Opini Thee Kian Wie di Kompas
(21/3) menyebutkan keberatan Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro dan Prof
Sofian Efendi terhadap RUU yang menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi.
Sebetulnya keberatan mereka
adalah ketika RUU tersebut belum mengakomodasi kebutuhan otonomi
perguruan tinggi badan hukum. Setelah RUU tersebut disempurnakan dan
disahkan oleh DPR menjadi UU yang mencantumkan opsi Perguruan Tinggi
Negeri badan hukum (PTN bh) justru mereka sangat mendukung UU tersebut.
Sebetulnya, Kompas (6/3) tepat
menurunkan Tajuk Rencana tentang otonomi perguruan tinggi dengan
mengusulkan agar UU tersebut tidak dibatalkan. Memang opini tentang
otonomi perguruan tinggi sedang menghangat, tetapi sering diwarnai dengan
persepsi yang salah.
Kesalahan Persepsi
Mengapa otonomi perguruan tinggi
dipersoalkan? Jawabannya adalah karena salah persepsi tentang otonomi
perguruan tinggi. Salah persepsi tidak hanya terjadi di kalangan
masyarakat, tetapi juga pimpinan PTN. Masyarakat mengira implementasi
otonomi perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan
yang ditanggung mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan PTN menganggap
otonomi perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana
peningkatan mutu dengan menggalang dana dari mahasiswa.
Otonomi bukanlah komersialisasi.
Karena itu, hal-hal yang dapat membuat masyarakat salah paham, seperti
formulir kesanggupan menyumbang, harus ditiadakan. Orangtua
mencantumkan kesanggupan
membayar yang lebih besar karena beranggapan bisa membuka peluang lebih
besar agar anaknya diterima sebagai mahasiswa baru.
Calon mahasiswa yang tidak
diterima pun bisa berpersepsi bahwa angka sumbangan yang diisikan dalam
formulir terlalu kecil. Padahal, sangat boleh jadi dia tidak diterima
memang karena nilai ujiannya tidak masuk nilai persyaratan terendah
program studi pada PTN yang bersangkutan.
Kebijakan pemerintah tentang
Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan jawaban atas persoalan ini. Dengan
UKT, tidak ada lagi uang pangkal atau sebutan lain yang harus dibayar
mahasiswa pada proses penerimaan mahasiswa baru. Kebijakan ini menentukan
bahwa jumlah dana pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa setiap
semester adalah sama selama studi.
Akses dan Mutu
Mengenai akses dan mutu dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi, bangsa kita dapat memilih satu dari
empat pilihan, yaitu (1) akses sempit dan mutu rendah, (2) akses luas dan
mutu rendah, (3) akses sempit dan mutu tinggi, dan (4) akses luas dan
mutu tinggi. Pilihan 1, 2, dan 3 tidak sesuai dengan UUD 1945.
Pilihan 2, yaitu membuka akses
yang seluas-luasnya tanpa peningkatan mutu pendidikan, merupakan pilihan
yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menghasilkan lulusan sebanyak-banyaknya,
tetapi tidak kompeten. Pilihan 3, mencapai mutu tinggi dengan cara
menggantungkan pendanaan dari mahasiswa, mempersempit akses pendidikan.
Pilihan ini akan mengakibatkan pendidikan tinggi di PTN hanya dinikmati
kaum elite secara ekonomi.
Pilihan yang sesuai konstitusi
adalah pilihan 4, yaitu akses yang luas pada pendidikan bermutu tinggi.
Pilihan ini sejalan dengan cita-cita kemerdekaan para pendiri negara kita
sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang antara lain
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini sejalan dengan pandangan peran
perguruan tinggi sebagai wahana penempaan calon pemimpin bangsa.
Otonomi Sebagai Solusi
Tujuan perluasan akses adalah
semangat mewujudkan pendidikan untuk semua. Masalah yang sering dihadapi
adalah persoalan keterjangkauan. Solusinya adalah komitmen pemerintah
dalam menetapkan alokasi anggaran memadai sebagaimana sudah dilaksanakan
dengan program Bantuan Pendidikan untuk Mahasiswa Miskin (Bidikmisi),
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri, beasiswa, dan sebagainya.
Selain itu, perlu ada peraturan
tegas tentang kontribusi maksimum biaya pendidikan yang ditanggung
mahasiswa. Karena itu, cara pandang menangani persoalan akses dengan
menghapus otonomi PTN badan hukum adalah tidak relevan dan salah alamat.
Hal ini seperti memanen padi dengan peniti.
Tujuan peningkatan mutu adalah
terwujudnya keunggulan akademik dan relevansi terhadap kebutuhan
masyarakat. Tantangan yang harus dihadapi adalah proses transformasi PTN
dalam membangun atmosfer akademik yang baik, tata kelola yang sehat, dan
penerapan prinsip-prinsip manajemen modern yang berlaku universal.
Otonomi memungkinkan terjadinya perubahan budaya kerja yang berorientasi
pada peningkatan mutu untuk melahirkan prestasi tinggi dan kinerja
unggul.
Kunci keberhasilan PTN adalah
proses pengambilan keputusan secara bermartabat dan partisipatif
berdasarkan kebenaran yang berbasis data dan fakta. Dalam PTN bh, terbuka
kesempatan bagi masyarakat untuk berperan dalam proses tata kelola
melalui anggota Majelis Wali Amanat (MWA). MWA memiliki peran penting dalam
pengambilan keputusan penting, seperti Rencana Strategis, Rencana Kerja
dan Anggaran Tahunan, termasuk mengangkat dan memberhentikan rektor.
Lalu, mengapa harus ada opsi PTN
bh? Jawabannya adalah karena peran masyarakat hanya mungkin terwujud bila
ada opsi PTN bh sebagaimana dinyatakan dalam UU. Badan hukum dimaknai
sebagai fungsi dan bukan bentuk, sebagaimana amar putusan MK yang
membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar