Salah
satu wacana yang secara konsisten digelontorkan oleh Gubernur DKI
Jakarta, Jokowi, sejak pertama kali diberi mandat untuk memimpin Jakarta
adalah bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility
(CSR) dapat menyumbang pada pembangunan di Ibu Kota.
Tempo
baik versi online maupun cetak adalah
salah satu media massa yang terus memberitakan mengenai hal ini. Pada
Februari lalu, Tempo melaporkan bahwa sang Gubernur telah mendapatkan
bantuan perusahaan untuk penataan pedagang kaki lima (14/2), menjanjikan
kemudahan perizinan perusahaan yang ber-CSR (15/2), menyelesaikan seluruh
kebutuhan penghuni Rusun Marunda lewat bantuan perusahaan (21/2), serta
mendapatkan bantuan teknologi untuk memanen air hujan (27/2).
Pada
Maret lalu, berita soal ini dimulai dengan imbauan kepada perusahaan
untuk membeli lahan di hulu sungai untuk kemudian dihijaukan (4/3),
disusul oleh bantuan dari sebuah perusahaan kesehatan untuk membiayai
sistem peningkatan kesehatan (15/3), wacana mengenai pembiayaan
perusahaan untuk lelang jabatan di lingkup pemerintah daerah DKI (21/3),
kehendak untuk mencari bantuan perusahaan guna mendukung transportasi dan
konsumsi calon jemaah haji DKI (26/3), imbauan agar perusahaan yang
relatif dekat dengan wilayah rawan kebakaran bisa menyumbangkan sumber
dayanya untuk peningkatan layanan pemadam kebakaran (29/3), dan yang
terakhir adalah pernyataan Jokowi bahwa CSR adalah kewajiban menurut
regulasi dan harapan agar perusahaan di Jakarta memanfaatkannya untuk
mendukung pembangunan (29/3).
Ada
banyak hal yang sangat menarik dari berita-berita tersebut. Walaupun
Jokowi tak pernah secara tegas menyatakan bagaimana pemahamannya soal
CSR, berbagai ujaran dan langkah yang diambilnya menunjukkan bahwa ia
sangat berbeda sikap terhadap CSR dibandingkan dengan kebanyakan
politikus dan pemimpin daerah lain. Meski demikian, sikap Jokowi terhadap
CSR juga bukannya tanpa celah untuk dikritik.
Beberapa
hal yang dapat dinyatakan sebagai keunggulan Jokowi terkait CSR adalah
sebagai berikut. Pertama, Jokowi tidak menentukan besaran sumber daya
finansial perusahaan yang dipergunakan untuk ber-CSR sebagai proporsi
atas keuntungan atau penjualan. Hal ini sangat berbeda dengan kebanyakan
politikus di tingkat nasional maupun lokal yang terus-menerus
menginginkan adanya aturan besaran "dana CSR" dari keuntungan
perusahaan. Padahal seluruh pakar CSR telah sepakat sejak dulu bahwa
sumber daya finansial untuk ber-CSR tak bisa dihitung dari keuntungan
perusahaan, melainkan harus dihitung sebagai bagian dari investasi (Kang
dan Wood, 1995).
Kedua,
Jokowi juga tak pernah menyatakan hendak memasukkan dana CSR sebagai
bagian dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sedangkan
sebagian besar pemimpin daerah yang melihat potensi sumber daya
perusahaan ini cenderung memaksakan perpindahannya ke dalam kas daerah.
Apa yang dilakukan oleh kebanyakan kepala daerah itu sesungguhnya
bertentangan dengan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang bersifat
eksklusif, melarang pemungutan apa pun yang tidak ada di dalam UU
tersebut. Juga, UU Perseroan Terbatas serta PP Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (TJSL) menegaskan bahwa tanggung jawab tersebut sepenuhnya
berada di tangan perusahaan, sehingga sumber dayanya tak bisa diserahkan
kepada pihak lain.
Ketiga,
terdapat kesesuaian antara bisnis inti perusahaan dan apa yang mereka
lakukan untuk membantu pemerintah daerah serta masyarakat DKI. Dalam
membereskan masalah kampung kumuh dan Rusun Marunda, Jokowi terutama
menggandeng perusahaan properti. Sedangkan dalam program perbaikan sistem
kesehatan, perusahaan di bidang kesehatan-lah yang diajak. Menurut banyak
pakar, kesesuaian dengan bisnis inti adalah salah satu komponen pokok
dalam bentuk CSR yang strategis (Werther
dan Chandler, 2010; Sirsly dan Lamertz, 2008).
Keempat,
perspektif geografis ditegaskan oleh Jokowi sebagai unsur yang penting
dalam ber-CSR. Dalam kasus penanganan kebakaran, imbauan ditujukan kepada
perusahaan yang beroperasi di wilayah yang relatif dekat dengan wilayah
rawan kebakaran. Di sisi lain, perspektif yang lebih luas digunakan
ketika mengimbau perusahaan untuk membeli lahan di daerah tangkapan air
untuk dihijaukan. Kedua hal ini menunjukkan pemahaman yang sangat baik
terhadap bagaimana kaitan antara ruang dan penyelesaian masalah
keberlanjutan (Whitehead, 2007).
Kelima,
Jokowi juga menunjukkan hal yang tak pernah ditunjukkan oleh pemimpin
daerah mana pun, yaitu penyataan bahwa perusahaan yang ber-CSR akan
diberikan insentif berupa kemudahan perizinan. Hal ini tidak hanya
sejalan dengan PP TJSL, tapi juga menunjukkan pemahaman atas sisi lain
dari tanggung jawab, yaitu hak, sebagaimana tergambar dalam konsep corporate citizenship (Matten dan Crane, 2003). Sementara
itu, di banyak tempat, perusahaan mengeluhkan bahwa, ketika mereka sudah
menjalankan seluruh tanggung jawabnya, hak-hak mereka tetap saja tidak
dipenuhi oleh pemerintah daerah.
Meski
demikian, Jokowi serta jajaran di bawahnya masih perlu membenahi beberapa
hal. Bagaimanapun, Jokowi masih terlalu kerap mereduksi CSR sebagai
sekadar dana perusahaan, padahal seharusnya ia bisa mendorong perusahaan
di Jakarta untuk menjalankan tanggung jawab penuh atas dampak?positif dan
negatif?yang mereka timbulkan, sebagaimana pengertian CSR yang
sebenarnya. Dengan setengah bercanda Jokowi juga kerap melontarkan
kebutuhan untuk pelaksanaan kegiatan CSR secara cepat, padahal terdapat
aturan untuk memasukkan detail kegiatan dan anggaran dalam rencana kerja
dan anggaran tahunan perusahaan.
Kalau memang hendak memanfaatkan CSR secara optimal untuk
pembangunan Jakarta, Jokowi sebaiknya membuat forum perencanaan
pembangunan yang melibatkan seluruh perusahaan yang beroperasi di
Jakarta. Melalui forum itu, Jokowi bisa memaparkan seluruh kebutuhan
pembangunan di Jakarta, termasuk yang bisa dilakukan oleh perusahaan.
Sebaiknya paparan itu dilakukan sekitar bulan Agustus atau September,
sehingga perusahaan kemudian bisa memasukkan kegiatan dan sumber daya
yang dibutuhkannya untuk tahun mendatang. Dengan demikian, kontribusi
perusahaan bisa optimal, dan tertib administrasi bisa ditegakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar