“SBY akan
dinilai tidak konsisten dengan ucapannya yang sebelumnya dalam rapat
kabinet meminta jajarannya fokus mengurusi negara dan tidak mencurahkan
perhatian untuk kepentingan partai.”
KONGRES luar biasa (KLB) Par
tai Demokrat di Bali berakhir antiklimaks. Perseteruan antar faksi
memperebutkan kursi ketua umum pascaditinggalkan Anas Urbaningrum mulai
meredup setelah ada rapat di Cikeas sepekan sebelum KLB. Dalam rapat
tersebut, muncul kebulatan tekad para ketua dewan pimpinan daerah (DPD)
yang `meminta' Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar `turun gunung'
memimpin langsung apa yang disebut sebagai penyelamatan partai.
Dengan demikian, KLB hanyalah formalitas
dari kesepakatan Cikeas. KLB sudah selesai jauh sebelum perhelatan
resminya dimulai di Bali. Indikasi `kesediaan' SBY turun kelas menjadi
ketua umum ialah dari layanan pesan singkat (SMS) dia yang ditujukan
kepada Marzuki Alie sebagai teguran atas `manuver' mengumpulkan DPD dan
DPC di Jakarta sebelum KLB. Dalam SMS itu SBY mengatakan, “Sudah cukup
lama saya menahan diri. Sekarang tidak bisa lagi. Demi Partai Demokrat
yang kita cintai, saya akan mengambil segala risiko.“
Hal itu dipertegas dalam pidato
pertamanya pascadipilih secara aklamasi sebagai ketua umum. SBY
mengatakan, meski dengan risiko mempertaruhkan citra dan dikritik serta
digugat banyak kalangan karena bersedia menjadi ketua umum, dia rela
asalkan Partai Demokrat bisa selamat dalam menghadapi Pemilu 2014.
Perebutan menuju Demokrat-1 praktis berakhir sejak SBY menyatakan
kesediannya. Pertarungan penuh warna yang terjadi dalam kongres di
Bandung tidak terulang. Pada saat itu, terjadi empat jenis `perang' yang
dilakukan tiap kubu Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, dan Andi Malarangeng,
yakni perang citra, perang propaganda, perang survei, dan perang
memperebutkan restu SBY.
Kesediaan SBY dipilih sebagai ketua umum
ibarat sutradara film yang langsung turun gunung menjadi pemain.
Calon-calon ketua umum lainnya sudah pasti mundur secara teratur dari
gelanggang. Ruang kompetisi praktis tertutup bagi calon lain. Modal
sosial, historis, politis, dan elektoral antara SBY dan bakal calon yang
lain sangat tidak seimbang. SBY memiliki dua kapital yang tak tertandingi
oleh kader lainnya. Pertama, kapital kesejarahan. Bagaimanapun, Partai
Demokrat diinisiasi dan didirikan SBY. Kedua, kapital elektoral. Postur
Partai Demokrat yang menjelma sebagai pemenang pemilu pada 2009 tak bisa
dilepaskan dari peran SBY sebagai pengepul suara.
Krisis
Terbesar
Apa yang mendasari kesediaan SBY menerima
`pinangan' peserta KLB sebagai ketua umum? Harus diakui, saat ini Partai
Demokrat mengalami krisis terbesar dan terberat sejak didirikan pada 9
September 2001. Krisis tersebut bersumber pada tiga hal, yakni krisis
soliditas, krisis elektabilitas, dan krisis figur. Sejak dua tahun
terakhir, Partai Demokrat mengalami faksionalisasi tajam antarfaksi.
Manajemen konflik tak terkelola dengan baik. Strategi komunikasi publik
partai berantakan tak keruan. Tiaptiap elite mempertontonkan `aurat
politik' partai di depan publik. Ibarat pasangan yang berantem urusan
domestik, mereka melakukannya di depan teras rumah sambil teriakteriak ke
tetangga agar bertepuk tangan dan bersorak-sorai atas keributan yang
mereka bikin sendiri. Kontrol bencana (damage control) tak terkendali.
Akibat mengalami krisis soliditas, Partai
Demokrat limbung menghadapi efek Nazaruddin. Setiap faksi bernyanyi
sendiri tanpa irama. Muruah partai dipertaruhkan. Satu per satu elite
partai terkena efek Nazaruddin. Meski secara faktual, menurut data
Kementerian Dalam Negeri dan riset Indonesia
Corruption Watch (ICW), rekor korupsi Partai Demokrat masih kalah
jauh di bawah Golkar terutama bila dilihat dari sisi keterlibatan
kader-kader mereka, Demokrat di mata publik dipersepsi sebagai partai
paling korup. Data survei Lembaga Survei Indonesia menemukan, dalam dua
tahun terakhir, rata-rata 50% masyarakat menilai Demokrat ialah partai
yang paling banyak korupsinya.
Kesenjangan antara data faktual dan
persepsi itu dimungkinkan beberapa sebab. Pertama, dari segi teori peran
harapan (role expectation),
ekspektasi publik terhadap Demokrat dalam memberantas korupsi berbeda
jauh ketimbang terhadap Golkar. Jika Golkar melakukan korupsi,
`toleransi' publik mungkin lebih rendah karena Golkar sudah dianggap
terbiasa melakukan korupsi. Hal itu berbeda dengan Demokrat yang
berkoarkoar menjadikan antikorupsi sebagai selling point dalam kampanye
Pemilu 2009 lalu, tapi faktanya justru banyak elite partai tersebut yang
tersandung kasus korupsi.
Kedua, kasus-kasus korupsi yang mendera
Demokrat melibatkan banyak petinggi teras partai seperti Anas
Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Hartati
Murdaya. Hal itu berbeda dengan partai lain yang tingkat resonansi kasus
korupsinya lebih kecil karena hanya menyangkut kader-kader di tingkat
bawah sehingga tidak memiliki nilai berita yang besar. Karena kasus
korupsi yang melibatkan elite Demokrat memiliki nilai berita besar dan
posisi mereka sebagai the ruling party, tak mengherankan jika media
memberi porsi pemberitaan yang tinggi.
Akibatnya, bisa diduga, elektabilitas
Partai Demokrat terjun bebas hingga tinggal 8,3% menurut temuan Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC) pada Desember 2012. Meski Anas sudah mundur dari kursi ketua umum,
elektabilitas Demokrat belum menunjukkan tanda-tanda pulih kembali,
setidaknya menurut survei terakhir Lembaga Survei Indonesia. Tampaknya
publik menunggu hasil KLB di Bali dan langkah-langkah perbaikan yang
dilakukan Demokrat.
Jangankan kader selain SBY, bahkan SBY
sendiri pun belum tentu memberi jaminan mampu menyelamatkan Demokrat dari
krisis soliditas dan elektabilitas. Namun, setidaknya SBY merupakan kader
paling populer di mata publik sehingga masih bisa diharapkan mampu
menyelamatkan Demokrat dari tubir jurang. SBY juga masih didengar semua
kubu yang bertikai di internal Demokrat sehingga mampu menyamakan barisan
partai dalam menyambut Pemilu 2014 yang ada di depan mata.
Ekspresi
Keputusasaan
Dari sisi pragmatis dan jangka pendek,
pilihan terhadap SBY sebagai ketua umum memang memiliki rasionalisasi
yang kuat. Meski demikian, sulit dimungkiri, penempatan SBY sebagai ketua
umum merupakan ekspresi keputusasaan, rasa frustrasi, dan kepanikan luar
biasa di kalangan internal Demokrat dalam menghadapi badai soliditas dan
elektabilitas yang tak kunjung berlalu. Karena sadar opsi yang tersedia
makin menyempit, sedangkan pemilu sudah di ambang pintu, SBY yang
seharusnya fokus mengurusi negara akhirnya harus dipaksa turun kelas
menjadi part-timer ketua umum.
Selain itu, pemilihan SBY sebagai ketua
umum mengonfirmasi bahwa Demokrat mengalami krisis kaderisasi dan figur. Terbukti,
Demokrat mengalami kemampatan sistem reproduksi kepemimpinan sehingga
harus menarik-narik SBY terjun ke gelanggang secara langsung. Tanpa
sadar, Demokrat mengakui mereka gagal melahirkan `superstar' baru. Sudah
lebih satu dekade partai itu berdiri, tetapi masih juga bergantung pada
karisma personal dan magnet elektoral SBY.
Di atas segalanya, ada harga yang harus
dibayar mahal oleh SBY karena kesediaan menjadi ketua umum. SBY akan
dinilai tidak konsisten dengan ucapannya yang sebelumnya dalam rapat
kabinet meminta jajarannya fokus mengurusi negara dan tidak mencurahkan
perhatian untuk kepentingan partai. SBY akan dinilai menjilat air
ludahnya sendiri. Lagi pula fokus SBY untuk memberikan warisan terbaik di
akhir periode kepresidenan nanti akan terganggu oleh urusan kepartaian,
apalagi menjelang Pemilu 2014. Jika SBY dianggap kurang maksimal,
Demokrat juga akan terkena getahnya karena dianggap menjadi penyebab
kinerja pemerintah kurang positif.
Komitmen SBY untuk memimpin Demokrat hanya sampai
2015 tentu harus terus diawasi agar dalam jangka panjang Demokrat mampu
menerjemahkan personal appeal
SBY ke institutional appeal.
Pendekatan sentrifugal seharusnya diinisiasi SBY dengan cara memendarkan
kekuatan elektoral yang awalnya berpusat di tubuhnya menjadi kekuatan
institusi partai yang dia di rikan. SBY bisa memodifikasi hukum kekekalan
energi. Dalam ilmu alam, kekekalan energi tidaklah hilang, tapi hanya
berubah menjadi energi dalam bentuk lain. Ketika SBY menularkan kekuatan
elektoralnya kepada kader-kader yang lain, energinya tidaklah hilang,
tapi justru akan bertransformasi ke dalam energi-energi baru melalui
kekuatan institusional Partai Demokrat dan lahirnya magnet-magnet
elektoral baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar