Tahun 2012 secara
riil ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 6,23 persen. Meskipun raihan ini di
bawah target, namun bila dibandingkan dengan negara-negara lain,
pertumbuhan ini relatif tinggi. Pertanyaannya, mengapa masyarakat tetap
merasa tidak puas dan beranggapan pemerintah belum melaksanakan tugasnya
dengan baik? Memasuki tahun politik 2013 ini, jawaban atas pertanyaan itu
perlu dicari dan seyogianya ditemukan.
Tidak dapat
dipungkiri, selama pemerintahan SBY, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif
tinggi, mencapai sekitar 5,9 persen secara rata-rata setiap tahun selama
periode 2004-2012. Namun, bila ditelaah lebih jauh ternyata perolehan
pendapatan menjadi semakin pincang.
Bila tahun 2004
lalu, 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima sekitar 20,80
persen dari seluruh pendapatan; maka pada Maret 2012, kelompok masyarakat
tersebut hanya menerima 16,98 persen dari seluruh pendapatan. Di sisi lain,
20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi memperoleh 42,07 persen dari
seluruh pendapatan tahun 2004, pada Maret 2012 saham mereka telah mencapai
48,61 persen. Dengan perkembangan ini Gini Ratio Indonesia meningkat dari
0,32 tahun 2004 menjadi 0,41 pada 2012, suatu angka tertinggi dalam sejarah
Indonesia.
Benar, jumlah
penduduk miskin dapat ditekan dari 36,10 juta orang (16,66 persen dari
jumlah penduduk) tahun 2004 menjadi sekitar 28,59 juta orang (11,66 persen
dari jumlah penduduk) pada 2012. Namun, pengurangan penduduk miskin
tampaknya tidak berarti banyak karena kepincangan semakin menganga.
Secara makro,
kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak memuaskan karena pertumbuhan
ekonomi yang relatif pesat tidak dibarengi dengan pembagian pendapatan yang
lebih baik.
Sudah berulang kali
para analis atau ekonom di negeri ini mengusulkan agar subsidi harga bahan
bakar minyak (BBM) yang sebagian terbesar dinikmati oleh penduduk tidak
miskin ditata kembali dan dana yang ada dimanfaatkan untuk membangun
infrastruktur ekonomi, terutama di pedesaan atau yang dekat dengan
penduduk. Namun, sampai sekarang, kebijakan yang diterapkan ternyata
semakin menjauhi rakyat miskin dan bahkan pada hal-hal tertentu justru
menciptakan ekonomi biaya tinggi.
Di masa sebelum
reformasi, pertumbuhan ekonomi yang tercipta mampu menciptakan lapangan
kerja baru dalam jumlah signifikan. Selama periode 1993-2003, misalnya,
ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata sekitar 3 persen per tahun dan dalam
periode tersebut mampu menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 12.972.496
orang. Ini berarti setiap pertumbuhan ekonomi (GDP) sebesar 1 persen mampu
menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 371 ribu pekerja.
Tetapi, dalam
periode pemerintahan SBY (2004-2012), walaupun ekonomi secara rata-rata
tumbuh 5,9 persen per tahun, lapangan kerja yang tercipta sekitar
17.086.098 orang. Jadi, setiap pertumbuhan riil PDB sebesar 1 persen mampu
menciptakan lapangan kerja dengan jumlah di bawah 300 ribu pekerja.
Selain itu, jumlah
penduduk yang menggeluti sektor pertanian berkurang sekitar 1,7 juta, dari
40,6 juta tahun 2004 menjadi 38.9 pada Agustus 2012. Perkembangan ini
menunjukkan, pertama, ekonomi Indonesia semakin pelit dalam menciptakan
lapangan kerja. Kedua, pergeseran pekerja dari pertanian ke sektor lainnya
tidak berjalan sesuai tuntutan yang ada.
Ketidakmampuan
pemerintah menciptakan kegiatan ekonomi padat tenaga kerja selama beberapa
tahun belakangan ini akan menjadi masalah yang sangat serius dalam beberapa
tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar