Semua presiden negeri ini menyisakan masalah
impor, khususnya pangan yang sampai sekarang cenderung terus meningkat.
Belum ada presiden yang berhasil menghentikan atau mengurangi impor pangan
digantikan produksi dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat,
selama Januari-Juni 2011, nilai impor pangan mencapai 5,36 miliar dolar AS
atau sekitar Rp 45 triliun. Nilai impor pangan semester I tahun 2011 lebih
tinggi jika dibandingkan dengan semester yang sama tahun 2010. BPS juga
mencatat, nilai impor pangan pada tahun lalu sebesar 4,66 miliar dolar AS
atau setara dengan Rp 39,91 triliun. Diperkirakan, nilai impor akan terus
meningkat sekitar 10 persen pada 2013. Kenaikan impor 2010 ke 2011 sekitar
tujuh persen, yang membuat sedih bangsa ini. Mengapa impor selalu menjadi
andalan utama dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri? Bukankah kita negeri
agraris dan maritim yang kaya akan segalanya?
Dunia memang sedang dilanda krisis pangan.
Kelaparan di dunia 60 persen berada di kawasan Asia dan Pasifik, diikuti
negeri sub-Sahara dan Afrika sebesar 24 persen, serta Amerika Latin dan
Karibia enam persen. Setiap tahun, orang yang menderita kelaparan
bertambah 5,4 juta jiwa. Bahkan, setiap tahunnya 36 juta jiwa rakyat mati
karena kelaparan dan gizi buruk. Puncaknya pada 2010 PBB melalui FAO
merilis, terdapat 975 juta jiwa manusia di dunia yang terancam kelaparan
dan kematian.
Dunia gagal mengatasi kelaparan, cita-cita FAO
untuk mengurangi angka kelaparan sebanyak 575 juta jiwa pada 2015 sulit
terealisasi. Versi pemerintah, angka kemiskinan masih sekitar 13 persen atau
setara 30 juta jiwa. Penduduk miskin negeri ini mencapai 25 per sen atau
setara 60 juta jiwa dengan standar ADB. Standar kemiskinan yang digunakan
ADB adalah penghasilan di bawah 1,25 dolar AS per hari (sekitar Rp 10.625).
Rencana pemerintah untuk menurunkan angka
kemiskinan delapan-10 persen gagal terealisasi. Kebutuhan pangan sebagai
kebutuhan pokok masyarakat tidak mampu dipenuhi, penerima raskin yang
mencapai 71 juta jiwa memberikan gambaran rakyat negeri ini masih
kelaparan. Masih ada 17,4 persen penderita gizi buruk dan malnutrisi yang
meghantui bayi, bahkan kecenderungan akan terus naik jika pemerintah gagal
menyediakan pangan bergizi untuk masyarakat.
Kondisi di atas menggambarkan bahwa krisis pangan
menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup masa depan dan generasi
bangsa ini. Keberadaan kebijakan yang selalu propasar dan prokapitalisme
menjadikan impor sebagai alasan untuk menstabilkan kondisi makro ekonomi
nasional. Ketergantungan kepada impor jelas sangat berbahaya pada saat
nantinya kondisi negara pengekspor pangan sedang dilanda masalah. Kita
lihat Thailand yang sedang mengalami krisis produksi pangan akibat bencana
banjir.
Jared Diamond dalam bukunya, Collapse: How Societes Choose to Fail or Succeced (2005),
memasukkan Indonesia selain Nepal dan Kolombia sebagai peradaban yang
mungkin dekat dengan keruntuhan. Ya, mungkin analisis ini bisa terjadi jika
negeri ini terus masih menggantungkan pangan dari bangsa lain. Keruntuhan
bukan secara hukum negara bubar, namun negeri ini akan "dikendalikan"
olah bangsa lain yang berarti tidak memiliki kedaulatan. Jonh Perkin (2005)
juga sudah mengingatkan akan bahaya impor karena Indonesia adalah negera
besar yang kaya akan segalanya. Kekurangan bangsa ini, kata Perkin,
pemimpin kita mudah menerima upeti. Itu saja.
Negeri ini tidak boleh lagi mengambil keputusan
yang salah, khususnya soal impor pangan. Penataan lembaga pangan nasional
haruslah menjadi prioritas, jangan biarkan kelembagaan pangan kita centang
perenang tidak jelas alur dan arah koordinasinya. Pangan lokal biarkan menjadi
menu favorit, kita tidak ingin "memberaskan" Indonesia, kekayaan
alam harus terus diteliti untuk peningkatan diversifikasi pangan na sional.
Sukarno memilih menghentikan impor ikan dari
Malaysia walaupun rakyatnya kelaparan. Namun, keputusan ini memberikan
dampak luar biasa bagi nelayan kita. Ada harapan yang dijanjikan Sukarno
bahwa kita bisa hidup tanpa harus makan pangan impor yang menguntungkan
bangsa lain. Pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus impor? Siapa yang
akan bisa menjawab kalau bukan kita sendiri.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar