Anda
mungkin pernah mendengar quote
ini: “Imagination is more important
than knowledge.” (Albert Einstein). Tapi, bagaimana manusia mendapatkan imajinasi?
Tengoklah betapa sulitnya bangsa ini menata hidupnya untuk masuk ke
tahapan berikutnya.
Semua asyik
dengan lamunan-lamunan riil masa lalunya. Ibarat penyakit, jenis dan
penyebabnya sudah berubah, sudah semakin sulit diatasi dengan obat-obatan
yang lama, tetapi kita masih saja menggunakan cara pikir lama dengan obatobatan
lama. Apa jadinya pasien yang terjangkit virus flu burung, namun hanya
diobatiobat-obatan yang biasa ditemui dipasar?
Ya, hanya
lamunan-lamunan masa lalu yang menjadi acuan bagi sebagian besar
perjalanan perubahan bangsa ini. Yang mendengarkan tidak sabaran,
terburu-buru menyimpulkan, bahkan terburuburu memvonis, mencari kambing
hitam, mengadili. Sebaliknya, yang mempunyai konsep bagus sekalipun,
gagal menceritakan gagasan-gagasan, konsep, atau strateginya. Apa yang
dipikirkan tidak sama dengan yang ditulis. Apa yang dikerjakan tidak sama
dengan apa yang ditulis.
Story Telling Stimulate Imagination
Berbagai
studi belakangan ini menemukan, ternyata story telling (cerita dongeng) sangat membentuk imajinasi
manusia. Kemampuan berimajinasi mempunyai pengaruh yang penting untuk
menyatukan suatu bangsa keluar dari kegelapan, dari penjara-penjara
persoalan pada masa lalu.
Dalam
perjalanan bangsa ini sudah sering kita saksikan orang-orang hebat yang
“kering”, padahal kita semua pernah bertemu guru-guru atau dosen-dosen
yang hebat. Yang membedakan mereka dengan lainnya adalah kemampuannya
bercerita. Namun, semakin hari semakin banyak kita temui orangorang yang
kesulitan mengungkapkan “isi pikiran” atau “apa maunya” dengan jelas.
Hal ini
tampak jelas dalam sosialisasi berbagai kebijakan-kebijakan baru. Apakah
itu kurikulum baru, pengurangan subsidi BBM, pemindahan warga dari
bantaran sungai, sampai pada penanganan masalah-masalah yang berawal dari
rendahnya kemampuan “menjelaskan”. Sebut saja tentang “amburadulnya”
pelaksanaan ujian nasional yang kalau dengan kepala dingin akan jelas
diketahui bukan melulu masalah di satu kementerian.
Ini masalah
sangat luas yang menyangkut rendahnya kemampuan birokrasi menangani
masalah-masalah baru. Masalah yang saling terkait mulai dari sistem
politik, administrasi keuangan negara, sampai sistem pengadaan (tender)
yang buruk dan penuh tipu muslihat. Semua pejabat publik hanya asyik
bicara dalam bahasa teknis yang kering. Bahasa yang tidak artikulatif,
tidak persuasif, bahkan tidak dipercaya masyarakat, mudah
diputarbalikkan.
Masyarakatnya
juga sama. Tak mampu menjelaskan rasa kesalnya selain dengan nada nyinyir
dalam kalimat-kalimat pendek. Masyarakat tidak puas membaca penanganan
aneka masalah, apakah itu penegakan hukum ataupun penanganan bencana.
Kita tidak puas mendengar penjelasan aparat birokrasi dan para pejabat
yang pintar-pintar, yang terkesan berbelit-belit.
Terhadap
setiap masalah makro, politik, penegakan hukum, korupsi, bencana alam
ataupun pendidikan kita menjadi lebih percaya ada logika para budayawan,
dalang, atau bahkan selebritas. Ada masalah trust, namun juga ada masalah kemampuan berkomunikasi yang amburadul.
Yang satu
pakai bahasa langit, bahkan bahasa yang logikanya tidak jelas, sedangkan
yang lainnya memakai bahasa preman. Apakah semua ini bukan cerminan dari
lemahnya kemampuan story telling,
atau lebih jauh, apakah ini cermin dari hilangnya sebuah generasi dari
cerita-cerita yang kaya dengan prinsip dan karakter?
Cerita-Cerita Bermoral
Lebih dari
itu, kalau kita dalami, ternyata sebagian besar cerita-cerita rakyat kita
lebih banyak memberikan nuansanuansa pelanggaran terhadap komitmen.
Tengoklah cerita bagaimana Dayang Sumbi membangunkan ayam jago agar tidak
dinikahi anaknya sendiri yang ia sudah janjikan. Tengoklah pula
cerita-cerita rakyat lainnya.
Yang satu
sudah tidak cocok dengan tuntutan zaman menyangkut soal orang tua yang
otoriter, yang lainnya soal pencuri ketimun yang ditangkap (padahal
koruptor besar malah dibebaskan atau dihukum ringan). Cerita-cerita
rakyat yang hidup adalah cerita yang membentuk karakter, dan tentu saja
membutuhkan kajian para budayawan serta ahli perubahan sosial untuk
mengkajinya.
Sudah barang
tentu karakter tak bisa ditanam dalam bentuk definisi, melainkan dalam
bentuk cerita. Cerita itu harus bisa disampaikan dalam bentuk mimik,
kata-kata, ucapan, seperti dalam sentra seni peran. Anakanak yang biasa
dididik dalam lingkungan yang demikian, menurut studi yang dilakukan di
Duke University, punya kecenderungan akan menjalani masa depan dengan
lebih bahagia.
Selanjutnya,
anak-anak yang bahagia dan terbiasa mendongeng itu, kelak pada masanya
akan menjadi pejabat-pejabat publik, guru, atau tokoh yang artikulatif,
pandai mengungkapkan isi hati dan pikirannya, pandai menulis, dan di
tangan merekalah perubahan akan menjadi realita yang mudah.
Beda benar
dengan sekarang, kaum berpendidikan justru begitu mudah memvonis,
nyinyir, dan merasa benar. Anehnya, dalam kesinisan itu dengan gagah dan
penuh kedunguan berani berujar, ”Namun,
kita harus tetap optimistis.” Logikanya bertabrakan dengan sinisme
yang diungkapkan.
Bahkan dalam
penyangkalan, selalu keluar kata, ”Kami
bukan antiperubahan” meski yang dilawan adalah perubahan. Masalahnya
sederhana saja, mereka tidak memiliki imajinasi yang baik untuk ”membaca”
dengan kacamata baru. Kesulitan ”melihat” terhadap ihwal yang ”belum
terlihat”.
Anak-anak
yang tak dibesarkan dalam story
telling yang baik kehilangan daya imajinasi di hari tuanya kendati
mereka berhasil meraih jabatan tertinggi atau bahkan gelar tertinggi
sekalipun. Mereka kehilangan nalar kebijaksanaan karena tak pernah
belajar ”melihat” dari perspektif yang berbeda. Mereka hanya mampu bicara
satu hal, satu arah, satu pikiran, satu kebenaran, yaitu dirinya sendiri.
Orang tua
bisa membantu anak-anaknya menemukan masa depan dengan mencarikan
dongeng-dongeng yang kaya perspektif, kaya imajinasi. Bila hal itu tak ditemui,
Anda bisa menyampaikan cerita yang berasal dari heroisme orang tua atau
keluarga dalam perjuangan kehidupan.
Yang jelas,
bangsa ini harus ditemukan kembali, diperkaya dengan imajinasi yang mampu
membangkitkan rasa bangga dan kehormatan sebagai manusia yang bermartabat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar