Kerja Jero Wacik sebagai Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat
dan siapa pun dari tim inti yang terlibat dalam pelaksanaan kongres luar
biasa partai tersebut di Denpasar, Bali, memang luar biasa. Kongres
berlangsung cepat dan tanpa gaduh. Ini menunjukkan tingkat lobi yang
efisien dan mumpuni.
Namun, sebagai analis politik, saya tetap lebih suka jika bukan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dipilih sebagai Ketua Umum Partai
Demokrat (PD). Selain untuk memberi contoh kepada bangsa ini bahwa
kesetiaan pada partai berakhir ketika seseorang menjadi presiden, juga
agar para kader partai belajar sendiri menyelesaikan konflik.
Dengan demikian, konsolidasi partai akan berjalan secara lebih
alamiah dan para kader bisa lebih memahami niat baik SBY untuk
mengajarkan kepada mereka bahwa dalam ranah politik sejatinya berlaku
adagium nobody is indispensable (tak seorang pun yang tak tergantikan).
Di sini, politik bukanlah semata-mata kontestasi kekuasaan, melainkan
juga keikhlasan untuk mundur dari panggung. Saya khawatir para kader
tidak menangkap pesan SBY itu.
Terlalu Manis
Mencermati dinamika menjelang kongres luar biasa (KLB) dan hasil
akhirnya, saya berkesimpulan bahwa dalam hal kaderisasi dan rekrutmen
kepemimpinan ternyata selama ini belum tumbuh daun-daun harapan di tubuh
PD. Antar-aliran sungai budaya politik di tubuh partai, misalnya aliran
Anas Urbaningrum dan Cikeas, masih terbelah. Hanya ada satu ”sodetan”
besar yang menghubungkan kedua aliran tersebut dan sekaligus menjadi
katup pengaman, yaitu SBY.
Dalam konstruksi politik seperti itu, hasil KLB tampak terlalu
manis untuk sebuah konsolidasi internal di PD. Ini disebabkan SBY menjadi
faktor dominan, jika tidak boleh disebut tunggal, dalam menutup semua
pembelahan yang ada di tubuh partai.
Akan tetapi, daya rekat politik yang bergantung pada satu figur
tersebut sebenarnya berbahaya bagi kelangsungan hidup partai. Apa yang
tampak terlalu manis di permukaan bisa jadi di dalamnya adalah semu dan
fakta pahit, yaitu keretakan yang melembaga. Lebih buruk lagi jika ada
kubu yang diam-diam memainkan orkes sakit hati.
Mereka memang tampak manis, gembira, bergoyang, dan menyelaraskan
alunan musik seperti dimainkan pimpinan partai. Namun, kalau didalami,
kesadaran politik mereka sebenarnya tak lebih dari sekadar memperebutkan
kekuasaan, termasuk di dalam partai sendiri. Dengan kesabaran tinggi,
mereka menutupi kekecewaan (apa pun sebabnya) dan menunggu saat yang
tepat untuk mengambil alih kendali partai. Dalam perspektif politik,
fenomena KLB yang terlalu manis harus dimaknai dalam kerangka tersebut.
Sodetan Baru
Sehubungan dengan hal tersebut, tugas utama Syarifuddin Hasan,
Marzuki Alie, dan EE Mangindaan, yang masing-masing ditunjuk sebagai
Ketua Harian DPP, Wakil Ketua Majelis Tinggi, dan Ketua Harian Dewan
Pembina, bukanlah sekadar memutar roda partai guna menghadapi Pemilu
2014. Lebih penting dari itu, mereka harus menjadi ”sodetan-sodetan lain”
sehingga orkes sakit hati berhenti dan aliran sungai budaya politik yang
ada di partai tidak berubah menjadi ganas manakala SBY mengundurkan diri
dari ketua umum.
Kalau soal pemilu, mereka juga tahu bahwa secara prediktif
perolehan suara PD nanti, sesuai hasil jajak pendapat beberapa lembaga,
adalah merosot. Ini berkaitan dengan sejarah politik Indonesia yang
menempatkan figur lebih penting daripada partai. Pamor SBY tidak kuat
lagi mengerek elektabilitas PD karena banyak unsur pimpinannya terlibat
korupsi.
Kecuali, tentu saja, muncul figur baru yang tak terduga, segar, dan
menjadi mimpi bersama seperti SBY dulu. Pendeknya, pemilu legislatif
tahun depan memang bukan milik PD. Namun, mereka akan tetap memainkan
peran penting, bahkan menentukan, apabila mampu menggalang koalisi dan
mengusung tokoh prospektif sebagai calon presiden.
Jika para pemegang kewenangan di PD tidak menyadari fenomena
tersebut, berarti mereka telah dimanipulasi oleh virus orkes sakit hati.
Mereka ikut bergembira, bergoyang sambil menyanyikan lagu konsolidasi,
dan merasa siap menghadapi Pemilu 2014. Padahal, tidak satu bata pun yang
mereka letakkan untuk mendirikan katedral (baca: melakukan konsolidasi
internal). Akibatnya, tidak tumbuh daun-daun harapan yang menaungi
”katedral” tersebut.
Seribu Sodetan
Tanpa tumbuhnya daun-daun harapan yang dikader secara sistematis,
tidak tertutup kemungkinan PD akan dilanda konflik internal menjelang
masa jabatan SBY sebagai ketua umum berakhir. Untuk menghindari hal
tersebut, kaderisasi efektif dan rekrutmen kepemimpinan yang baik dalam
dua tahun ke depan adalah kuncinya.
Sebagai daun-daun harapan, kader-kader yang baik bukan saja bisa
menjadi seribu ”sodetan” yang menyatukan kekuatan aliran sungai budaya
politik di tubuh partai, melainkan juga pasukan yang mampu melawan
politisi lain. Saya memprediksi, pada Pemilu 2014, PD akan bersaing ketat
melawan Partai Gerindra dan Hanura. Mereka juga akan berebut partai koalisi
agar bisa mengusung calon presiden sendiri. Selebihnya, biarlah sejarah
yang mencatat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar