Menarik untuk disimak tulisan Andi Widjajanto berjudul ”Transisi
Hegemonik dan Postur Pertahanan” (Kompas, 18/2). Butir penting yang perlu
digarisbawahi dari tulisan tersebut adalah skenario struktur internasional
baru di tahun 2045 dan bagaimana Indonesia harus menghadapinya.
Apabila dilihat dari dinamika politik dunia sejak berakhirnya Perang
Dingin (1991), Peristiwa 9/11 (2001), krisis finansial global (2008),
hingga sengketa Laut China Selatan saat ini, memang betul ada pergeseran
struktur internasional dari bipolaritas ke arah multipolaritas.
Indikator multipolaritas ini terlihat dari munculnya China, India,
Rusia, dan negara-negara Amerika Latin yang memanfaatkan kondisi
perekonomian Amerika Serikat dan Uni Eropa (UE) yang sedang terpuruk akibat
krisis finansial global.
Jika skenario mengenai perang global 2045 yang diprediksi muncul
akibat pergeseran struktur internasional tersebut betul terjadi, apakah
negara-negara berkembang—termasuk Indonesia—tak dapat berperan penting,
minimal mencegah kemungkinan itu terjadi?
Transisi hegemonik dalam struktur internasional bagi perspektif
Neo-Realisme akan selalu menjadi tren yang perlu diwaspadai, terutama bagi
negara-negara berkembang. Alih-alih menciptakan struktur internasional yang
baru, kapabilitas relatif yang diejawantahkan ke dalam kekuatan militer dan
politik luar negeri negara-negara berkembang harus selalu beradaptasi
dengan struktur internasional yang dikendalikan oleh kekuatan baru
tersebut.
Hal ini seolah-olah menjadi sebuah keniscayaan bagi negara-negara
berkembang, yang boleh dikatakan hanya jadi pion dalam sebuah papan catur
yang besar, di mana negara-negara besar yang jadi pemain utamanya.
Pada kenyataannya, beberapa peristiwa dunia di atas tidak sedikit
yang diakibatkan oleh aktor nonnegara, seperti teroris Al Qaeda di
Peristiwa 9/11 dan kerakusan MNC di krisis finansial global 2008. Bukankah
terlalu berlebihan jika hingga 2020 AS dan UE hanya memprioritaskan perang
melawan terorisme dan pemulihan krisis finansial tanpa hirau dengan
peningkatan anggaran militer China, Rusia, dan India serta musim semi Arab?
Terorisme, misalnya, merupakan ancaman yang abstrak sehingga sulit
menentukan indikator kemenangannya. Perang Afganistan tahun 2001, Perang
Irak tahun 2003, dan terbunuhnya Osama bin Laden (2010) tak menjamin
ancaman terorisme sudah usai, tetapi minimal dapat mengurangi persepsi
ancaman terhadap terorisme itu sendiri.
Selain itu, pemulihan krisis finansial global melalui dana talangan
oleh Pemerintah AS sendiri menandakan bahwa AS sebagai negara masih mampu
menanggulangi masalah ini meskipun perlu pembenahan di regulasi
perekonomiannya. AS bahkan masih mampu menempatkan pasukannya di Darwin,
Australia, dan terlibat dalam sengketa Laut China Selatan dengan
memfasilitasi kerja sama militer dengan Filipina dan Vietnam. AS juga
bahkan masih dapat terlibat di operasi pembebasan Libya.
Di lain pihak, Perancis—sebagai bagian dari UE—bahkan masih dapat
melakukan operasi militer di Mali yang tentu saja memakan biaya operasional
tidak sedikit.
Melihat daya tahan AS dan UE tersebut, skenario perang global yang
dikhawatirkan terjadi pada 2045 akibat munculnya China dan India sebagai
kekuatan baru perlu dipertimbangkan kembali.
Pertimbangan ini penting
karena struktur internasional muncul dan dikonstruksikan melalui pengamatan
manusia.
Artinya, baik struktur internasional berupa bipolaritas,
multipolaritas, unipolaritas bahkan nonpolaritas tidaklah bersifat given,
tetapi dibangun melalui kesadaran dan persepsi individu/ elite, kemudian
dieksekusi melalui kebijakan politik. Oleh karena itu, kebijakan luar
negeri yang dirumuskan Indonesia pun tidak boleh tergesa-gesa dibangun
hanya untuk beradaptasi dari situasi tersebut dan berperan hanya sebagai
kekuatan penyeimbang di kawasan Asia Timur.
Sikap Indonesia
Skenario apa pun yang terjadi pada transisi hegemonik di tahun 2045
tidak harus selalu disikapi oleh Indonesia dengan melulu terfokus pada
peningkatan kapabilitas hard power/militer meskipun pencapaian kekuatan
pertahanan minimum tetaplah penting untuk fungsi pencegahan. Masih banyak
alternatif kebijakan luar negeri lain yang perlu dipertimbangkan agar
kekuatan diplomasi Indonesia tidak rentan terhadap transisi hegemonik
tersebut.
Betul bahwa Indonesia masih terhadang dengan prinsip kebijakan luar
negeri bebas aktifnya sehingga tidak mungkin dapat membangun aliansi
militer dengan negara lain. Namun, melihat dinamika geopolitik yang semakin
panas, seperti sengketa Laut China Selatan, perubahan strategi defensif
menuju ofensif militer Jepang, dan penempatan militer AS di Darwin,
tantangannya adalah bagaimana Indonesia berlapang dada untuk merevisi
prinsip kebijakan luar negeri dan pertahanannya ke arah yang lebih
emansipatoris, tetapi juga humanis.
Indonesia memiliki modalitas luar biasa sebagai salah satu negara
pendiri Gerakan Non-Blok, APEC, dan ASEAN. Selain itu, Indonesia juga sudah
mengakomodasi aspek pertahanan ke dalam diplomasi luar negerinya, seperti
ditempatkannya atase-atase pertahanan di kantor perwakilan Indonesia di
luar negeri. Kebijakan ini merupakan salah satu modalitas baru andaikata
diplomasi pertahanan dapat dioptimalisasi sesuai kepentingan nasional
Indonesia, yaitu turut serta dalam perdamaian dunia.
Jika diplomasi Indonesia dapat fokus kepada prinsip emansipatoris
berdasarkan kepentingan nasionalnya, modalitas tersebut seharusnya juga
tidak hanya diimplementasi ke dalam tumpukan perjanjian kerja sama. Akan
tetapi, juga mampu melibatkan masyarakat di tingkat akar rumput.
Caranya adalah dengan mengoptimalkan jalur-jalur diplomasi total,
tanpa hambatan birokrasi dan melindungi kekuatan ekonomi nasional dari
perdagangan dunia yang tidak adil, serta membenahi korupsi yang telah
menjadi penyakit di negara-negara berkembang.
Dengan demikian, apa yang dikatakan John Mearsheimer dalam bukunya, the Tragedy of Great Power Politics, bahwa negara-negara di dunia
ini sedang dikutuk untuk berperang antara satu dan yang lainnya, dapat
dicegah dengan terkumpulnya kepentingan bersama negara-negara berkembang
yang menjadi kekuatan kolektif baru. Apa pun struktur internasionalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar