Baru sekali digelar di Arab
Saudi, pelaksanaan Islamic Solidarity Games dua kali berikutnya harus
tertunda. Pergelaran pertama di Arab Saudi berlangsung sukses dan tuan
rumah langsung merebut gelar juara umum. Indonesia hanya menduduki
peringkat ke-18 dari 50 negara peserta dengan merebut satu medali emas,
satu perak, dan dua perunggu.
Ajang empat tahunan kedua pesta
olahraga negara-negara Islam ini mestinya digelar pada 2009. Namun,
pelaksanaannya terpaksa ditunda karena Iran sebagai negara tuan rumah
tengah dilanda flu burung (H1N1). Sesuai jadwal, ajang ketiga Islamic
Solidarity Games (ISG) di Indonesia digelar pada Juni 2013. Namun,
lagi-lagi ditunda dan penundaannya berhubungan dengan kesiapan kita
sebagai tuan rumah.
Bicara soal kesiapan, dalam dua
ajang olahraga pada beberapa tahun terakhir ini, dua kali juga Indonesia
membuat persiapan seadanya. Ketika hendak menggelar SEA Games 2011,
Indonesia dihadapkan pada bermacam persoalan, baik kesiapan sarana dan
prasarana maupun kesiapan atlet.
Penyelesaian pembangunan
beberapa sarana—seperti kolam renang atau arena dayung dan beberapa arena
yang akan dipakai pada November 2011, baik di Jakarta maupun
Palembang—nyaris bersamaan dengan pembukaan pesta olahraga itu. Tidak
hanya itu, seusai pergelaran SEA Games, muncul persoalan baru, yakni
tidak terurusnya peralatan SEA Games yang sudah dibeli dengan uang pajak
tersebut.
SEA Games berjalan sukses dan
Indonesia meraih gelar juara umum, di tengah suasana Thailand yang saat
itu baru dilanda banjir cukup besar sehingga tidak dapat mempersiapkan
atletnya dengan cukup baik.
Jadi Tersangka
Kurang dari setahun SEA Games
digelar, Indonesia kembali harus melaksanakan Pekan Olahraga Nasional
(PON). Provinsi Riau sebagai tuan rumah PON juga selalu menyatakan siap
melaksanakannya. Akan tetapi, lagi-lagi kita dihadapkan pada kenyataan
bahwa kesiapan PON masih jauh dari memadai.
Ujung-ujungnya, Ketua Harian PB
PON yang juga Gubernur Riau Rusli Zainal ditetapkan menjadi tersangka
terkait dengan pembangunan arena menembak Riau pada 2012. Bahkan, sampai
saat ini stadion utama yang rencananya dijadikan sebagai tempat pembukaan
PON masih belum juga selesai.
Awalnya, pelaksanaan ISG akan
menggunakan sarana dan prasarana yang telah dipakai untuk PON 2012 di
Riau. Namun, lagi-lagi, akibat molornya penyelesaian beberapa arena
lomba—bahkan stadion utama yang akan dijadikan tempat pembukaan dan
penutupan—di Pekanbaru, ditambah pemblokiran anggaran Kementerian Pemuda
dan Olahraga, pemerintah akhirnya mengambil keputusan mengalihkan lokasi
ISG ke Jakarta.
Pemblokiran anggaran Kemenpora
berdampak pada persiapan atlet. Banyak pemusatan latihan tertunda atau,
kalaupun berjalan, tertatih-tatih karena kucuran dana yang seret. Berbeda
dengan pelaksanaan SEA Games yang pembukaan dan penutupannya dibiayai
sponsor, sumber dana ISG sepenuhnya dibiayai pemerintah.
Berharap sumbangan dana dari
sponsor merupakan keniscayaan dalam olahraga. Pada banyak ajang olahraga
internasional, dana dari sponsor justru menjadi sumber utama pembiayaan.
Pertanyaannya, mengapa sponsor kurang tertarik untuk membiayai ajang ini.
Negara Kaya
Diakui atau tidak, olahraga
adalah salah satu cara mempromosikan keberhasilan negara yang cukup
efektif. Pada ISG pertama di Arab Saudi, hampir seluruh negara kaya
minyak di kawasan Timur Tengah hadir pada ajang olahraga ini. Mestinya
Indonesia dapat ”menjual” apa pun bagi kontingen negara kaya tersebut.
Apalagi, Indonesia gencar
mempromosikan konsep Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia yang membutuhkan banyak dana, baik dari luar maupun
dari dalam negeri. Masalahnya, untuk mengelola persoalan dalam negeri
saja, semisal ISG, pemerintah belum mampu. Wajar jika pemilik modal di
luar negeri pun belum yakin terhadap keamanan dananya di Indonesia.
Menarik sponsor untuk olahraga
atau ”menjual” Indonesia tidak hanya memerlukan strategi penjualan,
tetapi juga kesiapan kita di dalam. Sayangnya, pembinaan olahraga di
Indonesia berjalan apa adanya seolah tanpa perencanaan. Kalaupun
perencanaan itu ada, kenyataan di lapangan jauh dari ideal.
Kecuali di beberapa cabang
olahraga, seperti bulu tangkis, atletik, dan angkat besi, kita tidak
memiliki kejuaraan berjenjang dan terjadwal di hampir semua cabang
olahraga. Bahkan, olahraga yang bisa dijual, seperti sepak bola, sekarang
pun kesulitan mendapatkan sponsor akibat perseteruan internal.
Sebelum dapat menarik sponsor,
pemerintah mestinya menjembatani kebutuhan dana pembinaan olahraga. Di
tengah kesulitan cabang olahraga mencari dana, rasanya mustahil kita
meraih prestasi membanggakan. Perlu kesadaran dan perhatian bersama untuk
dapat meraih prestasi itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar