Majunya
artis—atau selebritas––sebagai calon legislatif menunjukkan partai politik
gagal membina kader-kadernya dan sukses mengambil jalan pintas
mengabaikan kader-kadernya.
Para artis
yang sebenarnya paspasan— pas sepi job datang tawaran untuk manggung––
dianggap masih lebih menguntungkan memasang dibandingkan kadernya yang
setia. Arti yang lain, pendekatan transaksional dianggap lebih rasional.
Setia pada hasil instan dan bukan pada proses. Seolah dengan
mempekerjakan artis, semua urusan beres.
Peran Media
Akan halnya
para artis, atau juga pesohor, dikenal atau populer di masyarakat karena
peran media massa. Memang tak bisa tidak, pekerjaan atau kariernya
berkaitan dengan mekanisme kerja media massa. Baik karena prestasinya
maupun karena ulahnya—kawin, lalu cerai, lalu kawin lagi, rebutan harta
gono-gini, termasuk mendurhaka kepada orang tua, atau menikahi janda
kaya— bisa menjadi berita karena dalam media massa menyediakan ruang
untuk itu.
Eyang Subur
atau Djoko Susilo yang irjen sekarang ini juga termasuk pesohor—bahkan
istri-istrinya pun layak menjadi sumber berita karena ada masyarakat yang
menonton dan setia. Mereka inilah yang digambarkan Ortega Y Gasset,
penulis naskah drama yang dikenal sebagai ahli komunikasi, sebagai
masyarakat urban yang masih kental suasana asal. Di desa mereka mendengar
dan mencari gosip kepala desa yang memasang gigi emas atau membeli kerbau
baru.
Di kota yang
didengar adalah tetangga terdekat yang bernama tokoh yang ada di
televisi. Klop sudah antara kebutuhan dan pemenuhan. Pasar pun tercipta
dengan sendirinya dan sebagai pasar dadakan di tengah jalan kadang memang
mengganggu. Yang mengganggu sebenarnya karena batasan antara prestasi
atau pencapaian dan popularitas menjadi kabur. Sama kaburnya maju sebagai
calon eksekutif atau calon legislatif. Yang penting maju dulu dan siapa
tahu berhasil.
Begitulah
kita pernah mendengar nama Saiful Jamil—penyanyi dangdut, beken karena
beristri Dewi Persik, karena istrinya yang kemudian meninggal dalam
kecelakaan, dan kini mencari pasangan, maju sebagai calon bupati. Atau
Limbad, ilusionis yang tak mau berbicara, mengutarakan keinginan menjadi
petinggi di daerah Tegal, Jawa Tengah. Tak ada yang salah, tak ada
keliru, karena tata krama yang berlaku tak ada yang dilanggar.
Yang
mengganggu dan menjadi rancu adalah dalam sajian televisi, ada unsur yang
namanya dragged, atau penyangatan atau penskenarioan. Di mana dalam hal
mencari ayah pun bisa dibuat termehek-mehek, di mana dalam dunia
sinetron, seorang gadis bisu yang mau sukses, harus kehilangan ayahnya
karena mati, atau kekasihnya tabrakan di jalan sangat sunyi—hanya ada dua
kendaraan itu yang bertabrakan. Juga dalam program lain, baik yang
terang-terangan berupa iklan menjemukan, atau mendadak jadi narsum.
Peran Pemilih
Dalam pusaran
inilah artis atau pesohor ini berada. Memang repot kalau mereka ini nantinya
akan melayani masyarakat, kalau selama ini biasa dilayani. Memang tidak
repot untuk memerankan wakil rakyat, karena selama ini sudah biasa
memerankan apa saja— termasuk nenek sihir, atau perebut suami. Kemampuan
bersandiwara, berpura-pura sudah menjadi darah daging, dan tak takut
salah bicara.
Karena
dikiranya nanti ada retake, pengambilan kembali adegan yang keliru.
Kalaupun tidak becus, yang disalahkan malah pemilihnya : kenapa milihdia.
Sampai di sini, sebenarnya sampai di titik yang menentukan. Peran yang
menentukan dalam pencitraan popularitas yang dimulai oleh media, peran
menentukan kedua oleh karakter artis itu sendiri, ditentukan oleh
pemilih.
Pemilihlah
penentu akhir apakah mereka itu tetap bakal, berhenti di status calon,
dan atau benar-benar menjadi petinggi. Jungkir balik apa pun, pengalaman
masa lalu, menjadi penentu untuk menilai dan menentukan pilihan.
Mengenali artis tak ada salahnya, malahbisamengurangistres dengan
menggosipkan. Mengagumi artis juga boleh-boleh saja, malah terhibur
karenanya.
Tapi memilih
sebagai calon wakil rakyat, atau sebagai bupati/ wali kota/ gubernur atau
bahkan presiden, adalah proses yang berbeda. Apakah pemilih mau
menggadaikan nasibnya pada mereka, itu soal lain. Apakah mereka mau
dilupakan, kadang juga dilukai perasaannya, itu yang harus menjadi
pertimbangan.
Sesungguhnyalah,
mereka yang dimaksud di sini bukan hanya artis, melainkan siapa pun yang
mencalonkan dan dicalonkan lagi oleh partai politik. Yang selama ini
sebagian terbukti menjadi partai koruptor yang melahirkan keadaban kotor.
Yang lebih pantas digantung, daripada digantungi harapan akan
memperjuangkan rakyatnya. Jadi jangan sinis lupa kalau dengar ada artis
menjadi caleg.
Atau maju
lagi meskipun lima tahun tanpa prestasi berarti. Tapi juga jangan
bersikap manis, apalagi optimistis bahwa kehadiran mereka membawa
perubahan—yang mungkin kata perubahan disalah-mengerti. Mungkin kita
termasuk berdosa, kalau membuta pada prestasi dan bukan popularitas para
artis dan pesohor, juga politisi, kalau tetap memilihnya, atau memilih
partainya.
Dengan dosa
yang sudah kita miliki selama ini, janganlah ditambah lagi dengan memilih
mereka. Sikap ini adalah sikap berdemokrasi yang sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar