Pelajaran apa yang bisa dipetik dari konflik antara
Eyang Subur dan artis Adi Bing Slamet, yang melibatkan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) belakangan ini? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat
beragam. Dengan mengambil contoh kasus ini sebagai titik beranjak,
tulisan ini akan mendiskusikan tentang sekularisasi masyarakat Islam di
Indonesia dan mengaitkannya dengan dialektika antara sekularisasi dan
gelombang Islamisasi di Indonesia, setidaknya dalam kurun waktu satu
dasawarsa terakhir.
Tentu masih segar dalam ingatan, sebagian besar
orang, terutama mereka yang terlibat dalam pengkajian dinamika Islam di
negeri ini, bahwa pada 2005 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan sejumlah
fatwa yang memicu kontroversi. Satu di antaranya yang paling
kontroversial adalah pengharaman pluralisme, liberalisme, dan
sekularisme. Sejumlah respons segera muncul, terutama dari kalangan
intelektual muslim progresif. Budhy Munawar-Rachman kemudian merekam
respons-respons tersebut, salah satunya dalam Argumen Islam untuk
Sekularisme (2010). Nama-nama seperti Dawam Rahardjo, Ulil
Abshar-Abdalla, dan Masdar Farid Mas’udi turut memberikan pandangan
respons mereka atas fatwa itu.
Setelah kurang-lebih delapan tahun, ada baiknya kita
uji kembali masa depan sekularisasi di Indonesia, dan sejauh mana fatwa
MUI tersebut relevan. Pada dasarnya, fatwa itu lahir dari keinginan MUI
untuk menyelamatkan umat Islam dari perang pemikiran (ghazwul
fikri) yang belakangan secara gencar menyerang umat Islam.
Sekularisme tentu saja merupakan salah satu bentuk dari perang pemikiran
tersebut. Demikian dijelaskan MUI. Adalah benar, sebagai tindakan
pencegahan, fatwa itu bisa dikategorikan sebagai dar’u al-mafasid (mencegah
kerusakan). Namun apakah sudah demikian jauh tingkat sekularisasi di
Indonesia, sehingga MUI perlu mengeluarkan fatwa pengharamannya?
Dari aspek teoretis, pengharaman sekularisme itu sebenarnya justru
bertolak belakang dengan perkembangan teori sosial yang menyangkut tema
sekularisasi belakangan ini. Mungkin gemanya kurang terdengar, tapi telah
menjadi permakluman bersama di kalangan sosiolog agama bahwa teori
sekularisasi sebenarnya di ambang kebangkrutan. Peter L. Berger,
misalnya. Ia adalah seorang sosiolog agama pendukung teori sekularisasi
yang pada dasawarsa 1960-an secara intensif meramaikan ramalan akan
keterpinggiran peran agama dalam kehidupan masyarakat. Berger, bersama
barisan pendukung teori sekularisasi, meyakini bahwa modernisasi akan
mengarahkan ke sekularisasi.
Namun teori ini nyatanya tidak terbukti. Modernisasi
memang berlangsung. Bahkan deru modernisasi itu kini merambah wilayah-wilayah
yang paling privat dari dimensi kehidupan manusia. Tapi tidak selamanya
modernisasi sejalan lurus dengan sekularisasi. Sebab, respons modernisasi
juga telah mewujudkan diri dalam bentuk ledakan semangat beragama di
ruang publik yang seolah tak terkendali. Maka di sinilah Berger (1996;
1997), lebih dari satu dasawarsa silam, mengakui bahwa teori sekularisasi
ternyata salah.
Berger menulis, “Saya
kira apa yang telah saya dan sebagian besar sosiolog agama tulis tentang
sekularisasi adalah sebuah kesalahan. Argumen kami adalah modernisasi dan
sekularisasi berjalan beriringan. Semakin modern, maka semakin banyak
terjadi sekularisasi. Meskipun terdapat sejumlah bukti, saya kira teori
ini secara mendasar salah. Sebagian besar dunia saat ini nyata-nyata
tidaklah sekuler. Dunia sekarang ini sangat agamis.” Sosiolog
lainnya, Rodney Stark (1999), bahkan secara metaforis mengatakan, “…tampaknya saatnya telah datang untuk
membawa teori sekularisasi ke kuburan teori-teori yang salah, dan di sana
kita bisikkan ‘rest in
peace’…”
Teori ini mati karena tidak sejalan dengan realitas. Setidaknya
pengalaman Indonesia bisa menjadi salah satu pembuktian. Jika menengok
dinamika Islam pasca-Orde Baru saja, sepertinya bandul gerakan Islam
lebih banyak mengarah kepada proses Islamisasi daripada sekularisasi.
Misalnya, gerakan Islamisasi atau migrasi menuju aktivitas-aktivitas yang
berlabel Islam atau syariah menjadi kecenderungan yang tidak bisa
disembunyikan. Sebut saja praktek ekonomi (misalnya perbankan dan
asuransi), politik, bahkan kesehatan (pengobatan), yang belakangan ini
menjadi obyek Islamisasi. Dalam teori sosiologi, ekonomi, dan politik
sering kali disebut sebagai institusi sekuler.
Di samping Islamisasi, pemisahan antara ruang privat
dan publik dalam beragama pun semakin menipis. Maka dalam konteks seperti
inilah bisa ditempatkan kenapa Majelis Ulama Indonesia mesti merasa
terpanggil untuk bersusah-susah merespons aduan Adi Bing Slamet dan
kemudian menindaklanjuti dengan meneliti rumah dan kamar Eyang Subur untuk
membuktikan ada-tidaknya penyimpangan atas agama yang ia lakukan. Konflik
di antara dua individu yang awalnya berdimensi privat, karena mengandung
elemen keagamaan, maka ia kemudian menjadi bagian dari ruang publik. Ini
membuktikan bahwa penetrasi agama dalam kehidupan masyarakat sedemikian
tinggi, hingga batasan ruang privat dan publik, yang sesungguhnya menjadi
salah satu ciri mendasar sekularisasi, telah kabur.
Memang di tengah situasi seperti ini terjadi
dialektika yang terwujud dalam bentuk lahirnya kelompok-kelompok
progresif-liberal yang berusaha melakukan rasionalisasi kehidupan
beragama dengan misalnya mengampanyekan sekularisme dan sekularisasi
sebagai alternatif. Namun dialektika itu tidak berjalan sebanding,
setidaknya karena tiga alasan.
Pertama, alternatif yang diajukan oleh kelompok
progresif-liberal kurang berhasil memperoleh dukungan publik Islam,
sebagai akibat elitisme wacana yang dikembangkan. Inilah salah satu
kritik yang diajukan oleh Kiai Husein Muhammad (2011), seorang kiai
progresif asal Cirebon. Maka tidak mengherankan ketika wacana tandingan
itu hanya populer di lingkaran yang sangat terbatas.
Kedua, sejalan dengan elitisme tadi, umumnya kelompok liberal-progresif
berhenti pada level teoretis. Ini berbeda dengan pengusung gerakan
Islamisasi yang secara agresif justru memanfaatkan pranata-pranata
sekuler untuk media Islamisasi. Meskipun pada aspek ini, kelompok Islamis
terjebak pada ambiguitas, tapi setidaknya gerakan mereka lebih nyata.
Ketiga, sejak awal gerakan sekularisasi di Indonesia
memang bukan sekularisasi yang ekstrem. Nader Hashemi, intelektual muslim
asal Iran, melabeli sekularisasi Indonesia sebagai “sekularisasi lunak” (soft
secularism).
Jika demikian halnya, secara faktual, ketakutan
terhadap sekularisasi di Indonesia adalah sesuatu yang terlalu
berlebihan. Sejumlah contoh yang dikemukakan tersebut menjadi fakta tak
terelakkan akan lahirnya ledakan agama di ruang publik di satu sisi, dan
mengikis teori (dan praktek?) sekularisasi di Indonesia. Jika demikian,
masihkah sekularisasi menjadi sesuatu yang ditakutkan, dan kemudian
diharamkan? Apa yang mesti diharamkan, jika senyatanya ia sudah berada di
ambang batas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar