Jumat, 26 April 2013

Di Ambang Batas Sekularisasi?


Di Ambang Batas Sekularisasi?
Pradana Boy ZTF ;  Kandidat doktor di National University of Singapore (NUS); Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
TEMPO.CO, 25 April 2013

  
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari konflik antara Eyang Subur dan artis Adi Bing Slamet, yang melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) belakangan ini? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat beragam. Dengan mengambil contoh kasus ini sebagai titik beranjak, tulisan ini akan mendiskusikan tentang sekularisasi masyarakat Islam di Indonesia dan mengaitkannya dengan dialektika antara sekularisasi dan gelombang Islamisasi di Indonesia, setidaknya dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir.

Tentu masih segar dalam ingatan, sebagian besar orang, terutama mereka yang terlibat dalam pengkajian dinamika Islam di negeri ini, bahwa pada 2005 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan sejumlah fatwa yang memicu kontroversi. Satu di antaranya yang paling kontroversial adalah pengharaman pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Sejumlah respons segera muncul, terutama dari kalangan intelektual muslim progresif. Budhy Munawar-Rachman kemudian merekam respons-respons tersebut, salah satunya dalam Argumen Islam untuk Sekularisme (2010). Nama-nama seperti Dawam Rahardjo, Ulil Abshar-Abdalla, dan Masdar Farid Mas’udi turut memberikan pandangan respons mereka atas fatwa itu.

Setelah kurang-lebih delapan tahun, ada baiknya kita uji kembali masa depan sekularisasi di Indonesia, dan sejauh mana fatwa MUI tersebut relevan. Pada dasarnya, fatwa itu lahir dari keinginan MUI untuk menyelamatkan umat Islam dari perang pemikiran (ghazwul fikri) yang belakangan secara gencar menyerang umat Islam. Sekularisme tentu saja merupakan salah satu bentuk dari perang pemikiran tersebut. Demikian dijelaskan MUI. Adalah benar, sebagai tindakan pencegahan, fatwa itu bisa dikategorikan sebagai dar’u al-mafasid (mencegah kerusakan). Namun apakah sudah demikian jauh tingkat sekularisasi di Indonesia, sehingga MUI perlu mengeluarkan fatwa pengharamannya?

Dari aspek teoretis, pengharaman sekularisme itu sebenarnya justru bertolak belakang dengan perkembangan teori sosial yang menyangkut tema sekularisasi belakangan ini. Mungkin gemanya kurang terdengar, tapi telah menjadi permakluman bersama di kalangan sosiolog agama bahwa teori sekularisasi sebenarnya di ambang kebangkrutan. Peter L. Berger, misalnya. Ia adalah seorang sosiolog agama pendukung teori sekularisasi yang pada dasawarsa 1960-an secara intensif meramaikan ramalan akan keterpinggiran peran agama dalam kehidupan masyarakat. Berger, bersama barisan pendukung teori sekularisasi, meyakini bahwa modernisasi akan mengarahkan ke sekularisasi.

Namun teori ini nyatanya tidak terbukti. Modernisasi memang berlangsung. Bahkan deru modernisasi itu kini merambah wilayah-wilayah yang paling privat dari dimensi kehidupan manusia. Tapi tidak selamanya modernisasi sejalan lurus dengan sekularisasi. Sebab, respons modernisasi juga telah mewujudkan diri dalam bentuk ledakan semangat beragama di ruang publik yang seolah tak terkendali. Maka di sinilah Berger (1996; 1997), lebih dari satu dasawarsa silam, mengakui bahwa teori sekularisasi ternyata salah.

Berger menulis, “Saya kira apa yang telah saya dan sebagian besar sosiolog agama tulis tentang sekularisasi adalah sebuah kesalahan. Argumen kami adalah modernisasi dan sekularisasi berjalan beriringan. Semakin modern, maka semakin banyak terjadi sekularisasi. Meskipun terdapat sejumlah bukti, saya kira teori ini secara mendasar salah. Sebagian besar dunia saat ini nyata-nyata tidaklah sekuler. Dunia sekarang ini sangat agamis.” Sosiolog lainnya, Rodney Stark (1999), bahkan secara metaforis mengatakan, “…tampaknya saatnya telah datang untuk membawa teori sekularisasi ke kuburan teori-teori yang salah, dan di sana kita bisikkan ‘rest in peace’…”

Teori ini mati karena tidak sejalan dengan realitas. Setidaknya pengalaman Indonesia bisa menjadi salah satu pembuktian. Jika menengok dinamika Islam pasca-Orde Baru saja, sepertinya bandul gerakan Islam lebih banyak mengarah kepada proses Islamisasi daripada sekularisasi. Misalnya, gerakan Islamisasi atau migrasi menuju aktivitas-aktivitas yang berlabel Islam atau syariah menjadi kecenderungan yang tidak bisa disembunyikan. Sebut saja praktek ekonomi (misalnya perbankan dan asuransi), politik, bahkan kesehatan (pengobatan), yang belakangan ini menjadi obyek Islamisasi. Dalam teori sosiologi, ekonomi, dan politik sering kali disebut sebagai institusi sekuler.

Di samping Islamisasi, pemisahan antara ruang privat dan publik dalam beragama pun semakin menipis. Maka dalam konteks seperti inilah bisa ditempatkan kenapa Majelis Ulama Indonesia mesti merasa terpanggil untuk bersusah-susah merespons aduan Adi Bing Slamet dan kemudian menindaklanjuti dengan meneliti rumah dan kamar Eyang Subur untuk membuktikan ada-tidaknya penyimpangan atas agama yang ia lakukan. Konflik di antara dua individu yang awalnya berdimensi privat, karena mengandung elemen keagamaan, maka ia kemudian menjadi bagian dari ruang publik. Ini membuktikan bahwa penetrasi agama dalam kehidupan masyarakat sedemikian tinggi, hingga batasan ruang privat dan publik, yang sesungguhnya menjadi salah satu ciri mendasar sekularisasi, telah kabur.

Memang di tengah situasi seperti ini terjadi dialektika yang terwujud dalam bentuk lahirnya kelompok-kelompok progresif-liberal yang berusaha melakukan rasionalisasi kehidupan beragama dengan misalnya mengampanyekan sekularisme dan sekularisasi sebagai alternatif. Namun dialektika itu tidak berjalan sebanding, setidaknya karena tiga alasan.

Pertama, alternatif yang diajukan oleh kelompok progresif-liberal kurang berhasil memperoleh dukungan publik Islam, sebagai akibat elitisme wacana yang dikembangkan. Inilah salah satu kritik yang diajukan oleh Kiai Husein Muhammad (2011), seorang kiai progresif asal Cirebon. Maka tidak mengherankan ketika wacana tandingan itu hanya populer di lingkaran yang sangat terbatas.

Kedua, sejalan dengan elitisme tadi, umumnya kelompok liberal-progresif berhenti pada level teoretis. Ini berbeda dengan pengusung gerakan Islamisasi yang secara agresif justru memanfaatkan pranata-pranata sekuler untuk media Islamisasi. Meskipun pada aspek ini, kelompok Islamis terjebak pada ambiguitas, tapi setidaknya gerakan mereka lebih nyata.

Ketiga, sejak awal gerakan sekularisasi di Indonesia memang bukan sekularisasi yang ekstrem. Nader Hashemi, intelektual muslim asal Iran, melabeli sekularisasi Indonesia sebagai “sekularisasi lunak” (soft secularism).

Jika demikian halnya, secara faktual, ketakutan terhadap sekularisasi di Indonesia adalah sesuatu yang terlalu berlebihan. Sejumlah contoh yang dikemukakan tersebut menjadi fakta tak terelakkan akan lahirnya ledakan agama di ruang publik di satu sisi, dan mengikis teori (dan praktek?) sekularisasi di Indonesia. Jika demikian, masihkah sekularisasi menjadi sesuatu yang ditakutkan, dan kemudian diharamkan? Apa yang mesti diharamkan, jika senyatanya ia sudah berada di ambang batas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar