PIMPINAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya
memenuhi janji terkait dengan penuntasan proses hukum megaskandal Bank
Century. Setelah menyimak keterangan dari sejumlah saksi, penyidik KPK
berencana bertolak ke Washington AS guna memeriksa mantan menkeu/ mantan
ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrayani.
Sungguh di luar dugaan, kasus lama itu
tiba-tiba kembali menyeruak ke ruang publik. Pasalnya, masyarakat secara
tidak langsung mendapatkan janji dari seorang politikus muda yang mengatakan
akan membuka ''halaman berikut'' tentang kontroversi dana talangan Rp 6,7
triliun untuk Century.
Rapat kerja Komisi III DPR dengan KPK pun
memunculkan perkembangan baru. Pimpinan KPK memastikan segera memeriksa Sri
Mulyani di AS. Jadwal pemeriksaan itu ditetapkan setelah komisi antikorupsi
tersebut menyimak keterangan dari sejumlah saksi, terutama mantan kepala
Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Anggito Abimanyu.
Pertengahan Februari lalu, kepada KPK
Anggito mengaku tidak paham dengan keputusan Bank Indonesia (BI) menetapkan
Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Komisi antikorupsi tersebut
sudah menetapkan Budi Mulya, mantan Deputi IV Pengelolaan Moneter Devisa
BI, dan mantan Deputi V Bidang Pengawasan BI Siti Fadjriah, sebagai
tersangka. Keduanya diduga menyalahgunakan wewenang dalam pemberian
fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) sehingga Century mendapat talangan
Rp 6,7 triliun pada 2008.
Semua rangkaian peristiwa ini ibarat bunyi
lonceng yang mengingatkan rakyat bahwa skandal Century masih berstatus
pekerjaan yang belum selesai (unfinished
job). Ia juga menjadi semacam isyarat bahwa sampai kapan pun rakyat
menghendaki agar kasus tersebut harus dituntaskan, berapa pun harga
yang harus dibayar. Silakan pemerintah menunda-nunda tetapi rakyat akan
selalu menagih.
Memang, ekspektasi tinggi publik terlanjur
terbentuk. Terlebih sejak proses pengungkapan kasus ini pada forum panitia
khusus parlemen hingga sidang paripurna DPR pada Maret 2010, nama sejumlah
tokoh atau elite negara sudah disebut, bahkan tertulis dalam dokumen sidang
parlemen. Artinya, dari notulen itu rakyat sudah bisa mereka-reka siapa
saja tokoh yang layak dimintai pertanggungjawaban.
Wajar jika ada asumsi bahwa skandal ini
bermuara pada kewenangan BI yang menjalankan fungsi pengawasan bank,
serta menetapkan standar bahwa sebuah bank itu sehat atau gagal. Bank
sentral tersebut juga berwenang memutuskan sebuah bank perlu dibantu atau
harus dilikuidasi. Ketika diasumsikan sebuah bank harus dibantu agar
kebangkrutannya tak berdampak sistemik, BI juga harus menyajikan alasan
yang masuk akal.
Curhat Sri Mulyani
Sejak awal hingga kini, argumen kegagalan
Century bisa berdampak sistemik tidak bisa dipahami. Alasan utamanya,
Century itu bank kecil. Melikuidasi bank itu pada 2008 tidak akan menimbulkan
kepanikan, atau memicu rush di
dalam negeri.
Benar bahwa saat itu perekonomian global
dibayangi krisis tetapi persoalan itu belum menimbulkan getaran terhadap
perekonomian dalam negeri. Wajar jika ekonom sekaliber Anggito pun mengaku
tak bisa memahami keputusan BI menetapkan Century sebagai bank gagal
berdampak sistemik.
Penyertaan modal sementara (PMS) Rp 632
miliar ditetapkan pada pertengahan 2008. Lalu, rapat KSSK pada 20 November
2008 memutuskan menangani Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Namun pemutakhiran nilai FPJP menjadi Rp 6,7 triliun tersebut tidak pernah
disajikan dalam rapat 20 November 2008. Pertanyaan tentang hal ini harus
dialamatkan ke BI mengingat kewenangan FPJP ada pada bank sentral.
Itulah relevansi dari langkah KPK menetapkan
Budi Mulya dan Siti Fadjriah sebagai tersangka. Namun, terasa tidak adil
jika penyalahgunaan wewenang hanya dituduhkan kepada keduanya. Pertama;
keduanya hanya deputi, dan kedua; mereka punya atasan yaitu Gubernur BI,
ketiga; nilai FPJP sebesar itu harus diputuskan dalam rapat Dewan
Gubernur BI.
Mantan wapres Jusuf Kalla pernah bertutur
mengenai curahan hati mantan ketua KSSK Sri Mulyani. Kepada Kalla, Sri
Mulyani mengaku merasa dibohongi oleh BI karena terjadi penggelembungan
nilai luar biasa besar bailout, yakni dari Rp 632 miliar menjadi Rp
6,7 triliun.
Curhat Sri Mulyani kepada Jusuf Kalla sudah
menghadirkan kejanggalan tentang proses penyelamatan Century. Jika penyidik
komisi antikorupsi bisa mengeksplorasi pengakuan Sri kepada JK, rangkaian
kejanggalan proses persetujuan dan akurasi nilai FPJP akan terlihat lebih
detail, utuh, dan gamblang.
Penyertaan modal sementara dari Rp 632
miliar menjadi fasilitas pendanaan jangka pendek Rp 6,7 triliun adalah
lompatan nilai teramat besar. Jawaban atas perubahan penyertaan modal
sementara menjadi fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar itu bisa
didapatkan KPK dari Budi Mulya dan Siti Fadjriah, termasuk alasan dan data
pendukungnya.
Namun, jangan lupa mencari tahu kenapa
Gubernur BI saat itu tidak menyajikan angka Rp 6,7 triliun dalam rapat
Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada 20 November 2008? Barangkali Sri
Mulyani bisa menjawab pertanyaan itu karena waktu itu menjadi ketua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar