Tahun 1317, ketika
Prancis masih bergumul dengan peraturan yang melawan perempuan naik
singgasana, seorang perempuan Majapahit bernama Tribuanatunggadewi berhasil
naik takhta. Dia melahirkan seorang putra Majapahit bernama Hayam Wuruk.
Kelak putra Ratu Tribuanatunggadewi itulah yang menjadi raja yang membawa
ke era cemerlang Majapahit. Dikisahkan, Ratu Tribuanatunggadewi memiliki
jasa yang besar dalam menyusun balok demi balok kekuasaan Majapahit dan
mendidik Hayam Wuruk supaya menjadi seorang pemimpin besar.
Sejarah pernah mencatat bahwa sebelum ada konvensi hak
tentang perempuan, gerakan feminis seluruh dunia, atau hari perempuan
dunia, tanah Nusantara ini pernah memiliki seorang pemimpin sekaligus tokoh
politik perempuan. Waktu terus berjalan. Muncullah Cut Nyak Dien, Laksamana
Keumalahayati, hingga Presiden Megawati menjadi tokoh politik perempuan
yang cukup populer.
Kini ada amanat pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003
tentang kuota perempuan dan keterwakilannya dalam parlemen. Disebutkan
bahwa setiap parpol dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten atau kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Amanat itulah yang
disebut ''kuota 30 persen perempuan''. Ada jatah perempuan dalam politik
agar menghasilkan kebijakan yang mewakili perempuan.
Amanat itu setidaknya membawa angin segar bagi perempuan
untuk mengaktualisasikan diri dalam koridor-koridor politik. Namun,
tampaknya, banyak partai politik kelimpungan merekrut figur-figur perempuan
yang dianggap berkualitas. Ada yang secara instan beralih ke banyak sekali
figur publik seperti artis untuk memenuhi kuota.
Muncul pertanyaan kritis: siapkah para perempuan memenuhi
kuota? Apakah kuota menjamin suara perempuan dalam parlemen? Jangan-jangan
para perempuan ini hanya menjadi pemanis, hiasan, dan pajangan dalam ruang
tamu parlemen yang bila dihilangkan pun tidak akan menjadi persoalan besar.
Bagi seorang warga sipil seperti saya, keterwakilan para
politikus perempuan itu sangat krusial untuk melahirkan berbagai kebijakan
yang menyuarakan hak-hak perempuan. Suara politisi perempuan seharusnya
lantang, ala Sembodro dalam wayang, yang suaranya sangat lirih kemayu.
Kuota 30 persen tersebut layak dirayakan dengan menghasilkan kebijakan
perundangan yang juga memperhatikan hak-hak perempuan.
Lihat saja. Untuk perundangan yang menjamin urusan
biologis perempuan, seperti ruang layak untuk ibu menyusui (nursery room) di muka umum,
negara ini belum mampu menyediakan secara penuh. Walaupun hal itu telah
diamanatkan dalam pasal 128 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang
menyatakan bahwa pemerintah layaknya mendukung ibu bayi secara penuh dengan
penyediaan waktu dan fasilitas khusus baik dalam tempat bekerja maupun
fasilitas umum.
Walau menyusui tampak bukan sebagai urusan besar dalam
bidang perpolitikan, hak perempuan itu sangat strategis untuk
diperjuangkan. Urusan menyusui atau nyusu atau nyusoni tersebut sangat penting. Bukan hanya bagi
para perempuan, juga bagi kesehatan para generasi kelak, generasi yang
ingin melahirkan ''Hayam Wuruk'' baru.
Referensi sejarah besar lain, urusan nyusu itu
bahkan tak terpisahkan dari catatan sejarah awal kelahiran nabi bernama
Muhammad SAW. Semasa kecil, para perempuan yang memberikan limpahan air
susunya kepada bayi Muhammad, mulai Aminah Az-Zurriyah hingga Halimah
Sa'diyah. Kini urusan susu-menyusui mungkin hanya akan diulas dalam cerita
majalah ibu hamil saja, dan tidak akan diulas panjang lebar layaknya kasus
korupsi.
Kepekaan Djamila
Sedikit cerita mengenai adanya sebuah ruang menyusui di
Terminal Tirtonadi di Kota Solo. Ruang menyusui itu merupakan ruang
menyusui pertama di terminal yang ada di Indonesia. Ide ruang menyusui ataunursery room tersebut diprakarsai oleh perempuan yang
menjabat kepala UPT Terminal Tirtonadi, yakni Djamila. Dalam wawancara
dengan sebuah media, kepala terminal itu prihatin melihat banyak pempuan
yang harus menyusui bayinya di tengah hiruk pikuk maupun kepulan asap rokok
dan juga asap kendaraan bus terminal.
Suara Djamila akhirnya direalisasikan dalam bentuk ruang
menyusui bagi para ibu yang awalnya hanya alih fungsi ruangan. Pada Maret
2011, ruang menyusui tersebut di resmikan, ratusan ibu dan bayinya mendapat
manfaat. Ada sebuah buku tamu dan kesan pesan disediakan di sana. Salah
satu di antaranya ditulis dalam bahasa Jawa. ''Dalem ngaturaken maturnuwun taksih wonten priyayi
pengageng purun tanggap kagem kawula alit bab ibu menyusui'' (Saya mengucapkan terima kasih masih ada
pembesar yang perhatian terhadap orang kecil terkait ibu menyusui).
Pesan itulah yang mewakili salah satu respons warga sipil
bila haknya dipenuhi oleh suara perempuan. Saat ini walaupun belum seluruh
terminal maupun fasilitas umum milik pemerintah memiliki ruang menyusui,
beberapa terminal mulai berbenah. Seperti Terminal Purabaya di Jawa Timur
maupun terminal Lebak Bulus yang mempertahankan ruang menyusui sejak
Lebaran pada 2012.
Kisah Djamila dan ruang menyusui mungkin hanya contoh
kecil peran perempuan dalam ranah publik. Walaupun kisah ini belum sebesar
Rosa Parks ''ibu gerakan hak sipil Amerika'' yang menyuarakan hak sipil
pada era 1950-an dengan tidak mau berdiri dari bangku ''bus kulit putih''.
Kisah Djamila ini dapat menjadi contoh bahwa perempuan juga punya suara
untuk publik. Suara itu jangan hanya bergema saat selebrasi setiap 8 Maret
sebagai Hari Perempuan Sedunia, namun setiap hari.
Bila para perempuan yang duduk di parlemen sana melakukan
sesuatu untuk rakyatnya, ''menyusui'' bangsanya dengan ide yang hebat,
keterwakilan perempuan dan kuota dalam parlemen tidak hanya menjadi
pajangan semata. Silakan para perempuan memasuki parlemen dengan niat demi
mewarnai negara ini agar kebijakannya ''lebih perempuan''. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar