure telah menyebabkan tingginya persaingan untuk bisa survive
dalam kehidupan. Itulah tantangan nyata generasi saat ini. Namun, tampaknya
kesempatan pemuda untuk berpartisipasi memikirkan masa depan bangsa ini belum
banyak tercipta.
Mungkin
kita tidak terlalu asing dengan ungkapan ”Anda masih terlalu muda” atau
ungkapan yang cenderung menyalahkan sikap dan perilaku generasi muda saat ini.
Penggunaan bahasa ”negatif” tersebut justru dapat memicu apatisme generasi muda
untuk ikut memikirkan bangsa ini ke depan. Representasi generasi muda di setiap
aspek pengambilan keputusan harus dipahami sebagai kebutuhan mutlak dalam
pembangunan nasional.
Oleh
karena itu, pemuda harus disiapkan untuk berpartisipasi dalam mengatasi
persoalan saat ini serta ikut merencanakan pembangunan di masa mendatang. Bukan
dalam konteks partisipasi formalitas saja, tetapi juga partisipasi yang nyata.
Pemuda
dan politik
Potensi
bonus demografi akibat meningkatnya proporsi penduduk usia produktif Indonesia
dapat diraih dengan syarat jika pemuda yang ada di pasar kerja dapat
berpartisipasi dengan bekerja secara produktif. Partisipasi politik pemuda juga
sangat diperlukan. Maka, kinerja parpol harus lebih baik dan mengakomodasi
kebutuhan generasi muda. Lebih dari 30 juta pemilih pemula pada 2014 berusia
17-23 tahun. Kita berharap mereka menggunakan hak pilihnya.
Semboyan
”Bhinneka Tunggal Ika” yang memaknai persatuan dalam keberagaman menjadi salah
satu kunci untuk mempersatukan pemuda Indonesia. Tidak ada yang pernah bisa
”mohon” kepada Tuhan untuk terlahir sebagai anak Papua, Jawa, Batak, Minang,
Dayak, Bugis, dan sebagainya. Sebab, identitas yang melekat dari kelahiran
seseorang adalah sebuah takdir.
Demikian
pula lahirnya bangsa Indonesia dalam keberagaman adalah sebuah takdir yang
harus disadari para pemuda. Pemuda Indonesia harus bangkit, bersatu, dan
menyadari bahwa kebangkitan nasional membutuhkan kehadiran mereka dalam peran
yang nyata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar