"Korupsi
pada kalangan penegak hukum amat membahayakan kelangsungan negara hukum,
demokrasi, dan HAM"
SUDAH beberapa pekan ini media massa
Tanah Air mewartakan berbagai temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terkait penyitaan sejumlah harta kekayaan mantan Kepala Korps Lalu Lintas
(Korlantas) Polri Irjen Djoko Susilo. Publik terperangah, betapa harta
polisi berbintang tiga itu begitu berlimpah, terasa di luar kewajaran dan
kepatutan.
Menjadi kegeraman publik adalah kuatnya
dugaan bahwa berbagai harta itu diperoleh dari hasil korupsi, terutama
berkait pengadaan simulator SIM, yang kini tengah ditangani KPK. Belum
lagi terungkap bahwa perwira tinggi Polri itu memiliki setidak-tidaknya
tiga istri, dan KPK menyinyalir ketiganya dimanfaatkan guna menyembunyikan
harta itu, antara lain tanah yang superluas serta rumah dalam jumlah dan
nilai nominal mencengangkan.
Pertanyaannya adalah untuk hal
kepentingan pribadi seperti itukah kekuasaan dimanfaatkan oleh pejabat
penegak hukum? Mungkinkah, sebenarnya ada banyak penegak hukum lain,
entah di tubuh Polri ataupun penegak hukum lain, yang melakukan hal
serupa: menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan perut sendiri?
Tulisan ini membahas mengenai korupsi
pada tubuh penegak hukum dan implikasinya pada penegakan keadilan di
Tanah Air. Keterwujudan keadilan di mana pun negara tidak saja
mensyaratkan peraturan perundangan yang baik dan berkeadilan, namun juga
aparat penegak hukum yang baik.
Aparatur negara penegak hukum, entah
polisi, jaksa, hakim, atau hakim, tak saja harus menguasai hukum material
ataupun formal, namun juga harus mau dan mampu bertindak
profesional dalam menegakkan hukum. Ia tak boleh menyalahgunakan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi (personal
gain) berupa uang dan aneka fasiltas yang dapat memengaruhi dalam
ikhtiar menegakkan hukum.
Korupsi penegak hukum amat membahayakan
bagi kelangsungan negara hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Penegak
hukum yang korup akan membuka lebar jalan kejahatan. Angka kejahatan yang
seharusnya tereduksi serendah mungkin berganti menjadi tetap
tumbuh, bahkan menyubur, jauh dari ekspektasi paling minimal sekalipun.
Peredaran narkoba bahkan di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan
adalah contoh sederhana kejahatan yang tak mungkin tidak pastilah terjadi
karena ada korupsi di tubuh penegak hukum.
Tidak saja kejahatan akan menjadi subur,
penegak hukum yang korup juga menjadi sebab tak terpenuhi dan
terlanggarnya hak asasi manusia. Harian ini memberitakan betapa Heru
Kisbandono hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak menggunakan
kekuasaan untuk mengekstraksi terdakwa kasus korupsi APBD Grobogan demi
keuntungan diri dan hakim lain. Belum lagi kasus yang menjerat Wakil
Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejocahyono.
Pajak
Dampaknya amat katastropik. Korupsi tak
akan pernah menjadi sesuatu yang menakutkan di negeri ini. Proyeksi
teoretik bahwa pidana yang dijatuhkan akan menimbulkan efek jera, baik
bagi pelaku maupun pada masyarakat (bahwa korupsi itu tidak enak, karena
hukumannya begitu pahit) tak akan tercapai.
Alih-alih demikian, pelaku korupsi akan
berhitung bahwa crime does pay. Korupsi itu ternyata menguntungkan. Bagi
rakyat banyak, hitungan yang didapat tentu sebaliknya, terutama di
negeri dengan hak-hak dasar warga negara masih menjadi hal yang jauh dari
harapan. Uang negara hasil pajak yang seharusnya dianggarkan untuk
kesejahteraan sebanyak-banyaknya warga negara teralihkan ke kantong
segelintir pemegang aneka kuasa.
Rakyat yang adil dan makmur, pemerintahan
konstitusional dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia tak
akan tercapai jika penegak hukum menggunakan kekuasaan untuk kepentingan
pribadi. Profesionalisme penegak hukum menjadi pertanyaan besar kini,
namun di balik itu pula keteladanan pemimpin turut dipertanyakan.
Skeptisme publik amat sederhana: hal
seperti ini bukan berjalan tanpa pengetahuan pimpinan dan solidaritas
korps. Pastilah ada pembiaran, ada derajat ”kesetiakawanan” yang
terlibat. Menjadi pertanyaan pula bagaimana kinerja aneka komisi yang
memiliki kewenangan pengawasan terhadap aparat penegak hukum? Bekerjakah
mereka?
Di tengah kegalauan publik seperti itu
keberadaan KPK, institusi extraordinary untuk memberantas korupsi kian
menjadi tumpuan harapan manakala negara berada dalam keadaan darurat
korupsi seperti sekarang. Penulis berharap ke depan KPK makin menjadi
lembaga ad hoc dalam makna ”sementara”, dan bukan makna ”permanen
diadakan untuk tujuan tertentu”.
Tafsir cerdasnya, kelak pada suatu saat
akan tercapai cita-cita bahwa penegak hukum mampu menjalankan tugas
dan fungsi secara bersih dalam menangani aneka persoalan hukum, termasuk
perkara korupsi. Hal ini hanya bisa tercapai jika kalangan penegak hukum
dapat memastikan diri steril dari korupsi. Mampukah? Mereka, aparatur
negara penegak hukumlah, yang pertama-tama harus menjawab pertanyaan ini.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar