Kamis, 25 April 2013

Dua Wajah Janus Politik


Dua Wajah Janus Politik
Mohammad Nasih ;  Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Inisiator “Gerakan Indonesia Tanpa Politik Uang”
KORAN SINDO, 25 April 2013

  
Kata “politik” telah melahirkan dua persepsi yang berbeda. Seorang awam yang hidup dalam sebuah negara dengan situasi politik yang baik akan bepersepsi bahwa politik adalah segala daya upaya dengan menggunakan kekuasaan untuk mewujudkan kebaikan bersama. 

Negara di bawah kendali para politikus yang sedang berkuasa dipandang sebagai struktur yang bekerja untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Sedangkan orang awam yang hidup dalam situasi politik yang sebaliknya akan bepersepsi yang sebaliknya pula. Negara tak lain merupakan alat bagi para penguasanya untuk mengeksploitasi dan menindas rakyat. 

Lantas karena secara faktual kekuasaan politik sering diselewengkan, maka persepsi negatif tentang politik, seperti politik itu jahat, politik itu buruk, dan semacamnya semakin menguat dan menjadi lebih kuat dibandingkan persepsi positifnya. 

Kalangan ilmuwan politik yang objektif dan tepat menempatkan sudut pandang, dengan keluasan wawasan dan pengetahuan tentang politik, oleh karena itu, bisa memahami bahwa politik sejatinya memiliki dua wajah Janus, sebuah istilah yang muncul karena terinspirasi oleh figur salah satu dewa dalam mitologi Yunani kuno yang memiliki wajah ganda, tetapi dalam posisi yang berkebalikan. 

Dari sudut pandang itu, tampak bahwa secara faktual politik memang bisa menjadi sarana untuk memperjuangkan dan mewujudkan kebaikan bersama dengan skala yang besar dan luas karena berskala negara, tetapi juga sebaliknya; bisa menjadi alat untuk membuat kerusakan yang dahsyat tak terperikan. Wajah Janus politik yang mana yang akan tampak sangat ditentukan oleh para aktor politik yang sedang mendominasi. 

Di mana pun, kapan pun, dalam sistem politik apa pun, aktoraktor politik yang mendominasi itulah yang menentukan kebijakankebijakan politik yang bersifat mengikat seluruh warga negara. Jika mereka baik, maka negara akan menjadi sarana untuk melahirkan segala kebaikan. Begitu juga sebaliknya. Karena itu, sistem politik apa pun, baik monarki, aristokrasi, maupun demokrasi, memiliki potensi yang sama. 

Sebab, semua sistem politik tersebut telah menunjukkan prestasi dan kegagalan. Sistem politik yang demokratis pun bisa melahirkan pemimpin politik yang tidak kompeten, bahkan otoriter. Sistem demokrasi melahirkan pemimpin politik yang juga demokratis adalah sebuah ideal yang dalam praktiknya tidak selalu demikian. 

Bahkan para filsuf Yunani kuno tidak menyukai sistem politik demokrasi dan lebih memilih sistem aristokrasi, karena mereka berpandangan bahwa sistem politik demokrasi berpotensi lebih besar melahirkan politisi dengan kualitas medioker. Namun, dalam sejarah politik, kecenderungan kuat mereka terlihat sangat jelas dari konsep kepemimpinan yang mereka idealkan, yakni raja filosof (the philosopher king). 

Tentu tidak ada konsep raja dalam sistem demokrasi. Sistem demokrasi pada dasarnya tidak mengakomodasi keberadaan seseorang yang menjadi penguasa tunggal. Negaranegara demokratis yang sampai saat ini di dalamnya juga terdapat struktur kekuasaan yang diduduki oleh raja sesungguhnya adalah negara-negara yang sebelumnya menganut sistem monarki dan kemudian mengakomodasi sistem demokrasi karena desakan masyarakat terhadap pihak kerajaan, sehingga kemudian muncullah bentuk monarki baru yang disebut sebagai monarki konstitusional. 

Langkah Perbaikan 

Pada dasarnya politisi bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dalam negara hukum sekalipun mereka bisa melakukan apa saja sekehendak hati mereka, karena hukum sebuah negara tidak lain adalah produk politik. Jika mereka merasa tidak suka terhadap peraturan atau undang-undang tertentu, maka mereka bisa mengubahnya setiap saat mereka mau. Tentu saja melalui proses politik juga. 

Karena itu, agar politik tidak lagi menampakkan wajah Janus dan yang tampak hanyalah wajah yang baik, maka politik harus diisi oleh politisi yang baik. Jika politik dikuasai oleh orang-orang jahat, maka keadaan politik yang sebelumnya baik akan segera berubah. Sebab, peraturan yang baik bisa mereka ubah sewaktu-waktu mereka mau, sehingga politik akan menampilkan wajah buruk. 

Namun, untuk melahirkan politisi yang baik bukanlah perkara mudah. Dalam sistem politik demokrasi, pejabatpejabat publik yang ada dalam struktur-struktur negara sesungguhnya cerminan masyarakat. Sebab, merekalah yang memiliki kedaulatan untuk memilih dalam pemilu. Rakyatlah yang menentukan siapa yang mereka inginkan untuk menduduki posisi-posisi politik strategis tertentu. 

Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa jika rakyat buruk, maka mereka akan mendapatkan pemimpin yang seperti mereka juga. Jika rakyat suka disuap dengan praktik politik uang dalam pemilu, maka bisa dipastikan bahwa yang akan mendapatkan kekuasaan adalah mereka yang korup. Namun, tidak sebaliknya: rakyat baik belum tentu akan melahirkan pemimpin yang baik. 

Sebab, orang yang buruk bisa berkamuflase menjadi seolah- olah baik. Tidak sebaliknya: orang baik tidak akan mau dan tidak akan mungkin berkamuflase menjadi orang jahat. Dalam konteks ini, secara sederhana bisa dikatakan bahwa potensi keburukan dalam politik sesungguhnya lebih besar dibandingkan potensi terjadinya kebaikan. 

Sebab, niat busuk bisa disembunyikan, bahkan dikemas dengan kemasan yang baik yang saat ini marak dalam bentuk politik pencitraan. Untuk melakukan perbaikan, diperlukan orang-orang yang memiliki semangat profetik. Kelompok ini dituntut memiliki kegigihan dalam melakukan segala bentuk upaya perbaikan dalam masyarakat, sebagaimana para nabi yang hadir pada masyarakat yang rusak berat. 

Dalam situasi politik yang buruk, para nabi dan orangorang terpilih mengambil jalan kultural untuk mendidik masyarakat, sehingga mereka kemudian memiliki kesadaran yang cukup untuk menangkap semangat perbaikan. Pada awalnya mereka sangat minoritas, bahkan di antaranya sendirian. Lalu, karena kegigihan mereka memperkenalkan kebenaran dan kebaikan, mereka diikuti oleh banyak orang yang telahtercerahkan. 

Secara umum, itu tidak terjadi secara instan, tetapi membutuhkan waktu belasan, bahkan puluhan tahun. Kegigihan dan kesabaran itulah yang akan membawa hasil berupa perbaikan. Tidak sedikit pula di antara para nabi dan pejuang perbaikan itu mati, dibunuh oleh kaum mereka sendiri, karena dianggap menyalahi kebiasaan yang ada dalam masyarakat. 

Keburukan yang telah mentradisi biasanya dianggap sebagai kebenaran. Itulah risiko perjuangan, dan tentu saja semacam itu pula risiko perjuangan politik hingga saat ini. Mungkin tidak mati karena kehabisan darah dan kehilangan nyawa, tetapi terbunuh karena karakternya dimatikan oleh lawan-lawan politik yang menggunakan segala macam cara untuk menghentikan upaya perbaikan. 

Karena itulah, pribadi-pribadi politisi yang berani menanggung risiko (risk taker) dan selalu berpikir tentang keberhasilan perjuangan selalu dibutuhkan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar