LAGU anak Nenek Moyangku
Seorang Pelaut yang begitu melegenda untuk para orangtua yang lahir di
bawah 1970-an sudah jarang terdengar. Lagu yang bercerita tentang
kebanggaan anak-anak Indonesia sebagai anak bahari seolah tergerus oleh
deru modernisasi di bidang informasi dan teknologi. Anak-anak saat ini
sudah memandang enteng persoalan garis wilayah geografis Indonesia yang
memiliki luas lautan tak berhingga, sehingga kebanggaan akan wawasan
Nusantara sudah jarang terdengar.
Sungguh tak bisa dimengerti jika wilayah
Nusantara ini sebagian besarnya adalah lautan. Seharusnya Indonesia
memiliki armada angkatan laut yang besar dan hebat. Jika benar nenek
moyang orang Indonesia seorang pelaut, mengapa jumlah pelaut Indonesia
semakin hari semakin sedikit? Nelayan memang banyak, tapi pelaut pasti
sedikit. Nelayan melaut karena kondisi ekonomi, bukan karena keterampilan
melaut yang tinggi. Kalaupun ada yang melaut dengan kapal canggih, orang
Indonesia kebanyakan hanya menjadi ABK (anak buah kapal) alias kuli juga.
Terus, di mana para komodor kita setelah
Sam Ratulangi tiada? Jelas bahwa sistem pendidikan kita tak menyebabkan
anak-anak mencintai Indonesia karena letak geografisnya yang sebagian
besar adalah laut. Kecintaan terhadap laut seharusnya bukan hanya
cita-cita, melainkan karena panggilan, calling, atau beruf,
yang hanya bisa ditanamkan dalam proses belajar-mengajar di sekolah
berbasis kelautan. Pertanyaannya, ada berapa banyak sekolah kita yang
memiliki orientasi kelautan? Itu menjadi cukup bukti bahwa jangan-jangan
nenek moyang kita memang bukan seorang pelaut.
Padahal, laut seharusnya menjadi sumber
inspirasi mata ajar biologi, sains, matematika, dan bahasa yang tak
pernah habis untuk diungkap secara kata per kata. Berjalanlah ke Ternate
di Maluku Utara, betapa masyarakat punya kecerdasan dan kreativitas luar
biasa ketika memberi nama seekor ikan. Ada bubara, baronang, boki, dan
lain sebagainya. Beda dengan di Jawa, terutama di Betawi, nama ikan
menjadi miskin ide karena dinamai hanya dengan sebutan ikan ekor kuning
(karena ekornya kuning) atau ikan kembung (karena perut ikan tersebut
kembung?).
Saya membayangkan setiap daerah di
Indonesia punya kamus berjalan nama-nama ikan dalam bahasa dan logat
daerah, yang kekayaan biota lautnya dengan sendirinya akan memberikan
daya tarik luar biasa bagi setiap siswa untuk mencintai laut Indonesia. Belum
lagi nama-nama pantai seperti Sulamadaha, Bira, dan Lisawa yang pasti
kurang dikenal para siswa.
Anak-anak lebih mengenal Pantai Kuta,
Nusa Dua, dan Lovina yang semuanya berada di Bali. Pasti ada ribuan
cerita budaya di balik nama setiap pantai yang ada di seluruh Nusantara.
Sudahkah kita merekamnya?
Tidak
Membanggakan
Atau, mungkin nenek moyang kita seorang
petani? Profesi petani berbanding dengan profesi lainnya. Jika kita
tanyakan kepada para siswa, pasti jawaban mereka tak ada yang mau jadi
petani. Menjadi petani artinya bersiap untuk melarat seumur hidup karena
hasil panen selalu digerayangi para tengkulak dan pemodal besar yang
tujuannya adalah keun tungan sebanyak-banyaknya.
Banyak anak petani yang mampu kuliah ke
kota, ketika selesai, enggan meneruskan profesi orangtuanya sebagai
petani. Karena itu, tak mengherankan jika banyak orang desa yang
seharusnya bertani berhamburan menjadi penarik becak atau tukang ojek di
kota.
Jelas kedua profesi tadi, pelaut ataupun
nelayan, tak menyebabkan anak-anak kita bangga untuk menirunya.
Penyebabnya sederhana, menjadi pelaut atau petani bukan sesuatu yang
membanggakan karena selain tetap miskin, kedua profesi itu rentan dengan
segala bentuk ketidakberdayaan. Kita patut cemas dan miris karena baik pelaut
maupun petani kita hanya diingat ketika masa kampanye, tetapi dilupakan
dalam kurikulum kehidupan sesungguhnya. Sebagai bangsa yang memiliki
klaim negara kepulauan dan agraris sekaligus, sepertinya kita memang
harus mengelus dada karena otoritas pendidikan selama ini tak memiliki
visi untuk membangun tradisi agricultural
dan oceanology di sekolah
menengah secara dini.
Itulah makanya jika kita bertanya kepada
anak-anak kita di sekolah soal cita-cita mereka kelak, hampir dapat
dipastikan tak ada yang bercita-cita menjadi pelaut dan petani. Dalam
bayangan anak-anak kita, petani dan pelaut adalah penderitaan;
mencangkul, mendayung, kepanasan, kehujanan, dan ketika panen tiba
hasilnya tak dihargai secara semestinya.
Sistem pendidikan kita memang harus
mengubah 180 derajat visi dan misinya, terutama menyangkut keberpihakan
kepada potensi laut dan hutan kita yang seenaknya dijarah para tengkulak
kapitalisme industri. Sekolah menengah kejuruan (SMK) bidang kelautan dan
pertanian harus lebih banyak dibuat agar kecintaan anak-anak terhadap
lingkungan menguat.
Parnell (1966) mengingatkan,
jika sebagian ahli pendidikan mengatakan learning to know is most important; application can come later,
orientasi pendidikan kejuruan kita harus dapat mengembangkan sekolah yang
berorientasi kepada kebutuhan kerja yang sesuai dengan kondisi geografis
masyarakatnya. Artinya, para penggagas sekolah kejuruan harus meyakinkan
otoritas pendidikan bahwa learning
to do is most important; knowledge will somehow seep into the process.
Belajar dari pengalaman negara lain yang sukses
dengan kelautan dan pertanian, tentu harus ada komitmen dari otoritas
pendidikan untuk meletakkan kerangka dasar disiplin siswa dengan
keselarasan alam sebagai tempat anak-anak kita berpijak. Seperti pernah
ditulis Publilius Syrus, practice
is the best of all instructors. Pertanyaannya ialah kapan kita bisa
melihat anak-anak sekolah kejuruan atau mahasiswa melakukan praktik kerja
nyata di bawah terik matahari hamparan laut yang tak berujung, serta di
sawah dan ladang tempat ayah dan ibu pertiwi merawat dan membesarkan
mereka? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar