Rabu, 24 April 2013

Kritik Pedas demi Raih Popularitas


Kritik Pedas demi Raih Popularitas
Adi Prasetyo ; Ketua PGRI Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 23 April 2013


Silang-sengkarut penyelenggaraan ujian nasional (UN) tahun ini mewarnai pelaksanaan ujian akhir tahun pelajaran 2012/ 2013 untuk satuan SMA, SMK, dan Paket C. Keterlambatan distribusi naskah mengakibatkan penundaan pelaksanaan ujian di 11 provinsi wilayah tengah Indonesia.

Respons masyarakat terhadap masalah ini pun luar biasa. Dari yang menuntut penghapusan ujian nasional hingga Mendikbud M Nuh turun dari jabatan. Bagi mereka yang kontra dengan UN, kasus itu menjadi senjata ampuh untuk makin menunjukkan bahwa memang layak meniadakan ujian nasional.

Berpikir secara jernih, sejatinya penyelenggaraan ujian tahun ini menyertakan beberapa hal positif, guna meyakinkan publik bahwa kita masih memerlukan ujian tahap akhir tersebut. Publik hafal, menjelang pelaksanaan, selalu diwarnai kemunculan isu bocoran soal dan kunci jawaban. 

’’Paket bocoran’’ menjadi komoditas laris manis meskipun setelah dilakukan klarifikasi tidak satu pun dari paket bocoran itu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun tiap tahun selalu ada yang memercayai bocoran itu. Guna mengantisipasi kebocoran materi, pemerintah mencetak soal ujian nasional dalam 20 paket. Pencetakan tiap naskah soal menjadi satu dengan lembar jawab ujian nasional (LJUN), sehingga paket soal nomor 1 hanya bisa dikerjakan dengan menggunakan LJUN paket soal nomor 1 pula. 

Lembar jawab ujian nasional nomor 1 tak bisa dipakai mengerjakan paket soal nomor 5. Kalau ini dilakukan, bisa dipastikan hasilnya nol. Nomor paket soal yang tertulis pada LJUN pun memiliki barcode. Hal ini untuk mempersulit pengedaran bocoran kunci jawaban. 

Selain itu, pengamanan distribusi naskah; dari percetakan menuju kabupaten/ kota, sampai di titik simpan terakhir, di masing-masing subrayon, dilakukan ekstraketat. Secara teori, amat sulit membongkar amplop soal tanpa sepengetahuan panitia dan aparat keamanan.

Guna menghindari kongkalikong antarpeserta ujian, penempatan pengawas dalam satu subrayon dilakukan secara silang penuh. Lewat cara itu, peserta ujian dari satu sekolah diawasi guru dari sekolah berbeda, untuk memutus ikatan emosional antara anak dan guru.

Di sisi lain, peran perguruan tinggi makin ditingkatkan. Peran perguruan tinggi tak hanya pada wilayah SMA/ SMK tetapi juga masuk wilayah Paket C, dan satuan pendidikan SMP. Untuk SMA/ SMK, dan Paket C, keterlibatan perguruan tinggi yang direpresentasikan melalui pengawas satuan pendidikan, ditempatkan dari wilayah distribusi naskah, penyimpanan, pelaksanaan ujian hingga pengiriman LJUN ke lembaga korektor. Sementara untuk tingkat SMP, pelibatan peran perguruan tinggi masih terbatas pada distribusi naskah ke kabupaten/kota.

Tahapan Evaluasi

Realitasnya, beberapa upaya positif itu dinodai oleh penundaan ujian di 11 provinsi di luar Jawa, dan akhirnya tak bisa dimungkiri kondisi itu makin ’’mempersulit’’ keberlangsungan ujian nasional. Pada tingkat nasional, banyak komentar, baik dari perorangan, kelompok masyarakat, maupun anggota legislatif, bahkan ICW dan KPK yang juga  memberikan pernyataan.

Karena itu, pemerintah perlu secepatnya memberikan klarifikasi supaya masyarakat terang-benderang memahami duduk persoalan sesungguhnya. Penjelasan itu harus dimulai dari proses perencanaan UN, peran Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), siapa yang berwenang menyelenggarakan pelelangan pengadaan naskah dan bagaimana prosedurnya. 

Termasuk, menjelaskan kesepakatan antara pejabat pembuat komitmen (PPK) dan pihak penyedia barang/ jasa pengadaan naskah yang dituangkan dalam kontrak. Jika pemerintah cepat memberi klarifikasi ke publik dan juga secara transparan, publik bisa mengetahui pihak yang paling bertanggung jawab dan pihak yang wanprestasi.
Yang tidak kalah penting adalah tahapan evaluasi Selama ini komentar, pernyataan pakar dan anggota masyarakat bermunculan pada sekitar Februari, padahal pada bulan itu tahapan sudah sampai pada penetapan daftar nominasi tetap (DNT) dan pencetaan kartu peserta ujian. 

Regulasi mengenai UN, baik berupa peraturan menteri maupun prosedur operasi standar (POS) juga sudah terbit pada bulan  itu. Karena tahapan sudah berjalan cukup jauh, apa pun komentar dan kritik dari publik dan DPR, sangat menyulitkan jika pemerintah membatalkan.  Tak salah bila ada anggapan bahwa kemunculan komentar atau kritik pedas terhadap keberadaan UN berkesan hanya komoditas untuk meraih popularitas.

Seharusnya, komentar, pendapat, kritik, dan masukan terkait keberadaan UN dilakukan setahun sebelum pelaksanaan, sehingga ada waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mengaji, merevisi, dan menyempurnakan. Dengan waktu yang cukup itu pula pemerintah dapat memutuskan secara aspiratif perlu tidaknya menyelenggarakan ujian nasional. 

Seandainya pemerintah kemudian memutuskan tidak perlu menyelenggarakan ujian nasional maka bisa dibuat semacam kegiatan evaluasi yang lebih mengedepankan hak edukatif siswa dan hak profesional/pedagogik guru. Pelaksanaan UN untuk SMA dan sederajat pada tahun ini harus menjadi pelajaran berharga. Ke depan, perlu mencari format dan pola evaluasi  yang memiliki legalitas dan legitimasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar